Ketentuan dan
Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Sumber : Chinese Defence Ministry, EIA
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedaulatan
merupakan salah satu unsur eksistensi sebuah negara. Dari sudut ilmu bahasa
kedaulatan dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan tertinggi atas pemeritahan
negara, daerah, dan sebagainya. Dalam konteks ilmu tata negara, Parthiana
menyatakan bahwa kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi
yang mutlak, utuh, bulat dan tidak dapat dibagi-bagi dan oleh karena itu tidak
dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain. Namun demikian dalam proses
perkembangan lebih lanjut, telah terjadi perubahan makna kedaulatan negara.[1]
Kedaulatan
suatu negara tidak lagi bersifat mutlak atau absolut, akan tetapi pada
batas-batas tertentu harus menghormati kedaulatan negara lain, yang diatur
melalui hukum internasional. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
kedaulatan negara bersifat relatif (Relative
Sovereignty of State). Dalam konteks hukum internasional, negara yang
berdaulat pada hakikatnya harus tunduk dan menghormati hukum internasional,
maupun kedaulatan dan integritas wilayah negara lain.[2]
Lebih
lanjut, berkaitan dengan arti dan makna kedaulatan, Jean Bodin menyatakan bahwa
kedaulatan merupakan atribut dan ciri khusus dari suatu negara. Tanpa adanya
kedaulatan, maka tidak akan ada yang dinamakan negara.[3]
Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri
hakiki dari negara, di mana negara tersebut berdaulat, tetapi mempunyai
batas-batasnya, yaitu ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh
batas-batas wilayah negara itu, di luar wilayahnya negara tersebut tidak lagi
memiliki kekuasaan demikian. Berkenaan dengan hal tersebut, kedaulatan tidak
dipandang sebagai sesuatu yang bulat dan utuh, melainkan dalam batas-batas
tertentu sudah tunduk pada pembatasan-pembatasan yang berupa hukum
internasional maupun kedaulatan dari sesama negara lainnya. Dengan demikian
suatu negara yang berdaulat tetap saja tunduk pada hukum internasional serta
tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan negara lain. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka dapat dikatakan pula bahwa pada masa kini kedaulatan negara
merupakan sisa dari kekuasaan yang dimiliki dalam batas-batas yang ditetapkan
melalui hukum internasional.
Sesuai
Konvensi Chicago 1944, dalam pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai
kedaulatan yang utuh dan penuh (complete
and exclusive sovereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya.
Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang
penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1).
Setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas
ruang udara nasionalnya; (2). Tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara
nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur
dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara
bilateral maupun multilateral.
Namun
dalam praktek pelaksanaannya ternyata ada beberapa Negara yang memberlakukan
jalur tambahan secara sepihak yang dikenal dengan istilah Air Defence Identification Zone (ADIZ). Hal inilah yang menarik
penulis untuk membahas masalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari
penjelasan diatas, maka penulis mengangkat rumusan masalah:
- Bagaimanakah ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional?
- Bagaimanakah status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional.
- Untuk mengetahui status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat penulisan makalah ini adalah:
- Dapat menjelaskan ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional.
- Dapat menjelaskan status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut hukum udara internasional.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Ketentuan Hukum
Udara Internasional
2.1.1 Konvensi Paris 1919
Konferensi
Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris
1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap
negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya.
Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan
yang beroperasi di wilayah udara mereka.[4]
Ratifikasi
Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak
atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan
yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5: “...no
contracting State shall, except by a special and temporary authorization,
permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the
nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada
pembatasan terhadap masalah lintas.Pembatasan tersebut mempunyai hubungan
dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang
menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara
negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota
Konvensi.[5]
Selanjutnya
hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi
Paris yang menyatakan:
“Each contracting State undertakes
in time of peace to accord freedom of innocent passage above its territory to
the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid
down in the present Convention are observed. Regulations made by a contracting
State as to the admission over its territory of the aircraft of the other
contracting States shall be applied without distinction of nationality”
Ketentuan
Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara
komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota
Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak
melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang lain tanpa terlebih dahulu
mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.[6]
2.1.2 Konvensi
Chicago 1944
Pasal
1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919,
menyatakan: “...The Contracting State
recognized that every State has complete and exclusive sovereignty over the
airspace above its territory”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang
dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya.
Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat
disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik
suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk
menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh
negara asing.
Dengan
cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari
wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas
penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk
membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun
multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:
“Each contracting State agrees that
all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in
scheduled international air services shall have the right, subject to the observance
of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop
across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the
necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State
flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the
right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed
over regions which are inaccessible or without adequate air navigation
facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for
such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo,
or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air
services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the
privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to
the right of any State where such embarkation or discharge takes place to
impose such regulations, conditions or limitations as it may consider
desirable”.
Pasal
5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule
yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan
barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama
penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong.
Pasal ini erat kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule internasional. Sedangkan
Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:
“No scheduled international air
service may be operated over or into the territory of a contracting State,
except with the special permission or other authorization of that State, and in
accordance with the terms of such permission or authorization”.
Pasal
ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan
terjadwal internasional (schedule
international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan
izin berupa suatu “permission” atau
pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan
perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan
adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara
multilateral.
Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago,
yaitu :
- The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).
- International Air Services Transit Agreement (IASTA).
- International Air Transport Agreement (IATA).
- Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).
- Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).
- The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).
Sembilan
puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan
kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago 1944
yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota
berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah
satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan
kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan
dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan
sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani
protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944)
dengan memasukkan pasal 3 Bis, mengenai:
1)
Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil
(kemanusiaan).
2)
Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat
dibandar udara yang ditentukan.
3)
Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat
udara sipil.
4)
Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat
udara negara yang melakukan pencegatan.
5)
Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan
hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan
sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.
Dalam
melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana diatur dalam
Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya tingkat
keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO menetapkan
standard dan recommended practices untuk bisa diikuti oleh setiap negara dalam
menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Bila
terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang udara di atas wilayah
kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO, maka negara tersebut
wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO sehingga bisa diketahui
oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang mempunyai perbedaan
pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya dicantumkan dalam
suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi penerbangan di atas wilayah yang tidak
termasuk kedaulatan suatu negara (laut lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan
pengaturan penggunaan ruang udara (annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti
oleh semua negara.
2.2
Air Defence Identification Zone (ADIZ) Menurut Hukum
Internasional
2.2.1 Batas
Kedaulatan Wilayah Udara
Konvensi
Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara
internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago
yang menyatakan: the contracting States
recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the
airspace above its territory. Hukum internasional tidak memberikan hak
untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu
negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang
udara sepenuhnya tunduk kepada kedaulatan (sovereignty)
yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong (subjacent state) sebagaimana
ditegaskan oleh ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan
Sipil Internasional (Convention on
International Civil Aviation).[7]
Apabila
mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun pasal
yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara
bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1
Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete
and exclusive”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata
ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan
secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun
pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan
penuh (complete) adalah negara yang
berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur
ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang
dimaksud dengan eksklusif (exclusive)
adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta
izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.
Seperti
telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan
perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara
memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan
seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah
negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang
menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai
maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan
perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3
Konvensi Hukum Laut 1982.
Begitu
pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan
milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian
masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar
negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada
beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak
untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous
zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone).
2.2.2 Latar
Belakang Penetapan Air Defence
Identification Zone (ADIZ)
Setiap
Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap
kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah
yang melatarbelakangi banyak negara didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan
zona petunjuk pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ).
Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan
kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya
mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara.
Dalam rangka pelaksanaan
kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang
udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk
semua penerbangan. Biasanya daerah ini adalah
daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah obyek vital nasional,
serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada daerah-daerah tertentu lainnya.
ADIZ merupakan zona bagi
keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana
zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara
yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang
berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak
dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas
yang tecakup dalam ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat
udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200
mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan
negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana
semua pesawat terbang sipil atau militer yang melintas harus melaporkan diri
kepada pengawas penerbangan militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem
pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena tujuannya untuk pertahanan udara di
wilayah negara, tentu saja sistem ini didukung oleh sistem radar yang
terkoneksi dengan sistem persenjataan pertahanan udara. Sistem persenjataan
pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.
2.2.3 Dasar Hukum Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)
Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara
bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari
wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di
atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Pada
dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional.
Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB[8].
Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan
dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk
membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan
sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan
semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang
diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang
diatur dalam piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi:
“Nothing in the present Charter
shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an
armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security
Council has taken measures necessary to maintain international peace and
security. Measures taken by Members in the exercise of this right of
self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall
not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council
under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in
order to maintain or restore international peace and security.”
Meskipun
redaksional hak membela diri (self
defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak
tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent).
Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk
melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk
menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat
bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan
bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun
kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah
mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik.
Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah
menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi
melindungi diri (self preservation).
Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan hak untuk membela diri
bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata
dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada
serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO (International Civil Aviation Organization),
pada chapter 3 tentang Airspace
Organization Ayat 3.3.4 Special
Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.
Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek
internasional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan
internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara- negara
pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap
dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil
suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan
dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain
maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.
Dalam konteks sejarah pembentukan ADIZ di level
internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950,
semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah
peraturan yang diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic.
Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu
maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate
and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence
Identification Zone”
(CADIZ).
2.2.4
Teori Berlakunya Air
Defense Identification Zone (ADIZ)
a. Teori
Penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory).
Pada
tahun 1951 Cooper telah mengajukan pendiriannya bahwa kedaulatan negara itu
ditentukan oleh kemampuan negara-negara yang bersangkutan untuk menguasai ruang
yang ada di atas wilayahnya. Cooper menyatakan :
“....in the absenceof international
agreement, that the territory of every state extends upward as far into space
as it is physically and scientifically possible for any one state to control
the regions of space directly above it”.[9]
Teori
cooper ini telah dipergunakan oleh Amerika Serikat dan Canada dengan ADIZ dan
CADIZ.[10]
Usaha-usaha Amerika Serikat dan Canada yang menetapkan beberapa bagian dari
Lautan Pasifik dan Lautan Atlantik sebagai daerah kemanan yang disebut dengan
ADIZ dan CADIZ sebenarnya bertitik tolak kepada pengamanan negaranya dari usaha
gangguan keamanan yang mungkin tiba-tiba terjadi.
b. Teori
Air Defense Identification Zone
Peter
A Dutton seorang Profesor di U.S Naval War College dalam tulisan yang berjudul Caelum Liberam : Air Defense Identification
Zones Outside menyatakan bahwa ADIZ sebagai wilayah untuk melakukan
identifikasi sebelum pesawat terbang asing memasuki wilayah udara kedaulatan,
dimulai dari luar wilayah kedaulatan udara suatu negara hingga memasuki wilayah
kedaulatan udaranya.
Penentuan
ADIZ didasari dengan perhitungan terhadap ancaman yang benar-benar potensial
serta lokasi obyek-obyek vital nasional yang mendapat prioritas untuk
dipertahankan dari kemungkinan serangan udara lawan. Setiap negara berhak
membentuk ADIZ di wilayah udara yang berada dibawah kedaulatan dan
yurisdiksinya, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk
memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tercakup dalam
ADIZ negara itu. Pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer yang berada
dalam zona tersebut, dan akan terbang mengarah ke pantai negara pendiri ADIZ
diwajibkan memberikan laporan rencana penerbangan (flight plan) kepada negara pemilik ADIZ. Bagi pesawat udara yang
tidak melakukan kewajiban tersebut akan menghadapi tindakan intersepsi (penyergapan)
oleh negara pemilik ADIZ. Adapun efektifis ADIZ ini dapat dicapai apabila
didukung dengan sistem “Air Traffic
Control” (ATC) yang mampu bertindak korelatif dengan sistem pertahanan
udara nasional.[11]
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Ketentuan
Hukum Udara telah dibahas dalam Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti
oleh 27 negara yang kemudian menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris
Convention). Selain itu, untuk melengkapi kekurangan yang ada dalam Konvensi
Paris, maka diadakan Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani di Chicago pada
tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia.
Namun, Konvensi Chicago 1944 dinilai mengandung kelemahan. Salah satu
kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan
negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan
kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil.
Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol
yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan
memasukkan pasal 3 Bis.
2. Dasar
hukum pendirian ADIZ secara tersurat dalam hokum Internasional pada dasarnya
tidak ada, namun beberapa Negara menggunakan landasan asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51
Piagam PBB. Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari
kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan
internasional (customary international
law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya
memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB
tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela
diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk
membela diri yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Selain itu ADIZ juga diatur
dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO (International Civil Aviation Organization),
pada chapter 3 tentang Airspace
Organization Ayat 3.3.4 Special
Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.
[1] Suryo Sakti Hadiwijoyo,2011, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum
Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 2-3.
[2] Ibid, hal. 4.
[3] Fred Isjwara, 1996, Pengantar Ilmu Politik, Binacipta:
Bandung, hal. 9.
[4] Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that
every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its
territory”.
[5] Frans Likada, 1987, Masalah Lintas di Ruang Udara,
Binacipta, Bandung, hlm. 8
[6] Ibid., hlm. 9
[7] Ida Bagus Rahmadi Supancana,
2003, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : CV Mitra Karya,
hal. 294.
[8] Yuwono Agung Nugroho, 2006, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia,
Jakarta : Bumi Intitama, hal. 94-95.
[9] Priyatna Abdurrasyid, Pengantar
Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977, hlm. 103.
[10] Ibid, hlm.
153
[11] Azhari, 2005, “Pengaturan
Intersepsi Dalam Annex 2 Konvensi Chicago tahun 1944 dan Implementasinya dalam
Penegakan Kedaulatan Atas Wilayah Udara Nasional Indonesia, Tesis, Universitas
Padjajdjaran, Hal. 111.
Good mas...thanks
BalasHapusYour Affiliate Profit Machine is ready -
BalasHapusPlus, making money with it is as simple as 1--2--3!
Here is how it works...
STEP 1. Choose which affiliate products you want to push
STEP 2. Add push button traffic (this ONLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the system grow your list and upsell your affiliate products on it's own!
Are you ready to make money ONLINE??
The solution is right here
Your Affiliate Money Printing Machine is waiting -
BalasHapusAnd making profit with it is as easy as 1...2...3!
Here are the steps to make it work...
STEP 1. Tell the system what affiliate products you want to push
STEP 2. Add some PUSH BUTTON TRAFFIC (it takes JUST 2 minutes)
STEP 3. See how the system grow your list and up-sell your affiliate products all by itself!
Do you want to start making money?
Check it out here
Your Affiliate Profit Machine is waiting -
BalasHapusAnd making money online using it is as simple as 1...2...3!
This is how it works...
STEP 1. Input into the system which affiliate products you intend to promote
STEP 2. Add PUSH BUTTON TRAFFIC (it LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. Watch the affiliate system grow your list and sell your affiliate products on it's own!
Are you ready to make money automatically??
Get the full details here
If you're looking to lose weight then you absolutely have to jump on this brand new personalized keto plan.
BalasHapusTo create this keto diet service, certified nutritionists, personal trainers, and professional cooks have joined together to develop keto meal plans that are productive, decent, cost-efficient, and delicious.
Since their grand opening in 2019, hundreds of individuals have already remodeled their figure and health with the benefits a good keto plan can give.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones given by the keto plan.
Strange "water hack" burns 2 lbs overnight
BalasHapusWell over 160k women and men are utilizing a easy and SECRET "liquids hack" to burn 2lbs each night in their sleep.
It is painless and it works all the time.
Here's how you can do it yourself:
1) Take a clear glass and fill it up half full
2) Proceed to follow this awesome hack
and you'll be 2lbs thinner the next day!
As reported by Stanford Medical, It's in fact the ONLY reason women in this country live 10 years more and weigh 19 KG less than we do.
BalasHapus(And realistically, it is not about genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to do with "HOW" they eat.)
BTW, What I said is "HOW", not "WHAT"...
Click this link to determine if this easy test can help you release your real weight loss potential
tuzla mitsubishi klima servisi
BalasHapusataşehir vestel klima servisi
pendik bosch klima servisi
kadıköy daikin klima servisi
ümraniye toshiba klima servisi
ümraniye beko klima servisi
çekmeköy mitsubishi klima servisi
maltepe vestel klima servisi
kadıköy vestel klima servisi
Success Write content success. Thanks.
BalasHapuskıbrıs bahis siteleri
betturkey
betmatik
kralbet
deneme bonusu
betpark
canlı slot siteleri
Good content. You write beautiful things.
BalasHapusvbet
vbet
mrbahis
korsan taksi
hacklink
mrbahis
sportsbet
sportsbet
taksi
resimli magnet
BalasHapusresimli magnet
çerkezköy çatı ustası
silivri çatı ustası
dijital kartvizit
MC7BO7
kasmalı oyunlar
BalasHapusresimli magnet
silivri çatı ustası
çerkezköy çatı ustası
referans kimliği nedir
RGAB