NASIONALISME HANYA ADA DALAM RUMAHKU
Rumahku adalah istanaku. Sebuah pepatah klasik yang membosankan di telinga orang-orang yang merasa selalu up to date. Namun tidak bagiku, jika mendengar pepatah itu seonggok semangat untuk segera kembali ke rumah selalu mendesak di sela-sela aktivitasku. Entah mengapa aku selalu merasa sangat nyaman ketika berada di rumah. Aku bisa menemukan kebebasan dan menjadi diriku yang seutuhnya disana. Mungkin karena orang-orang didalamnya yang selalu mengerti sosok diriku apa adanya, sehingga aku tidak harus berpura-pura memainkan sebuah drama yang menjadi settingan orang-orang yang memaksakan apa yang mereka mau. Mungkin juga karena sebenarnya aku telah bosan dengan segala tuntutan pergaulan orang-orang disekitarku yang selalu mengaku sebagai seorang teman bagiku namun tidak bisa menerimaku sebagai seorang yang bangga menjadi bangsa Indonesia. Aku yakin selama ini itulah yang sebenarnya aku dan orang-orang sepertiku rasakan.
Nasionalismeku kini terkekang. Karena
bagiku semangat nasionalisme hanya ada dalam diriku jika aku bisa menjadi
Indonesia seutuhnya. Aku selalu merasa terkekang diantara mereka yang sebenarnya
adalah saudaraku. Aku tidak lagi bisa bebas menjadi diri sendiri, karena jika
aku tidak bisa mengikuti apa yang menjadi kelaziman bagi mereka, maka aku akan
dijuluki kampungan, norak, tidak gaul
atau apalah namanya. Padahal aku bangga atas apa yang telah menjadi takdirku,
dilahirkan diantara orang-orang yang menjunjung tinggi adat istiadat Suku Bugis
Makassar. Salah satu suku di negeri ini yang begitu gigih ikut serta
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia kala itu. Dan sekali lagi aku sangat
bangga atas suku ku!
Tapi mengapa setiap kali aku berbicara
menggunakan bahasa Bugis dengan orang-orang disekitarku, yang aku yakin mereka
juga adalah keturunan Bugis, mereka jadi menertawaiku? apa yang salah dengan
bahasaku? Apa yang salah jika aku mencintai apa yang telah menjadi budaya dalam
keluargaku? Mengapa kaum muda sekarang, yang menjadi harapan penerus bangsa
begitu sombong untuk menjadi Indonesia?
Jujur saja aku telah muak dengan mereka
yang telah menertawaiku selama ini, terutama mereka yang menyandang predikat
mahasiswa. Aku muak jika mereka berdiri hormat kepada sang merah putih atau
turun kejalan berdemonstrasi ketika Negara tetangga mengklaim hasil budaya
negeri ini atas nama nasionalisme, tapi mereka tidak menghargai budayanya sendiri.
Mereka selalu mengaku memiliki nasionalisme yang tinggi tapi tidak sadar
menjadi antek-antek kolonialisme bahasa asing yang kian menggerus bahasa
daerahnya. Aku akan selalu merasa lebih baik dari mereka. Karena aku masih
menjaga harta yang dimiliki oleh negeri ini. Bukankah Bahasa Daerah adalah
identitas utama dan merupakan ciri khas tiap daerah. Melestarikan bahasa daerah
berarti turut menjaga ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia. Indonesia terkenal
akan kemajemukan bangsanya, bila bahasa daerah hilang, maka hilang pula
identitas Negara ini. Jika itu terjadi dimasa aku masih hidup, aku akan sangat
malu untuk menjadi Indonesia.
Suatu hari aku berlibur ke Pantai Losari
bersama seorang temanku yang merupakan keturunan Tionghoa. Secara kebetulan
disana temanku bertemu dengan rekannya saat masih SMP dulu yang juga merupakan
keturunan Tionghoa. Dia kemudian memperkenalkan aku dengan temannya, lalu
melanjutkan percakapannya dengan bahasa Tionghoa tanpa merasa canggung
ditengah-tengah keramaian saat itu. Mereka terlihat sangat percaya diri
menggunakan bahasa asli daerah mereka, walaupun sesekali orang-orang yang
berkeliaran disekitar kami melirik kearah mereka, tapi mereka tidak peduli.
Saat itu aku sangat iri dengan dua orang keturunan Tionghoa ini. Mereka begitu
bangga terhadap budayanya. Mereka mempunyai rasa memiliki yang begitu besar
terhadap aset negaranya dan juga rasa tanggungjawab untuk mempertahankannya.
Tidak ada gengsi ataupun rasa malu, semuanya mengalir begitu saja dan tanpa ada
rasa keterpaksaan tentunya.
Bandingkan dengan kisahku yang satu ini.
Saat aku mengajak teman-temanku ke sebuah mall yang cukup besar di kota
Makassar. Juga secara kebetulan aku bertemu dengan temanku yang pernah menjadi
tetanggaku saat masih kecil. Kemudian secara spontan kami bercakap-cakap dengan
berbahasa Bugis karena itulah kebiasaan kami setiap kali kami bertemu.
Teman-temanku yang mendengar percakapan kami langsung tertawa dan menghindar
beberapa langkah dari kami, dan ada pula yang tersenyum cukup sinis kearah
kami. “lu norak banget sih” kalimat
itulah yang keluar dari mulut salah satu dari mereka. Padahal aku tahu bahwa
mereka semua juga memiliki latarbelakang keturunan Bugis Makassar. Aku langsung
merasa sangat malu dengan temanku yang kuajak bercakap tadi. Aku tahu dia pasti
merasa harga dirinya terinjak-injak dengan kelakuan teman-temanku itu. Dia pun
langsung pamit pergi dengan muka yang masam. Sungguh aku tidak tahu apa yang
ada dipikiran mereka. Dimana budaya siri’
yang seharusnya sudah menjadi darah daging dalam diri mereka sebagai keturunan
Bugis Makassar? Ataukah ungkapan itu tidak berlaku bagi mereka? Apakah mereka
malu mengakui bahwa mereka dilahirkan dengan darah Bugis Makassar didalam
dirinya?
Sejak saat itu, aku menjadi sangat
dilema. Lingkungan sekitarku menuntutku berubah menjadi sesuatu yang sebenarnya
bukan diriku. Aku selalu mendapat perlakuan yang sama dari teman-temanku yang
lain setiap kali berbicara dengan bahasa Bugis Makassar. Aku terpaksa mengikuti
setiap alur drama yang mereka ciptakan. Berbicara dengan berbahasa Bugis seakan
aneh dan tabuh di telinga mereka. Sebuah ironi melihat kaum muda saat ini.
Begitu rapuh dan tidak memiliki prinsip hidup yang jelas. Mereka begitu mudah
menerima budaya asing yang disusupi dengan motif-motif tertentu dan menganggap
itu sabagai sebuah kebanggaan. Bahasa-bahasa yang dianggap gaul bagi mereka
lebih bernilai dan lebih perlu untuk dilestarikan dibandingkan bahasa daerah
sendiri.
Padahal bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya.
Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Kita
bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan
hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain yang digunakan suatu bangsa dari
bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan
baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan kata lain, sejarah intelektual
suatu bangsa tersebut tersimpan dalam bahasanya masing-masing.
Berkurangnya minat kaum muda untuk menggunakan bahasa Bugis atau
bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia tidak lepas dari stigma yang melekat kepadanya.
Banyak yang menganggap bahasa daerah itu kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh
orang miskin dan tidak berpendidikan dan sesuatu yang menjadi halangan untuk
berhasil dalam hidup. Banyak orang berpendapat, untuk menjadi Indonesia, orang
harus meninggalkan kesukuannya. Padahal tidak ada yang salah jika seseorang
menjadi orang Indonesia sambil tetap menjadi orang Jawa, orang Sunda, orang
Melayu, orang Aceh, orang Minang, orang Bugis atau suku lainnya. Karena adanya
salah paham itulah, rasa kedaerahan dianggap antikenasionalan.
Sekarang lebih banyak orang yang berbicara bahasa Indonesia bukanlah karena
dorongan rasa nasionalismenya, melainkan lebih disebabkan adanya anggapan bahwa
bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Sepertinya itulah
yang diyakini kaum muda, khususnya yang ada di Makassar saat ini. Mereka lebih
merasa berkelas jika tidak tahu bahasa Bugis Makassar. Dan yang kini
memperparah keadaan adalah fakta bahwa seringkali orang tua mengorbankan bahasa
Bugis Makassar sehingga anaknya hanya bisa berbahasa nasional atau sekalian
bahasa internasional. Coba perhatikan saja, saat ini mana ada orangtua yang
mendaftarkan anaknya ikut les bahasa Bugis Makassar? Pasti mereka lebih bangga
jika anak-anaknya lebih fasih berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Padahal,
rumah adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah. Orang tua adalah
matarantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak
memakai bahasa daerah, maka tentu saja anak dari anak itu tidak akan memakai
bahasa daerah lagi. Ini adalah permulaan kematian bahasa Bugis Makassar. Jumlah
orang yang memakai bahasa Bugis Makassar akan terus menurun, sampai tidak ada
lagi orang yang memakainya. Dan akhirnya bahasa itu mati.
Kini aku hanya bisa merasa menjadi
Indonesia jika berada didalam rumahku saja. Disana aku bisa bebas menjadi
diriku sendiri yang bangga berbahasa Bugis kapanpun aku mau tanpa harus
menerima celaan dari orang lain. Suatu kesyukuran bagiku bahwa orangtua dan
saudar-saudaraku masih menjujung tinggi bahasa suku kami itu. Dan aku berikrar,
kelak jika aku telah berkeluarga dan memiliki keturunan, bahasa Bugis akan
selalu terdengar didalam rumah kami. Semoga saja para leluhur bangsa ini
melihat itu sebagai tanda bahwa kami masih hidup untuk mempertahankan bangsa
ini dari keterpurukan.
Selain itu, aku hanya bisa meratapi
nasib bangsa ini. Yang kian hari makin terpuruk akibat ulah generasi
penerusnya. Orang timur seharusnya menjunjung tinggi adat istiadat. Walau jaman
telah berubah dimana peradaban luar mulai begitu gencar mempengaruhi setiap
aspek kehidupan, namun jika kita sadar terhadap warisan berharga para leluhur yang
telah berjuang dan mengorbankan dirinya demi hidup kita saat ini, maka jangan
ada kata malu untuk sedikit membuat mereka merasa tidak sia-sia telah berkorban
demi penerus seperti kita. Aku percaya bahwa Indonesia hanya akan hidup dan
menjadi besar ditangan orang-orang yang menghargai budayanya.
datanglah ke Riau, disini ada satu kecamatan yang "bahasa nasional"nya Bahasa bugis.
BalasHapusBahkan saya kenal betul beberapa keluarga Melayu tulen, yang fasih berbahasa bugis.
Amin, semoga diberi kesempatan jalan2 kesana (hope tingkat dewa hehhee). Wahh benarkah?? mungkin mereka itu keturunan para pelaut bugis dulu yg memang banyak menetap di berbagai daerah, wah malu rasanya mengetahui mereka yg jauh disana masih begitu bangga dengan bahasa Bugis, salam hangat buat Bugier's disana *alahh ini istilah apaan?* ohh iya salam kenal juga yah thanks udah mampir :D
BalasHapus