BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pada
dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah
Hukum Pidana Internasional
atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum
internasional dari Eropa daratan seperti:
Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard
Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois
pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada
tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika
Serikat)[1].
Ditinjau dari substansinya maka hukum
pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan
asas-asas hokum pidana
yang mengatur tentang kejahatan internasional[2]. Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana
Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum
Pidana Internasional teramat luas dan
bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli
Atmasasmita lebih lanjut
menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai
berikut:
(1) Hukum Pidana Internasional dalam arti
lingkup territorial pidana
nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope
of municipal criminal law) ;
(2) Hukum Pidana
Internasional dalam arti kewenangan internbasional yang
terdapat di dalam hukum pidana internasional
(international criminal law in the meaning of internationally priscribel
municipal criminal law);
(3) Hukum Pidana
Internasional dalam arti kewenangan internasional
yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international
criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law);
(4) Hukum Pidana
Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional
yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan
masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of
municipal criminal law common to civilised
nations);
(5) Hukum Pidana
Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam
mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international
criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal
criminal justice);
(6) Hukum Pidana
International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense
of the word[3]).
Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum
Pidana Internasional teramat
luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek
internasional baik dalam arti kewenangan internasional
yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional
serta hukum pidana internasional dalam
arti materil.
Secara universal dan kasuistik maka
ada hubungan erat antara Hukum Pidana
Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian
kompleks baik mengenai cara melakukannya
(modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti
yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan
sistem hukum pelbagai negara.
Kejahatan transnasional
merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya
adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya
kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas
wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga
nampak adanya dua atau lebih negara
yang berkepentingan
atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya,
tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam
suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya
sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka
nampaknya sifatnya yang transnasional. Lalu bagaimana sebenarnya asas-asas hukum pidana internasional melihat
kejahatan tersebut? Di dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam karya ilmiah ini, yaitu:
1.
Apakah yang dimaksud dengan asas-asas hukum pidana
internasional?
2.
Bagaimanakah penerapan asas-asas hukum pidana
internasional?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini, antara
lain :
1. Menjelaskan tentang pengertian asas-asas hukum
pidana internasional;
2. Menjelaskan tentang penerapan asas-asas hukum pidana
internasional
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini, antara lain :
1. Dapat menjelaskan tentang pengertian asas-asas hukum pidana internasional;
2. Dapat menjelaskan tentang penerapan asas-asas hukum pidana internasional.
1. Dapat menjelaskan tentang pengertian asas-asas hukum pidana internasional;
2. Dapat menjelaskan tentang penerapan asas-asas hukum pidana internasional.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian
Asas Hukum
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum
yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan
pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata " asas " diformatkan
sebagai " principle ", sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ada tiga pengertian kata " asas": 1) hukum dasar, 2) dasar (sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat) dan 3) dasar cita- cita.
peraturan konkret ( seperti undang- undang) tidak boleh bertentangan dengan
asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem
hukum.
Tentang batasan pengertian asas hukum ada beberapa pendapat
yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu:
- Pendapat
Bellefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif
dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan- aturan yang lebih
umum.
- Pendapat
van Scholten, asas hukum adalah kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan
kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat- sifat umum dengan segala
keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak
harus ada.
- Pendapat
van Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi ia
adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku.
- Pendapat
van der Velden, asas hukum adalah tipe putusan yang digunakan sebagai tolak
ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat kita ambil kesimpulan
bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran
dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit
yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan
dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit
tersebut. Atau lebih ringkasnya, asas hukum
merupakan latar belakang dari terbentuknya suatu hukum konkrit.
2.2 Pengertian
Pidana Internasional
Schwaarzenberger
memberikan enam pengertian tentang hukum pidana internasional. Keenam
pengertian hukum pidana internasional tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional (International criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal law);
Hukum pidana internasional yang memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan, dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada jurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
2. Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally prescribed municipal criminal law);
Hukum pidana
internasional yang menyangkut kejadian suatu negara yang terikat pada hukum
internasional, berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan
perorangan yang ditetapkan dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban
ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional
(treaties) atau dari kewajiban negara-negara yang diatur dalam hukum kebiasaan
internasional.
3. Hukum pidana
internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum
pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally
authorized municipal criminal law);
Hukum pidana
internasional adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional yang
memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan atas tindak pidana
tertentu dalam batas jurisdiksi kriminalnya, dan memberikan kewenangan untuk
menerapkan jurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap tindak
pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum
internasional. Tindak pidana tertentu menurut hukum internasional ini adalah
piracy dan war crimes.
4. Hukum pidana
internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai
hukum yang patut dalam masyarakat bangsa yang beradab (international criminal
law in the meaning of municipal criminal law common to civilized nations);
Hukum pidana
internasional adalah ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana nasional yang
dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan masyarakat internasional.
5. Hukum pidana
internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi
peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of
international co-operation in the administration of municipal criminal
justice);
Hukum pidana internasional adalah semua aktifitas atau kegiatan hukum pidana nasional yang memerlukan kerja sama antar negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Hukum pidana internasional adalah semua aktifitas atau kegiatan hukum pidana nasional yang memerlukan kerja sama antar negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
6. Hukum pidana
internasional dalam arti kata material (international criminal law in the
material sense of the word);
Hukum pidana
internasional adalah mengenai objek hukum pidana internasional yang telah
ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional dan merupakan pelanggaran
atas de iure gentium, seperti piracy, agression, war crime, genocide, dan lalu
lintas perdagangan narkotika.
Bassiouni menyatakan bahwa, “International criminal law is a product of the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are: the criminal law aspect of international law and the international aspect of national criminal law.” (Terjemahan bebasnya adalah: hukum pidana internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana nasional). Bassiouni menegaskan bahwa aspek pidana di dalam hukum pidana internasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang dilakukan oleh perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau kolektif atau kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan pidana.
Bassiouni
selanjutnya mengatakan bahwa, “A study of the origins and development of the
criminal aspect of international law reveals that it deals essentially with
substantie international criminal law or international crimes.” (Terjemahan
bebasnya: suatu studi mengenai asal mula dan perkembangan aspek-aspek pidana
dari hukum internasional, pada hakikatnya mengungkapkan bahwa hal itu berkaitan
dengan substansi hukum pidana internasional atau kejahatan-kejahatan
internasional). Definisi pertama hukum pidana internasional di atas, menunjuk
pada apa yang disebut komponen substantif hukum pidana internasional
(substantive component of international law) atau yang disebut international
crimes atau kejahatan internasional atau tindak pidana internasional. Sedangkan
definisi yang kedua hukum pidana internasional menunjuk pada komponen
prosedural atau procedural component yaitu metoda aplikasi hukum pidana
internasional.
2.3 Pengertian
Pengadilan Pidana
Internasional
Pengadilan pidana internasional atau dalam bahasa Inggris di sebut internasional
criminal court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang
dibentuk oleh masyarakat negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman
kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional diantaranya
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan
agresi.
Pada tahun 1948, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah
menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan internasional. Untuk
menuntut kejahatan-kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu
kelompok (genocide atau genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december
1948, majlis umum PBB menyatakan sebagai berikut :
“recognizing that at all periods of history genocide has
inflictad great losses on humanity, and being convinced that, in order to librate
mankind from such an odius scourge, internasional cooperasion is requid”.
Setelah itu, suatu komite persiapan telah memulai kerjanya.
Yang di mulai pada awal 1999. Untuk mempersiapkan usulan-usulan yang berkaitan
dengan persiapan-persiapan praktis yang berkaitan dengan akan di mulai
berlakunya statuta ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian
mahkamah tersebut. Suatu komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan
dengan unsur-unsur kejahatan, aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan
pembuktian.
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya resolusi tersebut Pada
bulan Juli 1998 di Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma
tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang
tidak setuju (21abstein). Statuta Roma menjelaskan apa yang dimaksud dengan
kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja
sama dengan ICC. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC telah
dilakukan pada tanggal 11 April 2002 dan Statuta mulai dilaksanakan yuridiksinya
pada tanggal 1Juli 2002. Pada bulan Pebruari 2003, 18 hakim ICC pertama kali
diangkat dan Jaksa Penuntut pertama dipilih pada bulan April 2003.
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan
dalam karya tulis ini adalah
penulisan yang bertumpu kepada studi kepustakaan. Menurut bentuknya, penulisan
ini adalah penulisan prespkriptif, menurut tujuannya adalah pembahasan substantif share, sedangkan menurut penerapannya adalah penulisan
berfokus masalah, dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah penelitian muonodisipliner.
3.2 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah,
rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Bab II : Tinjauan pustaka yang menyajikan pengertian dasar
yang diperoleh dari literatur-literatur yang telah dikumpulkan.
Bab III : Metode penulisan disajikan dengan menggunakan teknik
penulisan, sistematika penulisan, pengumpulan dan pengolahan data.
Bab IV : Pembahasan yang berisi analisis permasalahan
berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan secara runtut.
Bab V : Penutup
berisi kesimpulan dan saran sebagaimana akhir penulisan yang diselaraskan dengan kerangka pemikiran sebelumnya.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang
digunakan oleh penulis dibagi menjadi dua jenis yaitu Data Primer dan Data
Sekunder. Data Primer adalah data-data faktual yang diambil secara langsung
oleh penulis dari berbagai pihak terkait dengan tema yang diangkat oleh
penulis. Sedangkan Data Sekunder adalah data yang diambil dari beberapa
referensi baik berupa artikel, karya ilmiah, buku dan sebagainya, yang
merupakan sumber tambahan sebagai pelengkap ataupun penguat Data Primer.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui
metode penelitian kepustakaan, buku-buku, jurnal ilmiah literature research, media massa serta situs internet yang sesuai
dengan masalah yang dibahas. Data diolah dengan teknik content analisis untuk menghasilkan
kesimpulan.
3.5 Analisis Data
Data-data yang telah
dikumpulkan oleh penulis kemudian dianalisa dari berbagai segi. Penganalisaan
data dilakukan berdasarkan sinkronisasi data dengan tema yang diangkat oleh
penulis, keobyektifan data, kefaktualan data,
kesesuaian data yang diambil dari berbagai sumber dan sebagainya. Tujuan
penganalisaan data ini adalah agar data yang kemudian dimasukkan dalam karya
tulis ini memiliki landasan yang cukup
kuat untuk dipertanggungjawabkan oleh penulis.
BAB
4
PEMBAHASAN
4.1 Hukum Humaniter
Internasional
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of
war). Dalam perkembangannya kata-kata perang (war) menimbulkan
ketakutan yang mendalam, sehingga timbul istilah baru yaitu pertikaian
bersenjata (arm conflict) untuk menggantikan istilah perang sekalipun
perang masih terjadi di mana-mana. Sesudah perang dunia II dilakukan
upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Sikap tersebut
berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah
menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict).
Dalam perkembangan selanjutnya yaitu permulaan abad ke-20 diusahakan
untuk mengatur cara berperang yang dalam penyusunannya dilengkapi dengan
konsepsi-konsepsi asas kemanusiaan (humanity principle), yang pada
akhirnya istilah laws of armed conflict mengalami pergeseran dengan
istilah baru International Humanitarian Law Aplicable in Armed Conflict,
yang kemudian sering disingkat dengan istilah international humanitarian law
atau hukum humaniter internasional.
Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda yaitu hukum perang, hukum
sengketa bersenjata, hukum perikemanusiaan internasional, Hukum Humaniter
Internasional (HHI), tetapi semua istilah itu mempunyai arti yang sama yaitu
mengatur tentang tata cara dan metode perang serta perlindungan terhadap
korban-korban perang.
Adapun pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai
keadaan hukum antara negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan
kekuatan militer. Sedangkan Oppenheim mendefinisikan perang sebagai
persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun
kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang[4].
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu:
a. Hukum yang
mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den
Haag)
b. Hukum yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat
perang (Hukum Jenewa)
Sedangkan Mochtar Kusumaadmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
a. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan;
b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
- Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).
Disebut The Haag Laws.
- Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang.
Disebut The Geneva Laws.
4.1.1
Pengertian Hukum Humaniter
Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan
istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun
1970-an yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on
the Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Selanjutnya
pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the
Reaffirmation dan Development of International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict.
Berikut adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut :
a. Mochtar Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban
perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala
sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum
Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang memberi
perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang
mengatur tentang perang tersebut.
b. International Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang
terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan
untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian
bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi,
atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk
menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta
benda yang terkena pertikaian bersenjata.
c. Geza Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi inilah yang
mempunyai sifat internasional dan humaniter.
d. Jean pictet
International humanitarian law in the wide sense is contitusional legal
provition, whether written and customary, ensuring respect for individual and
his well being.
e. Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara : the law of
armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya
pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara
netral. Sedangkan law of warfare ini antara lain mencakup : metode dan
sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang
sipil.
f. Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang
dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang.
g. Palang Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan hukum
humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional publik yang
bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian
bersenjata baik internasional maupun non internasional.
Dari semua definisi tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa Hukum Humaniter Internasional yaitu, ketentuan hukum yang berasal dari
perjanjian internasional atau kebiasaan internasional yang mengatur tata cara
dan metode berperang serta perlindungan terhadap korban perang, yang bertujuan
untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata
baik yang bersifat internasional maupun yang bersifat non internasional.
4.1.2
Asas-Asas Hukum Humaniter
Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan[5].
HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut[6].
a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan
kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan
perang.
b. Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan
perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
c. Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara
yang bersifat khianat dilarang.
Dalam situasi sengketa bersenjata pihak lawan diperbolehkan untuk
menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan lawannya supaya kemenangan
berada di pihaknya. Tetapi harus memperhatikan berbagai asas yang lain yaitu
harus memperhatikan asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan, yaitu perang
harus dilaksanakan dengan jujur dan harus memperhatikan aspek kemanusiaan.
Menurut Rina Rusman, Legal Adviser pada ICRC, Jakarta, dalam HHI
ada prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu[7]:
a. Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana
dan metoda berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan
militer yang nyata.
Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai
ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka
di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk
mengurangi penderitaan manusia dimanapun ditemukan. Prinsip ini bertujuan untuk
melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat
untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian
yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan
diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas atau
politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan
prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak.
b. Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan
dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula
ketentuan HHI yang memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sararan militer
apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip keterpaksaan
adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan
sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.
c. Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus
didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan
menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa,
luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan
keuntungan militer yang diharapkan langsung dari serangan tersebut.
d. Distinction (pembedaan)
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan
antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap
kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak
boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran.
Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil.
e. Prohibition of causing unnecessary suffering (prinsip HHI tentang
larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak
seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip
pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan
dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang
menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya
untuk melemahkan kekuatan militer lawan.
f. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk
situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum
tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak
yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang
tersebut.
Contoh tentang pemisahan ius ad bellum dengan ius in bello dapat dilihat
dalam Keputusan Prosecutor of the International Crime tribunal for
Yugoslavia (ICTY) tanggal 14 Mei 1999 berdasarkan Pasal 18 Statuta ICTY.
Keputusan tersebut adalah tentang pembentukan suatu komite yang diberi mandat
untuk memberikan advis kepada Prosecutor mengenai apakah ada dasar yang
cukup untuk melakukan investigasi atas dugaan adanya pelanggaran HHI dalam
serangan udara yang dilakukan NATO di Yugoslavia. Terlepas dari isi laporan
komite tersebut, keputusan Prosecutor tersebut menunjukkan pengakuan
tentang prinsip pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Dalam hal ini terlihat bahwa walaupun penggunaan kekerasan oleh NATO mungkin
dibenarkan berdasarkan Bab VIII Piagam PBB, tetapi tidak berarti bahwa HHI
menjadi tidak berlaku.
g. Ketentuan minimal HHI.
HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan
dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata
non internasional. Ketentuan minimal yang dimuat di Pasal 3 ketentuan yang sama
dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya dalam semua Konvensi
Jenewa I s/d IV).
Masing-masing prinsip HHI ini bersumberkan tidak pada satu macam sumber
HHI saja, melainkan dari bermacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai
bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi,
menjelaskan dan membantu penafsirannya.
4.1.3
Tujuan
Hukum Humaniter
Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa
dihindari, oleh karena itu hukum humaniter tidak bermaksud menghalangi perang.
HHI disusun untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih
memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh
Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiaakan perang. Di
samping itu ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu[8]:
(1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
(2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental
bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh
berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara
manusiawi;
(3 ) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa
mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.
Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah
untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia
(HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter
internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi
penderitaan setiap individu dalam situasi konflik bersenjata.
Ketentuan hukum
internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara.
Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian
Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18
Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan
Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum
Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara.
Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka
dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan
keadilan tidak sampai terganggu”. Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan
menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Salah satu pengadilan internasional yaitu Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berwenang dibidang hukum pidana internasional yang akan
mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang,
genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
4.2 Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana
internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum
internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang
mengandung dimensi-dimensi internasional. Oleh
karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum
dari kedua bidang hukum tersebut. Selain
itu, Hukum Pidana dan hukum pidana
internasional bersifat komplementaritas satu sama lain,sekalipun
keduanya dapat dibedakan. Hukum pidana internasional
telah mengatasi kelemahan-kelemahan hokum pidana
yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi kejahatan
lintas batas territorial.
Para Ahli hukum
memiliki perbedaan pandangan tentang
definisi hukum pidana internasional dan tergantung dari latar belakang keahliannya[9].
Diantara beberapa definisi tersebut Bassiouni telah mengemukakan satu
definisi sebagai berikut:
“International
Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines
which have emerged and developed along
different paths to become complementary and coextensive. They are:the criminal law aspects
of international law and the international
aspects of national criminal law”.
Aspek hukum pidana nasional terhadap hukum internasional merujuk kepada
konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan[10];
aspek hukum internasional terhadap hukum pidana nasional
merujuk kepada prosedur penerapan konvensi internasional
ke dalam hukum nasional atau penegakan hokum pidana
internasional[11].
Keterkaitan dua
aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang
sama menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hokum pidana internasional sebagai, “ a
complex legal discipline” yang terdiri
dari beberapa komponen yang terikat oleh hubungan fungsional
masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai satu
nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin hukum tersebut adalah, hukum
internasional, hukum pidana nasional,
perbandingan hukum dan prosedur, serta hokum humaniter
internasional dan regional[12].
Aspek pidana dari hukum internasional bersumber
pada kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip umum hokum internasional sebagaimana dimuat dalam
Pasal 38 International Court of Justice
(ICJ) termasuk: kejahatan internasional;
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana internasional;
aspek prosedur penegakan hukum langsung(direct enforcement system); dan aspek prosedur
penegakan hukum tidak langsung
(indirect enforcement system). Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi:
norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial; konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional dibawah naungan
PBB; dan penegakan hukum
tidak langsung[13].
Bassiouni
mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum
pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization” aspek pidana dari hokum internasional dan aspek internasional
dari hukum pidana nasional. Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda
dengan Bassiouni dengan mengatakan sebagai
berikut:
“Karena dalam hal seperti ini ( pemberlakuan
hukum pidana atau yurisdiksi atau Straftaanwendingsrecht/Strafanwendungsrecht
atau strafmachtsrecht)
..berurusan dengan pemberlakuan hukum
pada persoalan
yang mengandung unsure asing, bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum
pidana internasional, sekalipun
tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya
bagian dari hukum nasional. Hanya objek kajiannya yang
bersifat internasional”[14].
Selain hukum pidana yang membahas soal yurisdiksi negara lain (unsure
asing) juga ada bagian hukum pidana yang membahas implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional
atau bagian hukum pidana internasional substantive[15].
Pendapat Remmelink menegaskan bahwa hukum pidana internasional esensinya adalah hukum
(pidana)nasional, bukan hukum internasional, dan
sering diterjemahkan sebagai hokum antar
bangsa antara lain dengan pembentukan Mahkamah Tribunal di Nuremberg dan Tokyo.
Bassiouni masih belum secara tegas mengatakan hokum pidana internasional adalah bagian dari hukum
internasional atau dari hukum nasional
melainkan menegaskan sebagai “cross fertilization”
dari banyak komponen yang merupakan hubungan fungsional
(functional relationship). Namun jika diteliti pendapat Bassiouni mengenai disiplin hukum terkait yang
merupakan hokum pidana internasional: hukum
internasional; hukum pidana nasional; perbandingan
hukum pidana dan hukum acara pidana; dan hokum humaniter internasional dan
regional; maka esensinya mencerminkan
bahwa disiplin hukum internasional lebih dominan daripada hukum nasional. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Bassiouni bahwa, aspek substantive dari hukum
pidana internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi
internasional tentang kejahatan transnasional dan internasional.
4.2.1 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional
Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum
yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana
nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional[16].
Oleh karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas
hukum dari kedua bidang hukum tersebut. Untuk lebih jelasnya, masing-masing
akan dibahas satu persatu dibawah ini dan selanjutnya akan dibahasa hubungan
antar keduanya serta bagaimana perwujudannya dalam bentuk kaidah-kaidah hukum
pidana internasional dasn akhirnya bagaimana seharusnya Negara-negara
menyikapinya.
4.2.1.1 Asas-Asas Hukum Pidana
Internasional yang Berasal dari Hukum Pidan
Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana
internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan
derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling
utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui
didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing
asas tersebut meliputi :
a. Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat
negara-negara
Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang
besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan
yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum
internasional. Turunan asas-asas ini meliputi:
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai ,
- Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi
manusia,
- Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan
tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
- Dan lain-lain.
Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum
internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan
terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya
yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum
pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa
larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas
seseorang yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar
hukum pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab
tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah
tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau
di Israel.
b. Asas non-intervensi
Menurut asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah
dalam negeri Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika
suatu Negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha
memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang gerjadi didalam
suatu Negara lain tanpa persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini
jelas melanggar asas non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas
non-intervensi adalah tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984
dan tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.
c. Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan
kehidupannya, baik secara internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan
cara hidup bersama secar damai, saling menghargai antara satu dengan yang
lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih
Negara, supaya diselsaikan secar damai. Wujud dari asas hidup berdampingan
secara damai adalah dapat dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional
baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan
merumuskan kesepakatan-kesepakatan untuk
mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.
d. Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia
Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada
siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan
kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan
oleh Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan
dengan hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan
perundang-undangan nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti
terorisme, dan lain-lain. Tidak boleh
ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Hal ini sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan
mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi
Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana
internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan
perlindungan hak asasi manusia.
4.2.1.2 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional yang Berasal dari Hukum
Pidana Nasional Negara-Negara
Asas-asas hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak
berbeda antara astu dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana
nasional Negara-negara adalah asas legalitas (asas nullum delictum dan
asas culpabilitas. Dari kedua asas ini diturunkan beberapa asas lainnya
dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana nasional yang diturunkan dari asas
culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga
tak bersalah (presumption of innocent) dan asas ne bis in idem.
a. Asas legalitas
Asas legalitas yang dikenal juga dengan nama asas nullum delictum
noela poena sine lege……sebagai salah satu asas utama di dalam hukum pidana
nasional Negara-negara, pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak
dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu
perundangan-undangan pidana nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili
dan atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun
dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah
didasarkan pada pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum
perbuatan itu dilakukan.
b. Asas non-retroactive
Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan
keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan
atau tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan
atas dasar itu barulah Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan
tersebut.
c. Asas culpabilitas
Asas ini yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana
nasional Negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila
kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan
perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh
badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika
kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari
tuntutan pidana.
d. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau
tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat
dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki
kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana
layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, denagn segala hak asasi manusia
yang melekat pada dirinya.
e. Asas ne/non bis in idem
Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi
hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan
yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan
terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua
kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan
perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih
dari satu kali atas perbuatan yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya
adalah, karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan
jaminan kepastiqan hukum.
Perlu ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja
berupa putusan penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap
dirinya. Jika dia sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah
selesai dilaksanakan, maka sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada
umumnya, dengan segala hak dan kewajibannya.
Kewajiban suatu Negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati
Negara lain (termasuk badan peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas
kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah
dikemukakan diatas. Tegasnya, setiap Negara wajib menghormati segala apa yang
dilakukan oleh suatu Negara di dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam
mengadili dan memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya.
Oleh karena itu, proses pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan
nasionalnya serta putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar,
maka sama artinya dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan
kesamaan derajat Negara-negara.
4.2.1.3
Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Yang Benar-Benar Mandiri
Asas-asas Hukum Pidana Internasional yang benar-benar mandiri
dihasilkan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah konvensi
internasional, yakni perjanjian london 8 Agustus 1945 yang juga merupakan
Piagam atau Charter dari Mahkamah Militer Internasional (International Military
Tribunal) di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946 maupun yang menjiwai putusannya
dalam kasus-kasus pengadilan atas penjahat perang pada waktu Perang Dunia
II, Ada tujuh prinsip atau asas yang ditetapkan dalam perjanjian ini.
Pada kurun waktu tersebut perjanjian ini dipandang sebagai langkah progresif,
dimana sebelumnya individu / orang perorangan tidak pernah dimintakan
pertanggung jawaban secara internasional atas kejahatan-kejahatan yang
dilakukannya berdasarkan hukum internasional (crimes under international law).
Prinsip atau asas hukum dalam Mahkamah Militer Internasional di
Nurenberg kemudian diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission) dalam sidang kedua tahun 1950, yang disampaikan kepada Majelis Umum
PBB namun tidak ada tindak lanjut yang jelas tetapi kini telah diakui sebagai
prinsip-prinsip atau asas-asas hukum pidana internasional.
Sejak berlakunya perjanjian London 1945 ini ditindak lanjuti dengan
pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan Tokyo 1946
serta putusan-putusan yang telah dikeluarkan, kedudukan individu sebagai subjek
hukum internasional secara de jure dan de facto dikukuhkan sebab dapat
dimintakan pertanggung jawaban secara langsung pada tataran internasional melalui
badan peradilan pidana internasional (Pengadilan Nurenberg dan Tokyo, dan
diperkuat dengan pembentukan badan pengadilan internasional ad hoc, seperti
Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, dan
berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
berdasarkan Statuta Roma 1998. Ketujuh prinsip atau asas
hukum pidana internasional sebagaimana terdapat didalam Piagam Mahkamah Militer
Internasional di Nurenberg 1946 yang diformulasikan pada tahun 1950 yaitu :
Principle I :
Any person who
commits an act which constitutes a crime under internasional law is responsible
therefor and liable to punishment. (Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu
kejahatan berdasarkan hukum internasional harus bertanggung jawab dan oleh
karena itu dapat dijatuhi hukuman).
Principle II :
The fact that
internal law does not impose a penalty for an act which constitutes a crime
under international law does not relieve the person who committed the act from
responsibility under international law. (Suatu kenyataan bahwa hukum nasional atau domestik tidak memaksakan
suatu hukuman terhadap suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan
hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan yang telah
melakukan perbuatan tersebut dari pertanggung-jawabannya berdasarkan hukum
internasional).
Principle III :
The fact that a
person who committed an act which constitutes a crime under international law
acted as a Head of State or responsible Government official does not relieve
him from responsibility under international law. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan
suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional
bertindak sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab
tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggung jawaban berdasarkan
hukum internasional).
Principle IV :
The fact that a
person acted persuant to order of his Government or of a superior does not
relieve him from responsibility under international law, provided a moral
choice was in fact possible to him. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk
menjalankan perintah dari pemerintahnya atau dari kekuasaan yang lebih tinggi,
tidaklah membebaskannya dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum
internasional, sepanjang masih ada perimbangan moral yang dapat dipilihnya).
Principle V :
Any person
charged with a crime under international law has the right to a fair trial on
the facts and law. (seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional
mempunyai hak atas peradilan yang fair atau tidak memihak atas fakta-fakta dan
hukumannya).
Priciple VI :
The crime
hereinafter set out are punishable as crimes under international law (kejahatan-kejahatan dibawah ini yang dapat dihukum
sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional, adalah) :
(a) Crimes againts peace (Kejahatan terhadap perdamaian) :
i.
Planning, preparation, initiation or waging of a war of aggression or a war in
violation of international treaties, aggreements or assurances (Perencanaan, persiapan, berinisiatif, atau
mengobarkan perang agresi atau perang yang merupakan pelanggaran atas
perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan, atau penjaminan-penjaminan
internasional);
ii.
Partisipation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of
the acts mentioned under (i) (berpartisipasi dalam perencanaan bersama atau berkonspirasi dalam
perbuatan-perbuatan yang ditentukan dalam butir (i)) ;
(b)
War crimes (Kejahatan
perang) :
Violations of
the laws or customs of war which include, but are not limited to, murder,
ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of
civilian population of or in occupied terrirtory; murder or ill-treatment of
prisoners of war, of persons on the seas, killing of hostages, plunder of
public or private property, wanton destruction of cities, towns, or villages,
or devastation not justified by military necessity.(Pelanggaran-pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum
dan kebiasaan dalam perang, yang termasuk didalamnya, tetapi tidak terbatas
pada pembunuhan, perlakuan sewenang-wenang atau pendeportasian terhadap tenaga
kerja budak atau untuk tujuan lain dari penduduk sipil dari atau di wilayah
pendudukan, pembunuhan atau perlakuan sewenang-wenang terhadap tawanan perang,
orang-orang yang sedang berlayar dilaut, membunuh sandera, pengrusakan atas
properti milik pribadi ataupun umum, perusakan brutal atas kota-kota besar
maupun kecil, desa-desa, atau tindakan pengrusakan yang tidak dibenarkan
berdasarkan kebutuhan militer) ;
(c)
Crimes againts humanity (Kejahatan
terhadap kemanusiaan) :
Murder,
extermination, enslavement, deportation and other inhuman acts done againts any
civilian population, or persecutions on political, racial or religious grounds,
when such acts are done or such persecutions are carried on in execution of or
in connexion with any crime againts peace or any war crimes. (Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
pendeportasian, dan perbuatan perbuatan lain yang tidak berprikemanusiaan yang
dilakukan terhadap penduduk sipil, atau penyiksaan atas dasar alasan politik,
ras atau agama, apabila perbuatan atau penyiksaan itu dilakukan dalam hubungan
dengan suatu kejahatan terhadap perdamaian atau suatu kejahatan perang).
Priciple VII :
Complicity in
the commission of a crime againts peace, a war crime, or a crime againts
humanity as set forth in principle VI is a crime under international law (Keterlibatan dalam suatu perbuatan kejahatan
terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan
sebagaimana ditentukan dalam Prinsip VI adalah merupakan kejahatan berdasarkan
hukum internasional).
Prinsip I
Di dalam Prinsip I secara tegas dinyatakan beberapa butir penting yang
perlu ditelaah secara lebih mendalam, yaitu :
a) Orang atau individu sebagai pelaku kejahatan;
b) Kejahatan yang dilakukannya tergolong sebagai kejahatan
berdasarkan hokum internasional;
c) Individu si pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional
itu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya;
d) Sebagai individu yang harus bertanggungjawab atas kejahatan
yang dilakukannya, maka individu tersebut dapat dikenakan hukuman.
Mengenai orang atau individu, adalah setiap orang atau individu, tanpa
memandang apapun kedudukannya. Dia bisa seorang kepala negara, kepala
pemerintahan, ataupun pejabat tinggi sipil maupun militer, bahkan
orang-perorangan biasapun juga termasuk. Semuanya bisa saja melakukan kejahatan
baik secara sendiri-sendiri, secara bersama-sama, ataupun yang satu sebagai
pelaku utama, yang lain sebagai turut serta, ataupun sebagai pembantu saja.
Kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum internasional (Prinsip VI) adalah
kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Jika kejahatan yang dilakukannya tidak termasuk dalam hukum
internasional maka sepenuhnya tunduk pada hukum pidana nasional.
Pertanggungjawaban atas kejahatan atau perbuatan yang dilakukannya
berdasarkan hukum internasional adalah tanggung jawab pidana (kriminal),
prosedurnya dengan mengajukannya sebagai terdakwa dihadapan badan peradilan
pidana internasional. Tetapi jika atas perbuatannya (kejahatan berdasarkan
hukum internasional) itu sudah diatur didalam hukum pidana nasional
negara-negara, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas perbuatannya itu dan
juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya,
dapat mengadili sendiri berdasarkan hukum pidana nasionalnya.
Setelah orang atau individu bersangkutan dimintakan pertanggung jawaban
dihadapan badan peradilan (nasional ataupun internasional) melalui proses
peradilan yang adil, fair, dan tidak memihak, maka sebagai konsekuensinya jika
ia terbukti bersalah maka dijatuhi hukuman, jika tidak terbukti bersalah maka
dia akan dibebaskan dari tuntutan hukum. Adapun tempat menjalani hukuman jika
yang mengadili adalah badan peradilan pidana nasional suatu negara maka
dinegara itulah ia menjalani hukuman, sedangkan jika yang mengadili adalah
badan peradilan pidana internasional maka badan peradilan itulah yang
menentukan dinegara mana ia harus menjalani hukuman.
Prinsip II
Substansi dari Prinsip II ini menekankan pada usaha untuk menghindari
impunitas (impunity) bagi sipelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional.
Ada kemungkinan seseorang pelaku kejahatan, termasuk pelaku kejahatan
berdasarkan hukum internasional, menghindar dari tuntutan hukum dari negara
yang memiliki yurisdiksi dengan jalan meninggalkan wilayah negara tersebut dan
bersembunyi diwilayah negara lain. Atau negara yang memiliki yurisdiksi
ternyata tidak mengatur perbuatan yang merupkan kejahatan berdasarkan hukum
internasional itu didalam hukum pidana nasionalnya, atau jika negara itu sudah
mengaturnya tetapi negara itu tidak mampu dan atau tidak mau mengadili orang
yang bersangkutan, bahkan melindunginya.
Prinsip II ini menegaskan, jika hukum nasional tidak mengancam dengan
sanksi pidana (hukuman pidana) atas kejahatan berdasarkan hukum internasional
hal ini tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan dari tanggung-jawabnya
atas perbuatannya. Pertanggung-jawaban yang harus dihadapinya adalah
pertanggung-jawaban menurut hukum internasional.
Prinsip III
Prinsip III ini berkenaan dengan kejahatan berdasarkan hukum
internasional yang dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai kepala
negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Dalam hubungan keluar,
negaranya melalui pemerintahnyalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan
kepala negara, kepala pemerintah ataupun pejabat negara bersangkutan. Jika
negaranya sudah mempertanggung jawabkan perbuatannya itu yang mungkin merugikan
salah satu pihak atau lebih (negara, organisasi internasional, ataupun
subjek-subjek hukum internasional lainnya), maka sudah selesailah masalahnya.
Jika perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat
negara yang berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana
berdasarkan hukum internasional (crimes under international law) maka
tidak bisa menghindarkan diri dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum
internasional dengan berlindung dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap
dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan
peradilan pidana internasional, dengan asalan ia sebagai individu yang
melakukan kejahatan tersebut (meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau
negaranya).
Prinsip IV
Berkenaan dengan perintah atasan terhadap bawahannya untuk melakukan
kejahatan berdasarkan hukum internasional, seorang pelaku kejahatan berdasarkan
hukum internasional tidak boleh berlindung atau berdalih untuk menghindarkan
diri dari pertanggung jawaban atas perbuatannya, dengan alasan ia melakukan
perbuatan tersebut disebabkan karena adanya perintah dari pemerintahnya sendiri
atau dari kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya dari dirinya.
Berdasarkan Prinsip IV apapun alasannya untuk menghindari tanggung
jawab atas perbuatannya, alasan itu tidak dapat digunakan. Artinya dia harus
mempertanggung jawabkan kejahatan yang telah dilakukannya berdasarkan hukum
internasional, meskipun ia melakukannya karena perintah dari pemerintah maupun
dari atasannya.
Prinsip V
Merupakan pengakuan atas hak-hak dari individu atau orang yang didakwa
sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, yaitu hak atas
peradilan yang fair baik atas masalah hukum maupun fakta-fakta didalam proses
persidanganya, dan hak lainnya seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak
untuk tidak dianggap bersalah (presumption of innocent), hak untuk tidak
dikenakan hukum secara berlaku surut, dan lain-lain yang sudah umum berlaku
didalam proses peradilan negara-negara demokrasi didunia.
Prinsip VI
Berkenaan dengan kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan
berdasarkan hukum internasional (crimes under international law), yaitu :
a) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes
against peace);
b) Kejahatan perang (war crimes), dan
c) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity)
Kejahatan inilah yang dapat dituduhkan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional oleh Mahkamah Militer
Internasional di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946, dan yang diadopsi dan
diterapkan oleh Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex.Yugoslavia 1993 dan
Rwanda 1994, serta Mahkamah Pidana Internasional yang termuat dalam Pasal 5
ayat 1 statuta Roma 1998.
Prinsip VII
Prinsip ini memperluas subjek-subjek hukum, tidak saja mereka yang
melakukannya tetapi juga mereka yang terlibat didalamnya, sejauh mana seseorang
dapat dipandang terlibat atau melibatkan diri dalam suatu kejahatan berdasarkan
hukum internasional (kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau
kejahatan terhadap kemanusiaan) masalah ini ditentukan secara kasus demi kasus.
4.2.1.4 Asas-Asas Hukum Pidana
Nasional Negara-Negara dan Instrumen-Instrumen Hukum Internasional tentang Hak
Asasi manusia.
Asas-asas hukum pidana nasional yang sudah dipaparkan secara singkat
diatas, hampir keseluruhannya dapat dijumpai didalam instrumen-instrumen hukum
internasional tentang hak asasi manusia, seperti didalam Universal
Declaration of Human Rights 1948; International Convenant on Economic, Sosial,
and Cultural Rights 1966; International Convenant on Civil and Political Rights
1966; maupun didalam instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak
asasi manusia yang regional, seperti dalam European Convention on Human
Rights and Fundamental Freedoms 1950; American Convention on Human Rights 1969;
dan African Charter on Human and People’s Rights 1981.
Asas-asas hukum pidana nasional itu sendiri dapat dikatakan adalah juga
merupakan asas-asas dari hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum
(kebiasaan) internasional.
4.2.1.5 Asas-Asas Hukum Pidana
Internasional Merupakan Perpaduan Antara Asas-Asas Hukum Internasional dan
Asas-Asas Hukum Pidana Nasional Negara-Negara.
Asas-asas hukum internasional menjadi landasan bagi negara-negara
didalam melakukan hubungan-hubungan internasional, misalnya dalam membuat
perjanjian-perjanjian internasional tersebut tidak bertentangan antara satu
dengan lainnya, bahkan dapat saling mengisi atau saling melengkapi yang
semuanya terjalin dalam satu sistem yang terintegrasi serta tampaklah
keterpaduannya.
Dalam praktek penerapan hukum pidana nasionalnya masing-masing,
terutama dalam menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional,
negara-negara berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas hukum
internasional tersebut. Sehingga suatu negara tidak akan melanggar asas
kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat, tidak akan melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan campur tangan atas masalah dalam negeri negara
lain, ataupun tindakan tidak bersahabat yang lainnya, yang bertentangan dengan
asas hidup berdampingan secara damai, dan lain sebagainya.
Asas-asas hukum pidana nasional negara-negara tersebut sudah merupakan
hukum kebiasaan internasional, adanya kesadaran atau perasaan hukum yang sama
yang tampak berupa perilaku atau tindakan yang secara sama atau terus menerus,
berulang-ulang, secara luas dan konsisten, menunjukan bahwa perilaku atau
tindakan itu sudah merupakan hukum kebiasaan internasional. Penerapan asas-asas
hukum internasional pada umumnya tetap harus menghormati asas-asas hukum pidana
nasional negara-negara. Asas-asas dari hukum pidana internasional yang berasal
dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut (hukum internasional dan hukum
nasional negara-negara) tidak dapat dipandang secara terpisah ataupun berdiri
sendiri, melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terintegrasi atau
terpadu, yakni sebagai asas-asas dari hukum pidana internasional.
4.2.2 Kaidah-Kaidah Hukum Pidana Internasional
Kaidah-kaidah hukum pidana internasional meliputi semua ketentuan-ketentuan
dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional dan
perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral,
mengenai kejahatan internasional dan ketentuan-ketentuan lain yang mungkin ada
sepanjang mengenai tindak pidana internasional.
4.2.3 Proses dan Instrumen
Penegakan
Hukum Pidana Internasional
Proses dan instrumen penegakan hukum pidana internasional meliputi
ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum
pidana internasional dan institusi penegak hukumnya, seperti INTERPOL dan
Mahkamah Pidana Internasional. Prosedur penegakan hukum pidana internasional
dapat dibedakan dalam dua cara yaitu :
a. Direct enforcement system (sistem penegakan secara langsung), adalah
penegakan hukum pidana internasional dengan mengajukan penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional atau
International Criminal Court. Sedangkan kejahatan yang merupakan jurisdiksi
kriminil mahkamah pidana internasional terdapat dalam Pasal 5 Ayat 1 Rome
statute of the international criminal court 1998. Yaitu:
“The jurisdiction of the court shall be limited to the most serious
crimes of concern to the international community as a whole. The court has
jurisdiction in accordance with this statue with respect to the following
crimes :
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.”
(Terjemahan bebas: jurisdiksi pengadilan ini dibatasi oleh kejahatan
yang sangat serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara
keseluruhan. Pengadilan mempunyai jurisdiksi seperti dalam statuta ini yang
berkenaan dengan kejahatan berikut:
(a) Kejahatan genosida;
(b) Kejahatan melanggar kemanusiaan;
(c) Kejahatan perang;
(d) Kejahatan agresi.)
b. Indirect enforcement system (sistem penegakan
tidak langsung), adalah penegakan hukum pidana internasional dengan suatu upaya
mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku tindak pidana
internasional melalui undang-undang nasional. Selain itu dapat dilakukan
melalui kerja sama internasional antara dua negara atau lebih.
4.2.4 Objek Hukum Pidana Internasional.
Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional
yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional dan merupakan masalah
sentral serta merupakan kajian utama hukum pidana internasional.
4.3 Pengadilan Pidana Internasional
Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk
memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang
paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah termasuk :
-
meningkatkan
keadilan distributif;
-
memfasilitasi
aksi dari korban;
-
pencatatan
sejarah;
-
pemaksaan
pentaatan nilai-nilai internasional;
-
memperkuat resistensi
individual;
-
pendidikan
untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
-
mencegah
penindasan berkelanjutan atas HAM.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional
harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip
predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.
Dalam kurun waktu 50 tahun negara-negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-bangsa melihat adanya perkembangankebutuhan untuk
mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan
Ad-Hoc, dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-hoc tersebut
adalah:
- Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945);
- Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);
- Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan
- Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) – 1998 dengan tempat kedudukan di Arusha.
Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut diatas (butir (3) dan
(4)) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
- Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998.
- Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda
- telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkahlangkah
- konkrit dalam skema perlindungan HAM Universal.
- Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi;
- Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sudah sebagian besar disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan;
- Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatankejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.
Kelima Komisi Penyidik Internasional yang telah dibentuk adalah :
- Komisi yang bertanggung jawab atas bencana perang dan penjatuhan pidana, penyidikan selama Perang Dunia I (1919);
- Komisi Kejahatan Perang PBB (1943) yang menyidik penjahat perang Jerman selama Perang Dunia II;
- Komisi Timur Jauh (1946) yang menyidik penjahat perang Jepang selama Perang dunia II;
- Komisi Ahli yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 780, untuk menyidik pelanggaran atas Hukum Humaniternasional di bekas jajahan Yugoslavia;
- Komisi Ahli Independen yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 935, Komisi Rwanda untuk menyidik pelanggaran-pelanggaran selama perang sipil di Rwanda.
Pengadilan nasional akan selalu mempunyai yuridiksi atas sejumlah
kejahatan. Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak
ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan.
Contoh:
Pemerintah mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga negaranya
terlebih jika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem
pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga
tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut. Pengadilan mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan
hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:
- Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
- Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
- Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut;
- Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.
Yuridikasi dari mahkamah terbatas pada tindak pidana yang oleh seluruh
masyarakat internasional dianggap paling serius, mahkamah memiliki yuridikasi
terhadap tindak pidana sebagai berikut:
- Tindak pidana genosida
- Tindak pidana terhadap perang/kejahatan perang
- Tindak pidana terhadap kemanusiaan
- Agresi
Mahkamah memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada
suatu saat ketentuan di sahka tentang definisi tindakann sesuai dengan pasal
121 dan 123 tentang definisi tindak pidana dan kondisi-kondisi di mana mahkamah
dapat memberlakukan yuridikasi terhadap tindak pidana ini. Ketentuan seperti
ini harus sesuai dengan ketentuan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk
kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan.
kemudian yang memutuskan kasus-kasus yang harus diputuskan Pengadilan yaitu:
- Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Pengadilan:
- Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut.
- Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
- Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.
Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa
Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi
akan dilakukan Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung
pada keputusan hukum.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan.
Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc kejahatan
internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas Yugoslavia
dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan. Oleh
karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya negara yang
meratifikasi Statuta. ICC akan mampu bertindak
ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya
menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang
bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan
ijinuntuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber,
termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB,
dan negara. para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari
Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat
“bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua
pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun
1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.
Meskipun anggara tahunan ICC mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih
lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang
melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh
dunia. Terlebih lagi, karena ICC bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka ICC jauh lebih
banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan
penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan
Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut ICC, keputusan
untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa
Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara,
melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber.
Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya
serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau
pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak
secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis
Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun
penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara. Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai
berikut:
Prinsip Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini
dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut:
“An
International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have
the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes
of international concern, … shall be complementary to nationalcriminal
jurisdiction.”
Pengertian
“complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1
Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh
peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama
untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional
yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan
bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan
Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial
sebagai berikut:
- bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
- bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan ataustandards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus
adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
- Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
- Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
- Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
·
Kasus
tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.
4.4
Penerapan Asas-Asas Hukum Pidana Internasional
Pada
dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai pemberlakuan asas-asas pidana
Internasional telah banyak disetujui oleh subyek hukum dan telah dibawa dalam
tataran aplikasi di berbagai penyelesaian kasus kejahatan internasional. Namun,
banyak pula dari penyelesaian kasus tindak pidana internasional yang tidak
mematuhi kaidah/asas hukum pidana internasional yang telah ditentukan tersebut.
Beberapa contoh aplikasi asas hukum pidana internasional adalah sebagai
berikut.
4.4.1 Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu
peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya
dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28
Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang
mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi
Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and
International Organizations or between International Organizations). Selain
itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of
Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and
Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols,
Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the
International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan
prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan
berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas
retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional
tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat
dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi
Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua
konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain
dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang
merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas
retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada
akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau
pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional.
Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili
penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for
Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran
terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan
“benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua,
sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di
seluruh dunia.
4.3.2 Asas Non-Intervensi
Pada Kasus Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Berada di Negara Lain
Tindak pidana korupsi merupakan
salah satu bagian
dari hukum pidana khusus. Apabila
dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi tertentu
yang berbeda dengan
hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang
diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United
Nations Convention Against Corruption
(UNCAC), 2003)[17] mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas,
keamanan masyarakat nasional dan
internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White
Collar Crime dan mempunyai akibat
kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional.
Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime
and Treatment of Offenders” yang
mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:
1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):
a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential
effectiveeness of all
types of govermental programmes”)
b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize
individuals and groups”).
2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan
pencucian uang haram.
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi
bersifat sistemik, terorganisasi,
transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya,
ekonomi antar Negara dan lain sebagainya[18]. Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan Romli
Atmasasmita, bahwa:
“Dengan memperhatikan
perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari
sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa korupsi di Indonesia
bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat
luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya
jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang
sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia
sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi
dan hak sosial rakyat Indonesia[19].
Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra
ordinar enforcement)
dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra
ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana
Internasional adalah sangat penting. Sebagai
kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada
tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain
sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh
karena korupsi kejahatan yang bersifat
transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya
interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya.
Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang
salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan
koruptor yang bersembunyi di negara tersebut.
Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana
Internasional yang kedua yaitu tidak adanya
intervensi hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan
Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan
secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah
pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi
dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hokum ekstradisi kepada negara ketempatan tempat koruptor
maupun asetnya disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran
ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan
koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban.
Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada
penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset
relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik
terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka
terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana Internasional
sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah
Internasional untuk mengadili negara yang
bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena
yang memutus adalah Mahkamah Internasional yang bersifat independen maka diharapkan
konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus
berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima
baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.
Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar
hukum nasional di masing-masing negara
dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang
lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu
Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang
berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai
jalan keluar maka semua itu bermuara kepada
fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan
Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional
relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi.
Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya
menurut Paul Sieghart[20] secara
global HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan
Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu. Oleh karena
tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana
yang bersifat extra ordinary crimes
sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement)
dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan
katalisator dan pengaman yang dapat
berfungsi agar penindakan dan penegakan hokum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia
Internasional relatif menjadi lebih baik
sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.
4.3.3
Asas Universalitas
Suatu kenyataan, bahwa hampir
semua negara di dunia mempunyai pandangan yang sama tentang berbagai perbuatan
manusia yang dipandang sebagai perbuatan yang harus diberantas (seperti tindak
pidana internasional tersebut). Dengan Prinsip universal itulah, maka setiap
negara berkewajiban untuk memelihara keamanan dan ketertiban dunia bersama
negara-negara lain. Dalam hal ini, Prinsip universal akan membantu manusia
dalam memberantas hal tersebut, dengan syarat hal tersebut harus dimasukkan
dalam hukum pidana (undang-undang pidana) di negaranya masing-masing sebagai
tindak pidana. Dengan demikian, setiap pelaku dapat dikenai ketentuan pidana
yang berlaku di negara masing-masing tanpa membedakan kebangsaan si pelaku dan
tempat melakukan perbuatan.
Di Indonesia, prinsip
universal ini juga dianut dalam hukum pidana Indonesia (walau sangat terbatas,
yaitu dalam KUHP Indonesia (terjemahan Wetboek van Strafrecht), pasal 438, 444,
juga pasal 4 angka 2 dan 4 sepanjang kepentingan-kepentingan negara lain
dilindungi ketentuan-ketentuan pidana tersebut.
Pasal 438 dan 444 KUHP,
mengancam siapa saja telah bersalah
melakukan pembajakan di laut dengan segala akibatnya. Sedangkan pasal 4 angka 2
mengancam siapa saja, kapan saja, dan di mana saj, yang memalsukan mata uang
atau uang kertas dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
4.3.4 Berbagai Pelanggaran Asas Hukum Pidana
Internasional Lainnya
Sekalipun baik treaties maupun hukum
kebiasaan internasional telah mempertimbangkan bahwa pengadilan nasional/domestik merupakan ‘primary
arena’ untuk mengadili atas dasar pertanggungjawaban individual, namun ternyata bahwa variasi
yang luas dirumuskan dalam pelbagai perjanjian internasional dari kejahatan yang satu ke kejahatan
yang lain. Ada yang mengharuskan tetapi ada juga yang hanya mengijinkan.
Contoh pertama adalah masalah genosida (genocide).
Sekalipun Genocide Convention bermaksud memikirkan keberadaan pengadilan internasional
untuk mengadili genosida, hampir semua negara peserta mengantisipasi bahwa pengadilan nasional
merupakan ‘the primary fora’. Sehubungan dengan itu, Article VI mewajibkan (requires) para pihak untuk memidana perbuatan genosida
yang dilakukan dalam teritorinya. Dalam
hal ini ‘extra-territorial jurisdiction’ tidak memperoleh penegasan.
Kemungkinan penerapan jurisdiksi territorial
didasarkan atas asas nasionalitas dan asas personalitas pasif.
Bisa dicatat bahwa sekalipun dalam konvensi tidak secara tegas diatur
tentang ‘universal jurisdiction’ (extraterritorial jurisdiction),
namun atas dasar ‘customary international law’ hal ini terjadi atas
dasar ‘erga omnes nature
of the ban on genocide’. Contohnya adalah ‘Eichmann
and Demanjuk cases’, yang
menegaskan penerapan
jurisdiksi universal terhadap genosida.
Contoh kedua berkaitan dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity). Pelbagai Tribunal
internasional yang dibentuk setelah PD
II untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (IMT dan IMTFE) acap kali mendasarkan pada asas jurisdiksi universal. Namun demikian dalam beberapa pengadilan yang
digelar juga mendasarkan pada asas territorial dan asas nasionalitas. Sebagaimana genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan juga tunduk pada jurisdiksi universal. Sehubungan dengan kejahatan
perang (war crimes), setiap negara
boleh mengadili pelanggaran berat
(grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa dan Protocol I; Konvensi mewajibkan setiap negara untuk menetapkan
sanksi pidana yang efektif (to provide effective penal sanctions) kepada
setiap orang yang melakukan
‘grave breaches’, menemukan pelakunya dan menuntut atau
mengekstradisikannya.
Sampai dengan tahun 1990-an, tidak nampak adanya
penuntutan terhadap kejahatan perang atas dasar instrumen
ini murni atas dasar asas universalitas. Terhadap pelanggaran terhadap bagian lain Konvensi dan
Protokol, termasuk ‘Common Article 3 ‘ atau Protocol II, nampaknya tidak ada perintah atau kewajiban penuntutan atau ekstradisi, atau ketentuan tentang jurisdiksi universal.
Meskipun demikian, hokum kebiasaan
cenderung mengakui jurisdiksi universal atas jangkauan yang lebih luas dari
kejahatan perang daripada
yang masuk kategori ‘grave breaches’ dari Konvensi dan Protocol I.
Sebagai contoh adalah Konvensi
The Haque 1954 tentang ‘The
Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict’, mewajibkan negara-negara untuk mengambil
segenap langkah-langkah yang diperlukan untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana atau
sanksi disiplin terhadap siapa saja, apapun kewarganegaraannya yang melakukan atau memerintahkan terjadinya
pelanggaran terhadap konvensi. Hal ini (jurisdiksi universal) bersifat perintah (mandatory),
sekalipun konvensi tidak memuat ketentuan pidana yang lain.
Contoh yang lain adalah ketentuan yang berkaitan
dengan ‘Slavery and Forced Labour’. Di bawah Slavery Convention
(1956), negara-negara peserta harus melakukan kriminalisasi terhadap perbudakan dan perdagangan
budak, tanpa mempertimbangkan dimana perbuatan terjadi. Bahkan, ‘slave trade’
harus dipidana seberat-beratnya. Dalam hal ini
tidak jelas apakah hukum kebiasaan internasional mewajibkan semua negara untuk menerapkan jurisdiksi
universal terhadap perbudakan, sekalipun mengenai perbudakan paling tidak negara-negara mengaturnya secara ‘permissive’ atas
dasar hukum kebiasaan internasional.
Sepanjang mengenai kerja paksa (forced labour), Konvensi 1930 mewajibkan
negara-negara untuk
memidananya sebagai tindak pidana, sedang
‘Convention on Forced Prostitution’ mewajibkan negaranegara untuk memidana setiap orang yang
berperan serta, namun tidak memuat kewajiban untuk melakukan ekstradisi.
Contoh selanjutnya adalah berkaitan dengan
penyiksaan (torture). Konvensi tentang Penyiksaan secara jelas mewajibkan
negara-negara untuk menjamin agar penyiksaan, percobaan untuk melakukannya dan penyertaan (complicity) untuk
melakukan penyiksaan merupakan tindak pidana (dikriminalisasikan) dan memidananya
secara patut sesuai dengan beratnya. Selanjutnya negara-negara wajib mengatur
untuk memidana penyiksaan yang terjadi
di wilayah teritorinya,
oleh warganegaranya, dan apabila dipandang perlu, terhadap warganegaranya (korban), juga segala
keadaan yang lain di mana negara tersebut memilih untuk tidak mengekstradisikan
si pelaku. Melebihi
ketentuan konvensi, hukum kebiasaan internasional mengijinkan negara-negara
untuk menerapkan jurisdiksi universal terhadap
penyiksaan.
Contoh berikutnya mengenai ‘Apartheid’.
Konvensi Apartheid mengijinkan bahkan memerintahkan negaranegara peserta untuk menentukan dan menerapkan kriminalisasi yang dilakukan dimana pun juga (committed anywhere). Tribunal
internasional juga dipertimbangkan dan mewajibkan negara-negara untuk mengekstradisikan pelaku sesuai dengan
perundang-undangan yang ada.
Contoh terakhir berkaitan dengan kejahatan
Penghilangan Paksa (Forced Disappearances). Terlepas dari kejahatan terhadap kemanusiaan asas
jurisdiksi dalam hal ini juga mengalami perkembangan. Pada tahun 1992, Resolusi Sidang Umum PBB
menyerukan kepada negara-negara anggota untuk mengkriminalisasikan
‘apartheid’ sebagai kejahatan berat dan mewajibkan negara-negara untuk mengekstradisikannya atau menuntut
pelakunya, dan menyerukan pengaturan daluwarsa yang panjang.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Dalam
kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang
dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an yang
ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the
Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Selanjutnya
pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the
Reaffirmation dan Development of International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict.
2. Asas hukum
atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan[21].
HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut
a.
Asas
kepentingan militer
b.
Asas
Perikemanusiaan
c.
Asas
kesatriaan
3. Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara. Turunan asas-asas ini meliputi:
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan,
dan kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai ,
- Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi
manusia,
-Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan
tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
- Dan lain-lain.
4. Pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai pemberlakuan asas-asas
pidana Internasional telah banyak disetujui oleh subyek hukum dan telah dibawa
dalam tataran aplikasi di berbagai penyelesaian kasus kejahatan internasional.
Namun, banyak pula dari penyelesaian kasus tindak pidana internasional yang
tidak mematuhi kaidah/asas hukum pidana internasional yang telah ditentukan
tersebut.
[1] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum
Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 19
[3] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum
Pidana ...., Op. Cit, hlm. 21
[4] Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang
Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta.
[6] Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum
Humaniter, International
Committe of the Red Cross, Jakarta.hlm.11
[7] Rina Rusman. 2005, Sejarah, Sumber
& Prinsip Hukum Humaniter Internasional, Makalah Kursus Hukum Humaniter Internasional untuk Dosen
PTN dan PTS yang diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Gajah Mada
dengan International Committee of the Red Cross (ICRC). Yogyakarta
tanggal 19-24 Desember 2005.
[8] Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum
Humaniter, International Committe of the Red
Cross, Jakarta, hlm.12
[9] Kajian teoritik
mengenai perkembangan hukum pidana internasional menemukan 6(enam) definisi
tentang pengertian hukum pidana internasional. Satu diantara definisi tersebut
yang cocok
dengan perkembangan hukum internasional masa kini adalah dari Bassiouni(lihat
buku Romli
Atmasasmita, Bab II).
[10] Bassiouni
meneliti dan menemukan kurang lebih 22 (dua puluh dua)Konvensi internasional yang
memuat tentang kejahatan2 transnasional dan kejahatan internasional.
[12] M.Cheriff Bassiouni, “Introduction to International
Criminal Law”;Transnational Publisher Inc.,New York;
2003, p. 4-7
[13] Bassiouni, ibid
[14] Jan Remmelink;
“Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia; Gramedia
tahun 2003, halaman 368
[17] dikutif dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan
Kebijakan PemberantasanKorupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003:
Melawan Kejahatan Korporasi, Paper,
Jakarta, 2006, hlm. 1 dan Romli
Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Hukum
Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia:Membentuk
Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta,
2006, halaman. 1.
[19] Romli Atmasasmita, Korupsi, Good
Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit
Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta,
2002, hlm. 25
[20] Paul Sieghart, The Lawful Rights Of
Mankind, An Introduction To The International
Legal Code Of Human Rights, Oxford
University Press, 1986, halaman 107
Sangat berguna, semoga banyak memberikan manfaat utk lebih berguna bagi orang banyak
BalasHapusTrima ksh.
Malatya
BalasHapusKırıkkale
Aksaray
Bitlis
Manisa
Z0774
ankara parça eşya taşıma
BalasHapustakipçi satın al
antalya rent a car
antalya rent a car
ankara parça eşya taşıma
6U4RDC
Ağrı Lojistik
BalasHapusÇorlu Lojistik
Kars Lojistik
Antalya Lojistik
Rize Lojistik
FRAJ
1728F
BalasHapusBingöl Evden Eve Nakliyat
Artvin Evden Eve Nakliyat
Kayseri Evden Eve Nakliyat
Aydın Evden Eve Nakliyat
Sakarya Evden Eve Nakliyat
8C251
BalasHapusAğrı Parça Eşya Taşıma
Bursa Şehirler Arası Nakliyat
Mamak Boya Ustası
Karaman Şehirler Arası Nakliyat
Aksaray Şehirler Arası Nakliyat
Giresun Evden Eve Nakliyat
Samsun Evden Eve Nakliyat
Karabük Şehir İçi Nakliyat
Siirt Şehir İçi Nakliyat
B7026
BalasHapusAfyon Lojistik
Manisa Şehir İçi Nakliyat
Bitmex Güvenilir mi
Çerkezköy Oto Lastik
Gümüşhane Şehirler Arası Nakliyat
Antalya Şehir İçi Nakliyat
Burdur Şehirler Arası Nakliyat
Trabzon Parça Eşya Taşıma
Bayburt Parça Eşya Taşıma
0E65E
BalasHapusApenft Coin Hangi Borsada
Antep Parça Eşya Taşıma
Erzurum Lojistik
Sakarya Lojistik
Karapürçek Fayans Ustası
Erzurum Şehirler Arası Nakliyat
Antalya Parça Eşya Taşıma
Ünye Oto Boya
Ünye Halı Yıkama
E2919
BalasHapusrize yabancı görüntülü sohbet siteleri
Kocaeli Sesli Sohbet Mobil
görüntülü sohbet yabancı
kırıkkale canlı sohbet siteleri ücretsiz
Bursa Sesli Görüntülü Sohbet
Bartın Telefonda Kızlarla Sohbet
ücretsiz görüntülü sohbet
kars canlı sohbet et
Bartın Ücretsiz Görüntülü Sohbet
BE114
BalasHapusadana yabancı görüntülü sohbet uygulamaları
Mardin En İyi Ücretsiz Sohbet Siteleri
mardin kızlarla canlı sohbet
ücretsiz sohbet uygulamaları
yabancı görüntülü sohbet siteleri
niğde kızlarla canlı sohbet
nevşehir parasız görüntülü sohbet uygulamaları
sesli sohbet uygulamaları
trabzon sesli sohbet siteleri