Pages

Kamis, 22 Maret 2012

(Kartulku) "Nasionalisme Hanya Ada Dalam Rumahku"

NASIONALISME HANYA ADA DALAM RUMAHKU


Rumahku adalah istanaku. Sebuah pepatah klasik yang membosankan di telinga orang-orang yang merasa selalu up to date. Namun tidak bagiku, jika mendengar pepatah itu seonggok semangat untuk segera kembali ke rumah selalu mendesak di sela-sela aktivitasku. Entah mengapa aku selalu merasa sangat nyaman ketika berada di rumah. Aku bisa menemukan kebebasan dan menjadi diriku yang seutuhnya disana. Mungkin karena orang-orang didalamnya yang selalu mengerti sosok diriku apa adanya, sehingga aku tidak harus berpura-pura memainkan sebuah drama yang menjadi settingan orang-orang yang memaksakan apa yang mereka mau. Mungkin juga karena sebenarnya aku telah bosan dengan segala tuntutan pergaulan orang-orang disekitarku yang selalu mengaku sebagai seorang teman bagiku namun tidak bisa menerimaku sebagai seorang yang bangga menjadi bangsa Indonesia. Aku yakin selama ini itulah yang sebenarnya  aku dan orang-orang sepertiku rasakan.
Nasionalismeku kini terkekang. Karena bagiku semangat nasionalisme hanya ada dalam diriku jika aku bisa menjadi Indonesia seutuhnya. Aku selalu merasa terkekang diantara mereka yang sebenarnya adalah saudaraku. Aku tidak lagi bisa bebas menjadi diri sendiri, karena jika aku tidak bisa mengikuti apa yang menjadi kelaziman bagi mereka, maka aku akan dijuluki kampungan, norak, tidak gaul atau apalah namanya. Padahal aku bangga atas apa yang telah menjadi takdirku, dilahirkan diantara orang-orang yang menjunjung tinggi adat istiadat Suku Bugis Makassar. Salah satu suku di negeri ini yang begitu gigih ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia kala itu. Dan sekali lagi aku sangat bangga atas suku ku!
Tapi mengapa setiap kali aku berbicara menggunakan bahasa Bugis dengan orang-orang disekitarku, yang aku yakin mereka juga adalah keturunan Bugis, mereka jadi menertawaiku? apa yang salah dengan bahasaku? Apa yang salah jika aku mencintai apa yang telah menjadi budaya dalam keluargaku? Mengapa kaum muda sekarang, yang menjadi harapan penerus bangsa begitu sombong untuk menjadi Indonesia?
Jujur saja aku telah muak dengan mereka yang telah menertawaiku selama ini, terutama mereka yang menyandang predikat mahasiswa. Aku muak jika mereka berdiri hormat kepada sang merah putih atau turun kejalan berdemonstrasi ketika Negara tetangga mengklaim hasil budaya negeri ini atas nama nasionalisme, tapi mereka tidak menghargai budayanya sendiri. Mereka selalu mengaku memiliki nasionalisme yang tinggi tapi tidak sadar menjadi antek-antek kolonialisme bahasa asing yang kian menggerus bahasa daerahnya. Aku akan selalu merasa lebih baik dari mereka. Karena aku masih menjaga harta yang dimiliki oleh negeri ini. Bukankah Bahasa Daerah adalah identitas utama dan merupakan ciri khas tiap daerah. Melestarikan bahasa daerah berarti turut menjaga ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Indonesia. Indonesia terkenal akan kemajemukan bangsanya, bila bahasa daerah hilang, maka hilang pula identitas Negara ini. Jika itu terjadi dimasa aku masih hidup, aku akan sangat malu untuk menjadi Indonesia.
Suatu hari aku berlibur ke Pantai Losari bersama seorang temanku yang merupakan keturunan Tionghoa. Secara kebetulan disana temanku bertemu dengan rekannya saat masih SMP dulu yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Dia kemudian memperkenalkan aku dengan temannya, lalu melanjutkan percakapannya dengan bahasa Tionghoa tanpa merasa canggung ditengah-tengah keramaian saat itu. Mereka terlihat sangat percaya diri menggunakan bahasa asli daerah mereka, walaupun sesekali orang-orang yang berkeliaran disekitar kami melirik kearah mereka, tapi mereka tidak peduli. Saat itu aku sangat iri dengan dua orang keturunan Tionghoa ini. Mereka begitu bangga terhadap budayanya. Mereka mempunyai rasa memiliki yang begitu besar terhadap aset negaranya dan juga rasa tanggungjawab untuk mempertahankannya. Tidak ada gengsi ataupun rasa malu, semuanya mengalir begitu saja dan tanpa ada rasa keterpaksaan tentunya.
Bandingkan dengan kisahku yang satu ini. Saat aku mengajak teman-temanku ke sebuah mall yang cukup besar di kota Makassar. Juga secara kebetulan aku bertemu dengan temanku yang pernah menjadi tetanggaku saat masih kecil. Kemudian secara spontan kami bercakap-cakap dengan berbahasa Bugis karena itulah kebiasaan kami setiap kali kami bertemu. Teman-temanku yang mendengar percakapan kami langsung tertawa dan menghindar beberapa langkah dari kami, dan ada pula yang tersenyum cukup sinis kearah kami. “lu norak banget sih” kalimat itulah yang keluar dari mulut salah satu dari mereka. Padahal aku tahu bahwa mereka semua juga memiliki latarbelakang keturunan Bugis Makassar. Aku langsung merasa sangat malu dengan temanku yang kuajak bercakap tadi. Aku tahu dia pasti merasa harga dirinya terinjak-injak dengan kelakuan teman-temanku itu. Dia pun langsung pamit pergi dengan muka yang masam. Sungguh aku tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka. Dimana budaya siri’ yang seharusnya sudah menjadi darah daging dalam diri mereka sebagai keturunan Bugis Makassar? Ataukah ungkapan itu tidak berlaku bagi mereka? Apakah mereka malu mengakui bahwa mereka dilahirkan dengan darah Bugis Makassar didalam dirinya?
Sejak saat itu, aku menjadi sangat dilema. Lingkungan sekitarku menuntutku berubah menjadi sesuatu yang sebenarnya bukan diriku. Aku selalu mendapat perlakuan yang sama dari teman-temanku yang lain setiap kali berbicara dengan bahasa Bugis Makassar. Aku terpaksa mengikuti setiap alur drama yang mereka ciptakan. Berbicara dengan berbahasa Bugis seakan aneh dan tabuh di telinga mereka. Sebuah ironi melihat kaum muda saat ini. Begitu rapuh dan tidak memiliki prinsip hidup yang jelas. Mereka begitu mudah menerima budaya asing yang disusupi dengan motif-motif tertentu dan menganggap itu sabagai sebuah kebanggaan. Bahasa-bahasa yang dianggap gaul bagi mereka lebih bernilai dan lebih perlu untuk dilestarikan dibandingkan bahasa daerah sendiri.
Padahal bahasa adalah cara pandang dan pola pikir masyarakat pemakainya. Melenyapkan satu bahasa identik dengan melenyapkan pola pikir manusia. Kita bisa mempelajari pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain yang digunakan suatu bangsa dari bahasa bangsa tersebut. Pengetahuan tersebut secara turun-temurun diwariskan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dengan kata lain, sejarah intelektual suatu bangsa tersebut tersimpan dalam bahasanya masing-masing.
Berkurangnya minat kaum muda untuk menggunakan bahasa Bugis atau bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia tidak lepas dari stigma yang melekat kepadanya. Banyak yang menganggap bahasa daerah itu kuno, bahasa yang hanya dipakai oleh orang miskin dan tidak berpendidikan dan sesuatu yang menjadi halangan untuk berhasil dalam hidup. Banyak orang berpendapat, untuk menjadi Indonesia, orang harus meninggalkan kesukuannya. Padahal tidak ada yang salah jika seseorang menjadi orang Indonesia sambil tetap menjadi orang Jawa, orang Sunda, orang Melayu, orang Aceh, orang Minang, orang Bugis atau suku lainnya. Karena adanya salah paham itulah, rasa kedaerahan dianggap antikenasionalan.
Sekarang lebih banyak orang yang berbicara bahasa Indonesia bukanlah karena dorongan rasa nasionalismenya, melainkan lebih disebabkan adanya anggapan bahwa bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Sepertinya itulah yang diyakini kaum muda, khususnya yang ada di Makassar saat ini. Mereka lebih merasa berkelas jika tidak tahu bahasa Bugis Makassar. Dan yang kini memperparah keadaan adalah fakta bahwa seringkali orang tua mengorbankan bahasa Bugis Makassar sehingga anaknya hanya bisa berbahasa nasional atau sekalian bahasa internasional. Coba perhatikan saja, saat ini mana ada orangtua yang mendaftarkan anaknya ikut les bahasa Bugis Makassar? Pasti mereka lebih bangga jika anak-anaknya lebih fasih berbahasa asing daripada berbahasa daerah. Padahal, rumah adalah benteng terakhir bagi perkembangan bahasa daerah. Orang tua adalah matarantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak memakai bahasa daerah, maka tentu saja anak dari anak itu tidak akan memakai bahasa daerah lagi. Ini adalah permulaan kematian bahasa Bugis Makassar. Jumlah orang yang memakai bahasa Bugis Makassar akan terus menurun, sampai tidak ada lagi orang yang memakainya. Dan akhirnya bahasa itu mati.
Kini aku hanya bisa merasa menjadi Indonesia jika berada didalam rumahku saja. Disana aku bisa bebas menjadi diriku sendiri yang bangga berbahasa Bugis kapanpun aku mau tanpa harus menerima celaan dari orang lain. Suatu kesyukuran bagiku bahwa orangtua dan saudar-saudaraku masih menjujung tinggi bahasa suku kami itu. Dan aku berikrar, kelak jika aku telah berkeluarga dan memiliki keturunan, bahasa Bugis akan selalu terdengar didalam rumah kami. Semoga saja para leluhur bangsa ini melihat itu sebagai tanda bahwa kami masih hidup untuk mempertahankan bangsa ini dari keterpurukan. 
Selain itu, aku hanya bisa meratapi nasib bangsa ini. Yang kian hari makin terpuruk akibat ulah generasi penerusnya. Orang timur seharusnya menjunjung tinggi adat istiadat. Walau jaman telah berubah dimana peradaban luar mulai begitu gencar mempengaruhi setiap aspek kehidupan, namun jika kita sadar terhadap warisan berharga para leluhur yang telah berjuang dan mengorbankan dirinya demi hidup kita saat ini, maka jangan ada kata malu untuk sedikit membuat mereka merasa tidak sia-sia telah berkorban demi penerus seperti kita. Aku percaya bahwa Indonesia hanya akan hidup dan menjadi besar ditangan orang-orang yang menghargai budayanya.

2 komentar:

  1. datanglah ke Riau, disini ada satu kecamatan yang "bahasa nasional"nya Bahasa bugis.
    Bahkan saya kenal betul beberapa keluarga Melayu tulen, yang fasih berbahasa bugis.

    BalasHapus
  2. Amin, semoga diberi kesempatan jalan2 kesana (hope tingkat dewa hehhee). Wahh benarkah?? mungkin mereka itu keturunan para pelaut bugis dulu yg memang banyak menetap di berbagai daerah, wah malu rasanya mengetahui mereka yg jauh disana masih begitu bangga dengan bahasa Bugis, salam hangat buat Bugier's disana *alahh ini istilah apaan?* ohh iya salam kenal juga yah thanks udah mampir :D

    BalasHapus

Silahkan Komentar Disini..