SUMBER-SUMBER HUKUM HUMANITER
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum internasional, kita dapat mengacu pada
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional yang menyebutkan mengenai sumber hukum yang dapat diterapkan,
yaitu:
a. International Convention, whether general of particular,
establishing rules expressly recognized
by the contesting states;
b. International custom, as evidence of a general practice
accepted as law;
c. The general principles of law recognized by civilized
nations;
d. Subject to the provisions of Article 59, judicial
decisions and the teaching of the most highly qualified publicist of the various nations, as
subsidiary means for the determinations of rules of law”.
Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.
Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den
Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut
merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang
telah disebutkan terdahulu.
A. HUKUM DEN HAAG
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai
cara an alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita akan
membicarakan hasil-hasil konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899
dan konferensi perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
1.
Konvensi
Den Haag 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Perdamaian
I di Den Haag (18 Mei-29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar
Nicolas II dari Russia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar
Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi
Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan
lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi
Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria,
Prussia dan Russia. Seperti diketahui bahwa Quadruple Alliance yang
ditandatangani oleh Austria, Prussia dan Inggris tanggal 20 November 1815
merupakan kelanjutan dari Kongres Wina september 1814-Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali
keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal
18 Juni 1815. Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun
1898 menteri Luar Negeri Russia Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua
kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa
ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi
persenjataan.
Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 Mei 1899 itu berlangsung selama 2
bulan menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899.
Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan
Internasional
2. Konvensi II TENTANG Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa
Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai
berikut:
1. Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru
yang bungkusnya tidak sempurna menutupi bagian dalam sehingga dapat pecah dan
membesar dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak
dari balon, selama jangka lima tahun yang
berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3.
Penggunaan
proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
2.
Konvensi Den Haag 1907
Konferensi
perdamaian yang kedua diadakan pada tahun 1907. Konferensi ini secara umum
gagal dan hanya menghasilkan beberapa keputusan. Namun, bertemunya
negara-negara besar dalam konferensi ini menjadi model bagi upaya-upaya kerja
sama internasional yang dilakukan di kemudian hari di abad ke-20. Konferensi
yang kedua ini sebenarnya telah diserukan akan diadakan pada tahun 1904, atas
saran Presiden Theodore Roosevelt, tetapi ditunda karena terjadinya
perang antara Rusia dan Jepang. Konferensi Perdamaian Kedua tersebut kemudian
diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober 1907 untuk memperluas
isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah beberapa bagian dan
menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar pada perang
laut. Pihak Inggris mencoba mengegolkan ketentuan mengenai pembatasan
persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah negara lain, dengan
dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu merupakan usaha Inggris
untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman. Jerman juga menolak usulan
tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut berhasil memperbesar
mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan sejumlah konvensi yang
mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta kewajiban negara netral.
Perjanjian
Final ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai berlaku pada
tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi, yang dua
belas di antaranya diratifikasi dan berlaku:
- I - Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional
- II - Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang Kontrak
- III - Pembukaan Permusuhan
- IV - Hukum dan Kebiasaan Perang Darat
- V - Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi Perang Darat
- VI - Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan
- VII - Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang
- VIII - Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis
- IX - Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang
- X - Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang Laut
- XI - Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap dalam Perang Laut
- XII - Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional (Tidak diratifikasi]
- XIII - Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut
Selain itu
ditandatangani pula dua deklarasi:
- Deklarasi I - yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi 1899 untuk mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
- Deklarasi II - mengenai arbitrase wajib.
Delegasi
Brazil dipimpin oleh negarawan Ruy
Barbosa, yang
kontribusinya sangat penting bagi dipertahankannya prinsip kesetaraan hukum negara-negara.
Delegasi Inggris beranggotakan
antara lain 11th Lord Reay (Donald
James Mackay),
Sir Ernest Satow, dan Eyre
Crowe. Delegasi
Rusia dipimpin oleh Fyodor
Martens.
Protokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag Meskipun tidak dirundingkan di Den Haag, Prokol
Jenewa untuk Konvensi Den Haag dianggap sebagai tambahan untuk Konvensi
tersebut. Protokol yang ditandatangani pada tanggal 17 Juni 1925 dan mulai
berlaku pada tanggal 8 Februari 1928 ini secara permanen melarang penggunaan
segala bentuk cara perang kimia dan cara perang biologi. Protokol yang hanya
mempunyai satu seksi ini berjudul “Protokol Pelarangan atas Penggunaan Gas
Pencekik, Gas Beracun, atau Gas-gas Lain dalam Perang dan atas Penggunaan
Cara-Cara Berperang dengan Bakteri” (Protocol for the Prohibition of the Use
in War of Asphyxiating, Poisonous or Other Gases, and of Bacteriological
Methods of Warfare). Protokol ini disusun karena semakin meningkatnya
kegusaran publik terhadap perang kimia menyusul dipergunakannya gas mustard dan
agen-agen serupa dalam Perang Dunia I dan karena adanya kekhawatiran bahwa senjata kimia dan
senjata biologi bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi mengerikan dalam
perang di kemudian hari. Hingga hari ini, protokol tersebut telah diperluas
dengan Konvensi Senjata Biologi (''Biological Weapons Convention'') (1972) dan Konvensi Senjata Kimia
(''Chemical Weapons Convention'') (1993).
Dalam hubungannnya dengan ratifikasi Indonesia atas
Konvensi-konvensi Deen Haag pada tahun 1907 itu maka F.Sugeng Istanto
menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih
bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga
ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan
Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
Ketika terjadi pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda
kepada Republik Indonesia Serikat pada tnaggal 27 Desember 1949, maka hak dan
kewajiban Hindia Belanda beralih kepada Republik Indonesia Serikat melalui
Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian KMB di Den Haag.
Ketika susunan Negara mengalami perubahan dari Republik
Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia Kesatuan, maka ketentuan peralihan
UUDS 1950 telah menjadi jembatan penghubung tetap sahnya ratifikasi itu,
demikian juga ketika UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1969, Pasal II Aturan Peralihan telah menampung hal-hal yang belum diatur
oeh UUD 1945 termasuk Ratifikasi terhadap konvensi Den Haag tersebut.
B. HUKUM JENEWA
Konvensi-konvensi Jenewa meliputi empat perjanjian (treaties) dan tiga
protokol tambahan yang menetapkan standar dalam hukum internasional (international
law) mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang. Istilah Konvensi
Jenewa, dalam bentuk tunggal, mengacu pada persetujuan-persetujuan 1949, yang
merupakan hasil perundingan yang dilakukan seusai Perang Dunia II.
Persetujuan-persetujuan tersebut berupa diperbaharuinya ketentuan-ketentuan
pada tiga perjanjian yang sudah ada dan diadopsinya perjanjian keempat. Rumusan
keempat perjanjian 1949 tersebut ekstensif, yaitu berisi pasal-pasal yang
menetapkan hak-hak dasar bagi orang yang tertangkap dalam konflik militer,
pasal-pasal yang menetapkan perlindungan bagi korban luka, dan pasal-pasal yang
menyikapi masalah perlindungan bagi orang sipil yang berada di dalam dan di
sekitar kawasan perang. Keempat perjanjian 1949 tersebut telah diratifikasi,
secara utuh ataupun dengan reservasi, oleh 194 negara.
Konvensi-konvensi Jenewa tidak berkenaan dengan penggunaan senjata perang,
karena permasalahan tersebut dicakup oleh Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan
1907 dan Protokol Jenewa.
"Orang
yang dilindungi berhak, dalam segala keadaan, untuk memperoleh penghormatan
atas dirinya, martabatnya, hak-hak keluarganya, keyakinan dan ibadah
keagamaannya, dan kebiasaan serta adat-istiadatnya. Mereka setiap saat
diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi, terutama terhadap segala bentuk
kekerasan atau ancaman kekerasan dan terhadap penghinaan dan keingintahuan
publik. Perempuan dilindungi secara istimewa terhadap setiap penyerangan atas
martabatnya, terutama terhadap pemerkosaan, pelacuran paksa, atau setiap bentuk
penyerangan tidak senonoh (indecent assault). Tanpa merugikan
ketentuan-ketentuan mengenai keadaan kesehatan, usia, dan jenis kelamin, semua
orang yang dilindungi diperlakukan dengan penghormatan yang sama oleh Peserta
konflik yang menguasai mereka, tanpa pembeda-bedaan merugikan yang didasarkan
pada, terutama, ras, agama, atau opini politik. Namun, Peserta konflik boleh
mengambil langkah-langkah kontrol dan keamanan menyangkut orang-orang yang
dilindungi sebagaimana yang mungkin diperlukan sebagai akibat dari perang yang
bersangkutan." (Pasal 27, Konvensi Jenewa Keempat)Bahwa Hukum Den Haag dan
Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam Humaniter, sebagaiman dikemukakan
oleh Jean Pictet bahwa :
“Humanitarian Law has two branches, one bearing the name of Geneva, and the
other name of the Hague”. Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan
korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut
adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah :
I. Konvensi Jenewa Pertama (First
Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Terluka dan Sakit di Darat, 1864 (Geneva Konvention for the
Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the
Field);
II. Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva
Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang
Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 (Geneva Convention for the
Amelioration of the condotion of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of
Armed Forces at Sea);
III. Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai
PerlakuanTawanan Perang, 1929 (Geneva Convention Relative to the
Treatment of Prisoners of War);
IV. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai
Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 (Geneva
Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War).
Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan
lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan:
1. Protokol Additional to the Jeneva Covention of 12 August 1949, and
Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict (Protocol
I); dan
2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and
Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conlicts
(Protocol II).
Konvensi-konvensi dan persetujuan-persetujuannya
Konvensi-konvensi Jenewa terdiri
dari berbagai aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata, dengan tujuan
melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta dalam
permusuhan, antara lain:
- kombatan yang terluka atau sakit
- tawanan perang
- orang sipil
- personel dinas medis dan dinas keagamaan
Konvensi
Dalam ranah diplomasi, istilah
konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa, yaitu pertemuan sejumlah
orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti perjanjian internasional atau
traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada
tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat.
- Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864
- Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906
- Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929
- Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949
Satu rangkaian konvensi yang
terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut sebagai “Konvensi-konvensi
Jenewa 1949” atau, secara lebih sederhana, “Konvensi Jenewa”.
Protokol
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 telah dimodifikasi dengan tiga
protokol amandemen, yaitu:
- Protokol I (1977), mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional
- Protokol II (1977), mengenai Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional
- Protokol III (2005), mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan
Aplikasi
Konvensi-konvensi Jenewa berlaku
pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah
meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut. Ketentuan rinci mengenai
aplikabilitas Konvensi-konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang
Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika
Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian
tertentu dari kedaulatan nasionalnya (national sovereignty) untuk dapat
mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak
sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara
tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi
individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima
tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut.
Pasal 2 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Internasional
Pasal ini menyatakan bahwa
Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik internasional di mana
sekurang-kurangnya satu dari negara-negara yang berperang telah meratifikasi
Konvensi-konvensi tersebut. Terutama:
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus perang yang dideklarasikan (declared war) antara negara-negara penandatangan. Pengertian ini merupakan pengertian yang asli tentang aplikabilitas dan mendahului pengertian versi 1949.
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku pada semua kasus konflik bersenjata antara dua negara penandatangan atau lebih, pun tanpa adanya deklarasi perang. Pengertian ini ditambahkan pada tahun 1949 untuk mengakomodasi situasi-situasi yang mempunyai seluruh karakteristik perang walaupun tanpa deklarasi perang yang formal, misalnya aksi polisional (police action).
- Konvensi-konvensi Jenewa berlaku bagi negara penandatangan walaupun negara lawan bukan penandatangan, tetapi hanya jika negara lawan tersebut “menerima dan menerapkan ketentuan-ketentuan” Konvensi-konvensi ini.
Pasal 1 Protokol I lebih lanjut
mengklarifikasi bahwa konflik bersenjata melawan dominasi penjajah atau
pendudukan asing juga berkualifikasi sebagai konflik internasional. Bila
kriteria tentang konflik internasional terpenuhi, maka perlindungan yang
disediakan oleh Konvensi-konvensi tersebut dianggap berlaku sepenuhnya.
Pasal 3 Ketentuan yang Sama, mengenai Konflik Bersenjata Non-internasional
Pasal ini menyatakan bahwa
aturan-aturan minimum tertentu tentang perang sebagaimana terdapat di dalamnya
juga berlaku pada konflik bersenjata yang tidak berkarakter internasional
tetapi berlangsung di dalam batas-batas wilayah sebuah negara. Aplikabilitas
pasal ini bersandar pada penafsiran tentang istilah konflik bersenjata.
Misalnya, pasal tersebut berlaku pada konflik antara pasukan Pemerintah dan
pasukan pemberontak atau antara dua pasukan pemberontak atau pada konflik lain
yang mempunyai seluruh karakteriastik perang tetapi berlangsung di dalam
batas-batas wilayah sebuah negara. Sekelompok kecil individu yang melakukan
penyerangan terhadap markas kepolisian tidak dianggap sebagai konflik
bersenjata yang tunduk pada pasal ini, tetapi sebagai konflik bersenjata yang
tunduk hanya pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dalam
konflik bersenjata non-internasional, yang berlaku dari Konvensi-konvensi
Jenewa bukanlah seluruh ketentuannya tetapi hanya ketentuan dalam jumlah
terbatas sebagaimana terdapat dalam redaksi Pasal 3 dan, di samping itu, dalam
redaksi Protokol II. Alasan pembatasan tersebut ialah bahwa banyak pasal dari
Konvensi-konvensi Jenewa akan bertentangan dengan hak-hak Negara Berdaulat.
Ringkasnya:
1. Orang
yang tidak ambil bagian aktif dalam permusuhan diperlakukan secara manusiawi
(termasuk anggota militer yang sudah tidak ambil bagian aktif lagi karena
sakit, cedera, atau tertawan).
2.
Korban luka dan korban sakit dikumpulkan
dan dirawat serta diperlakukan dengan respek.
Penegakan:
- Kuasa Perlindungan
Istilah kuasa perlindungan (protecting
power) mempunyai arti spesifik berdasarkan Konvensi-konvensi ini. Kuasa
perlindungan ialah sebuah negara yang tidak ikut serta dalam sebuah konflik
bersenjata tetapi setuju untuk mengurus kepentingan sebuah negara lain yang
menjadi peserta konflik tersebut. Kuasa perlindungan berfungsi sebagai mediator
yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-pihak peserta konflik.
Kuasa perlindungan juga berfungsi memantau implementasi Konvensi-konvensi ini,
misalnya dengan cara mengunjungi kawasan konflik dan tawanan perang. Kuasa
perlindungan harus bertindak sebagai pendamping (advocate) bagi tawanan,
korban luka, dan orang sipil.
- Pelanggaran berat
Tidak semua pelanggaran atas
Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius
disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara
hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat
atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan
berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi
tersebut:
- pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi
- dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan
- memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan
- dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang
Tindakan berikut ini juga dianggap
sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:
- penyanderaan
- penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.
- deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum
Negara yang menjadi peserta
Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan
perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga
berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau
yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta
mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun
kejahatan tersebut dilakukan. Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku
bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah
Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for
Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.
Konvensi-konvensi Jenewa dewasa ini
Meskipun peperangan telah
mengalami perubahan dramatis sejak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949,
konvensi-konvensi tersebut masih dianggap sebagai batu penjuru Hukum Humaniter
Internasional kontemporer. Konvensi-konvensi tersebut melindungi
kombatan yang berada dalam keadaan hors de combat (tidak dapat ikut bertempur
lagi) serta melindungi orang sipil yang terjebak dalam kawasan perang.
Perjanjian-perjanjian tersebut menjalankan fungsinya dalam semua konflik
bersenjata internasional yang belum lama ini terjadi, termasuk Perang
Afghanistan (2001- sekarang), Invasi
Irak 2003, invasi Chechnya (1994-sekarang), dan Perang di Georgia
(2008). Peperangan moderen terus mengalami perubahan, dan dewasa ini proporsi
konflik bersenjata yang bersifat non-internasional semakin meningkat [misalnya:
Perang Saudara di Sri Lanka, Perang Saudara di Sudan, dan Konflik Bersenjata di
Kolombia. Pasal 3 Ketentuan yang Sama menangani situasi-situasi tersebut,
dengan dilengkapi oleh Protokol II (1977). Pasal dan protokol tersebut
menguraikan standar hukum minimum yang harus diikuti untuk konflik internal.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
Mahkamah internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia, telah membantu mengklarifikasi hukum internasional di bidang tersebut. Dalam putusannya mengenai kasus Jaksa Penuntut v. Dusko Tadic tahun 1999, Mahkamah Pidana Internasional untuk bekas Yugoslavia menetapkan bahwa pelanggaran berat berlaku tidak hanya pada konflik internasional, tetapi juga pada konflik bersenjata internal. Lebih lanjut, Pasal 3 Ketentuan yang Sama dan Protokol II dianggap sebagai hukum internasional kebiasaan (customary international law), yang memungkinkan dilakukannya penuntutan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang belum secara formal menerima ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
C.
SUMBER-SUMBER HUKUM LAINNYA
Selain
sumber hukum humaniter internasional pokok, yang berupa Hukum Den Haag dan
Hukum Jenewa, terdapat sumber hukum humaniter yang lainnya sebagai berikut:
1. Deklarasi Paris (16 April 1865)
1. Deklarasi Paris (16 April 1865)
Deklarasi
Paris 1865 mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman
Perang Krim tahun 1864, di mana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan
Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk
mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris memuat beberapa
asas.
Asas-asas Deklarasi Paris:
a.
Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus
b.
bendera netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang;
c.
barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali
kontraband perang;
d.
supaya mengikat, blokade harus efektif. Artinya dilakukan oleh suatu kekuatan
yang mencukupi untuk benar-benar mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.
2. Deklarasi St. Petersburg (29 November-11 Desember 1868)
Deklarasi St. Petersburg diprakarsai oleh Tsar Alexander II dari
Russia karena diketemukannya sejenis peluru yang jika permukaannya mengenai
benda yang keras tutupnya dapat meledak. Tujuan Deklarasi St. Petersburg adalah
untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam itu.
3. Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Udara
(1923)
Ketentuan khusus
mengenai perang di udara dirancang pada bulan Desember 1922 sampai bulan
Februari 1923 oleh komisi para ahli hukum di Den Haag, sebagai realisasi
Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok komisi ini sebenarnya hanya mengatur
penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dipergunakan
sebagai pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur penggunan
pesawat udara di dalam pertempuran dengan segala peralatan yang dimiliki.
4.
Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelarangan Penggunaan Gas Cekik dan
Macam-Macam Gas Lain dalam Peperangan
Larangan
penggunaan gas-gas tersebut mencakup larangan penggunaan gas air mata dalam
perang dan pemakaian herbasida untuk ketentuan perang. Protokol ini dirumuskan
dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional
senjata dan amunisi.
5.
Protokol London (6 November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam
dalam Pertempuran
Protokol
ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang hukum perang di laut yang
dibentuk di London tanggal 26 Februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Akehurst, Michael,1978,A Modern Introduction to International Law, George Allen and Unwin,
London-Boston-Sydney,1978.
ICRC. 1994.International Law Concerning the Conduct of
Hostilities.Geneva.ICRC.
Chairil
Anwar.1989.Hukum Internasional, Pengantar
Hukum Bangsa-bangsa.Djambatan:Jakarta.
Haryomataram.1984.Hukum Humaniter.Rajawali:Jakarta.
Koeswara
E.1988.Agresi Manusia.Eresco:Bandung
Haryomataram.1996.Pertikaian Bersenjata
Internasional,Makalah,Penataran Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia.PSHH-FH
USAKTI-ICRC:Cipayung.
Parthiana,
I Wayan.1990.Pengantar Hukum
Internasional.Mandar Maju:Bandung.
Internet
http://forkompmr.blogspot.com/2010/05/hukum-jenewa-sebagai-sumber-hukum.html diakses pada tanggal 07 Maret 2012 pukul
20.17 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Jenewa diakses pada tanggal 07 Maret 2012 pukul
21.49 WITA
Terimakasih. Saya mengambil referensi dr blog anda.
BalasHapus