PENSYARATAN (RESERVATION) DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN CONTOH KASUSNYA
Makna Perjanjian
Internasional
Menurut pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, dinyatakan
bahwa perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersangkutan.
Berkenaan dengan pasal tersebut, maka setiap negara yang mengadakan suatu
perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu asas yang dipakai
dalam perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang
menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh
masing-masing pihak yang bersangkutan.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian perjanjian internasional, antara
lain:
a. Oppenheimer-Lauterpacht, perjanjian internasional adalah suatu
persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak
yang mengadakannya.
b. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH., perjanjian internasional
adalah perjanjian yang diadakan antar-anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk menimbulkan akibat-akibat dari hukum tertentu.
c. G. Swechwarzenberger, perjanjian internasional adalah suatu
persetujuan antarsubjek, dimana hukum internasional yang dapat menimbulkan
kewajiban yang mengikat dalam bentuk bilateral ataupun multilateral.
d. Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional, perjanjian
internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersangkutan.
e. Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian
yang diadakan oleh dua negara atau lebih dan bertujuan untuk mengadakan
akibat-akibat hukum tertentu.
f. Academy of Sciences of USSR, perjanjian internasional
adalah suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara dua negara atau
lebih mengenai pemantapan, perubahan, atau pembatasan dari hak-hak dan kewajiban
mereka secara timbal balik.
Dari beberapa batasan perjanjian
internasional diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pihak-pihak yang
dapat masuk di dalam perjanjian internasional, yaitu[1]:
a. Perjanjian antarnegara.
b. Perjanjian antara negara dengan organisasi
internasional.
c. Perjanjian antar-organisasi internasional.
Pensyaratan (Reservation) Dalam Perjanjian
Internasional
Definisi
“reservation” dalam Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 adalah
suatu pernyataan sepihak, apapun perumusan atau namanya yang dibuat oleh suatu
negara pada waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, mengesahkan atau
mengaksesi suatu perjanjian, yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan atau
mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketuan tertentu dalam pembentukannya
terhadap negara itu.[2]
Sedangkan definisi “reservation” pada Vienna Convention on the Law of Treaties
Between States and International organizations or Between International
Organizations 1986 (Konvensi Wina 1986) adalah unilateral statement however
phrased or named, made by a State or by an International organization when
signing, ratifying, formally confirming, accepting, approving or acceding to a
treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain
provisions of the treaty in their application to that State or to that
organizations. Kemudian reservasi atau dikenal dengan pensyaratan dalam UU
No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional adalah suatu pernyataan
sepihak dari suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu
pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat
multilateral.
Reservasi atau pensyaratan memang lazim
dilakukan dalam praktek perjanjian internasional. Pensyaratan mencerminkan azas
kedaulatan suatu negara, dimana suatu negara memiliki hak untuk menolak
ketentuan-ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional yang bertentangan
dengan hukum nasional negara tersebut.
Ketentuan Mengenai
Pensyaratan/Reservasi Dalam Konvensi Wina 1969
Dalam Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara
terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23. Dimana masing-masing
pasal mengatur masalah penyusunan suatu pensyaratan (pasal 19), penerimaan dan
penolakannya (pasal 20), akibat hukum dari penerimaan dan penolakan pensyaratan
(pasal 21), pembatalan atau penarikan kembali suatu pensyaratan (pasal 22) dan
prosedur mengenai pensyaratan (pasal 23).
Pasal-pasal tersebut pada
pokoknya menentukan bahwa larangan atau pembatasan terhadap
pensyaratan, atau perumusan syarat-syarat khusus untuk mengatur penerimaannya,
harus diatur oleh ketentuan-ketentuan yang dimuatkan di dalam perjanjian yang
bersangkutan.[3]
Penyusunan, Penerimaan dan Penolakan Suatu Pensyaratan
Menurut ketentuan pasal 19
Konvensi Wina 1969, negara berhak mengemukakan pensyaratan pada saat
penandatanganan, penyerahan instmmen ratifikasi, menerima suatu perjanjian,
menyatakan turut serta, kecuali apabila perjanjian itu melarang untuk
mengadakan pensyaratan, atau perjanjian tersebut menyebutkan bahwa hanya
pensyaratan khusus yang diperbolehkan, sedangkan pensyaratan lain tidak
diperkenankan, atau pensyaratan itu bertentangan dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu sendiri.
Pasal 20 ayat (1) Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa bila pensyaratan diijinkan
oleh perjanjian, maka tidak perlu meminta suatu pernyataan diterima oleh negara
lain, kecuali jika hal demikian itu disebutkan dalam perjanjian itu. Sedangkan
pasal 20 ayat (2) menghendaki bahwa dalam keadaan
khusus, yakni jika perjanjian tersebut harus berlaku secara keseluruhan
(seutuhnya), maka persetujuan dari setiap negara peserta perjanjian
disyaratkan. Kemudian pasal 20 ayat (3) menjanjikan
bahwa jika perjanjian dimaksud merupakan suatu Anggaran Dasar suatu organisasi
internasional, misalnya PBB, kecuali ditentukan lain, maka pensyaratan
memerlukan persetujuan dari lembaga yang berwenang dari organisasi
internasional itu.
Selanjutnya pasal 20 ayat (4) Konvensi Wina 1969 mengatur tentang akibat hukum dari pensyaratan,
yakni sebagai berikut:
- Suatu pensyaratan yang diajukan oleh suatu negara dan diterima oleh negara peserta lain, maka antara negara yang menyatakan pensyaratan dan negara yang menerimanya, perjanjian itu akan berlaku di antara mereka;
b. Suatu keberatan oleh negara
peserta lain terhadap suatu pensyaratan tidak
mengesampingkan berlakunya perjanjian (diantara mereka), kecuali jika maksud
yang bertentangan secara tegas dinyatakan oleh negara yang berkeberatan
tersebut;
- Suatu tindakan yang menyatakan keinginan suatu negara untuk diikat dalam suatu perjanjian dan berisikan suatu persyaratan, mulai berlaku sejak setidak-tidaknya satu peserta lain menerima persyaratan tersebut.
Sedangkan pasal 20 ayat (5) Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa kecuali dinyatakan lain, suatu
pensyaratan dianggap diterima oleh suatu negara, jika tidak menimbulkan suatu
keberatan terhadap pensyaratan tersebut dan pada akhir 12 bulan setelah
pensyaratan itu diajukan, atau pada saat dijelaskan keinginannya untuk
mengikatkan diri pada perjanjian.
Penarikan (withdrawal) dan Prosedur Pensyaratan
Tentang penarikan (withdrawal) terhadap suatu pensyaratan,
dapat dilakukan setiap waktu dan dalam hal ini persetujuan suatu negara yang
telah menerima pensyaratan itu tidak diwajibkan.[4]
Ketentuan yang demikian itu berlaku pula bagi penolakan terhadap pensyaratan.[5]
Penarikan diri terhadap
pensyaratan mulai berlaku dalam hubungannya dengan negara peserta yang lain
apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara yang
bersangkutan, sedangkan penarikan keberatan atau penolakan terhadap pensyaratan
mulai berlaku apabila pemberitahuan tentang hal itu telah diterima oleh negara
yang mengajukan pensyaratan.[6]
Prosedur mengenai pensyaratan
diatur dalam pasal 23 Konvensi Wina 1969, yang antara lain disebutkan bahwa pernyataan menerima
atau menolak suatu pensyaratan haruslah diformulasikan secara tertulis dan
harus diberitahukan kepada negara peserta (contracting
state) dan negara-negara lain yang berhak menjadi pihak perjanjian.
Demikian pula penarikan terhadap pensyaratan dan penarikan terhadap penolakan (objecting) suatu pensyaratan juga harus
dinyatakan secara tertulis. Namun dalam praktek seringkali pernyataan menerima
atau menolak suatu pensyaratan tidak dilakukan secara tertulis.
Apabila pensyaratan dirumuskan
pada waktu menandatangani perjanjian, berkenaan denganrn ratifikasi, penerimaan
atau persetujuan, maka haruslah dikuatkan secara formal oleh negara yang mengajukan
pensyaratan (reserving state) pada
waktu menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian
tersebut. Dengan demikian pensyaratan dianggap telah dibuat pada saat
penguatannya.[7]
Kemudian suatu pernyataan
menerima atau menolak pensyaratan yang dilakukan sebelum penguatan
(confirmation), maka pensyaratan
tersebut tidak memerlukan penguatan lagi.
Demikianlah beberapa ketentuan
mengenai pensyaratan menurut Konvensi Wina 1969 yang secara singkat telah
diuraikan pokok-pokoknya.
Dengan demikian, melihat
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, khususnya
mengenai pensyaratan tersebut, maka sebenarnya pensyaratan yang diajukan oleh
suatu negara merupakan penerimaan bersyarat dari negara tersebut terhadap
materi perjanjian. Penerimaan bersyarat yang demikian itu pada prinsipnya
merupakan suatu perjanjian yang berlainan dengan perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya,[8] karena materi dari perjanjian itu akan
mengalami perubahan, khususnya bagi pihak yang mengajukan pensyaratan itu,
sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam pensyaratannya, apabila pensyaratannya
itu diterima oleh Konvensi.
Disamping
itu, dalam Konvensi Wina 1969 terdapat pembatasan-pembatasan tertentu
terhadap hak suatu negara untuk mengajukan pensyaratan ataupun terhadap materi
dari pensyaratan itu sendiri. Pembatasan-pembatasan tersebut terdapat dalam
pasal 19, yang antara lain menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk
mengajukan pensyaratan kecuali jika:
- Perjanjian melarangnya atau ada ketentuan (pasal-pasal) dalam perjanjian yang bersangkutan yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan pensyaratan. Larangan itu dapat ditujukan baik terhadap seluruh materi dalam konvensi ataupun hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja dari konvensi yang bersangkutan;
- Perjanjian menentukan bahwa hanya pensyaratan yang khusus saja yang diperkenankan;
- Pensyaratan tidak sesuai dengan tujuan dan maksud perjanjian.
Dengan adanya ketentuan mengenai
pensyaratan dalam Konvensi Wina 1969 ini, maka dapat dikatakan bahwa Konvensi Wina 1969 ini dinilai
mengandung unsur-unsur "progressive
development" seperti dikatakan oleh Mieke Komar : "Masalah
lain yang dinilai mengandung unsur progressive
development adalah mengenai reservation
to treaty.[9]
Penilaian atas
adanya unsur "progressive
development" tersebut karena Konvensi Wina 1969 memakai "Pan American Doctrine" dalam
kaitannya dengan penerimaan dan
penolakan terhadap pensyaratan, dan bukan memakai prinsip lama yaitu prinsip kebulatan persetujuan (unanimity principe) yang pernah dipakai
oleh Liga Bangsa-Bangsa.
Beberapa Contoh Praktek
Negara Mengenai Pensyaratan
Pada tahun 1951, atas
permintaaan Majelis Umum PBB, Mahkamah Internasional telah
mengeluarkan suatu advisory opinion mengenai pensyaratan. Advisory
Opinion tersebut berkenaan dengan suatu Konvensi tentang pencegahan dan
penghukuman terhadap kejahatan pembunuhan masal manusia (Genocide Convention). Dimana dalam konvensi tersebut terdapat
persoalan hukum mengenai pensyaratan, persoalan mana menyangkut masalah
kriteria untuk menentukan hak mengajukan pensyaratan dan hak untuk menolak atau
menyatakan keberatan terhadap pensyaratan.[10]
Dengan perbandingan suara 7:5
Mahkamah mengeluarkan Advisory Opinion nya sebagai berikut[11]:
- Suatu negara yang telah mengajukan pensyaratan dan ditolak oleh negara peserta lain, sedangkan negara itu tetap mempertahankan pensyaratannya, maka negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) dapat dianggap sebagai peserta konvensi apabila pensyaratan yang diajukan itu sesuai dengan tujuan dan maksud dari konvensi, demikian juga sebaliknya.
b.
Apabila salah satu pihak peserta konvensi menolak
pensyaratan yang diajukan oleh pihak peserta lain, karena dipandang tidak
sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi, maka negara yang menolak (the objecting state) dapat menganggap
bahwa negara yang mengajukan pensyaratan (the reserving state) bukan sebagai
pihak peserta konvensi. Sebaliknya apabila pihak peserta yang lain menerima
pensyaratan tersebut, karena dipandang sesuai dengan tujuan dan maksud
konvensi, maka pihak yang menerima pensyaratan itu dapat menganggap bahwa pihak
yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta konvensi.
c.
Penolakan terhadap pensyaratan
yang dilakukan oleh negara
penandatangan (signatory state), yang belum meratifisir konvensi, dapat
mempunyai akibat hukum, seperti pada huruf (a) diatas, hanya apabila negara itu
mengadakan ratifikasi.[12] Disamping itu, penolakan terhadap
pensyaratan yang dilakukan oleh negara yang berhak menandatangani atau
menyatakan ikut serta tetapi belum melakukannya, tidak mempunyai akibat hukum.
Selain itu, pendapat Mahkamah
Internasional tersebut juga mengandung suatu prinsip mengenai pensyaratan dalam
hubungannya dengan penerimaan dan penolakan terhadap pensyaratan, yakni prinsip
atau sistem "Pan American". Hal ini dapat dilihat pada huruf (a) dan
(b) diatas.
Dengan demikian prinsip atau
sistem "Pan American" yang terkandung dalam Advisory Opinion Mahkamah
Internasional tersebut sama dengan prinsip yang terkandung dalam Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian internasional.
Menurut prinsip atau doktrin
"Pan American" tersebut tidak diperlukan persetujuan (consent) yang bulat daripada para
peserta konvensi atas pensyaratan yang diadakan oleh negara yang hendak turut
serta dalam konvensi, melainkan konvensi itu dianggap berlaku dengan
pensyaratan yang diajukan antara yang mengajukan pensyaratan dengan yang
menerima pensyaratan. Sedangkan diantara negara-negara yang menolak pensyaratan
dengan negara yang mengajukan pensyaratan, konvensi itu dianggap tidak berlaku.
Mochtar Kusumaatmadja
mengatakan, bahwa pada sistem
"Pan American" ini suatu perjanjian multilateral mungkin merupakan
kumpulan dari perjanjian-perjanjian multilateral yang masing-masing kecil
jumlahnya negara pesertanya atau sekumpulan perjanjian bilateral.[13]
Oleh karena itu, setelah Advisory
Opinion dari Mahkamah Internasional mengenai "Reservation to the
Genocide Convention" ini suatu pendekatan yang lebih praktis dan flexible
telah diterima dalam praktek negara-negara karena fakta jika 100 negara yang
berbeda kultur, sistem ekonomi tetap mempertahankan prinsip "kebulatan
persetujuan", maka hal ini akan mengakibatkan keseganan banyak negara
untuk turut serta dalam perjanjian multilateral yang umum.[14]
Dengan demikian, prinsip atau
sistem "Pan American" ini merupakan suatu sistem yang
fleksibel karena memperkenankan atau memungkinkan negara yang mengajukan
pensyaratan itu menjadi pihak peserta perjanjian berhadapan dengan negara yang
menerima pensyaratan yang bersangkutan, sebagaimana dikatakan oleh Brownlie[15] :
"in
contrast the members of the Pan American Union, later the Organization of
American States, adopted a flexible system which permitted a reserving state to
become a party vis-a-vis non objecting state"
Yang penting dari pendapat
Mahkamah Internasional mengenai Genocide
Convention ini adalah bahwa meskipun pendapat tersebut dimaksudkan hanya
terbatas pada kasus "Genocide
Convention", namun pendapat Mahkamah Internasional mengenai
pensyaratan ini sangat penting artinya di dalam perkembangan hukum mengenai
pensyaratan.[16] Disamping
itu pendapatnya itu dianggap
mempunyai pandangan yang jauh tentang persoalan pensyaratan pada umumnya.
Contoh lain yang dapat
dikemukakan adalah pengalaman Indonesia, yakni pada tahun 1961 Indonesia telah
ikut menandatangani Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan dengan UU No 8 tahun
1976 telah pula meratifikasinya. Pada
waktu menandatangani konvensi tersebut, Indonesia mengajukan pensyaratan terhadap pasal 48 ayat (2)
tentang keharusan penyelesaian sengketa pada Mahkamah Internasional. Pasal 48
ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
"Any
such dispute which cannot be settled in the manner precribed shall be referred
to the International Court of Justice for decision ".
Pada intinya pensyaratan yang
diajukan Indonesia terhadap pasal 48 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika itu
adalah bahwa Indonesia tidak mengakui adanya jurisdiksi mengikat (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah
Internasional. Alasan yang diajukan oleh Indonesia adalah bahwa sengketa yang
hendak diajukan ke depan Mahkamah Internasional harus ada persetujuan para
pihak dan harus dilihat secara kasuistis. Disamping itu, pensyaratan yang
diajukan Indonesia tersebut berdasarkan prinsip untuk menerima suatu kewajiban
untuk mengajukan perselisihan-perselisihan internasional, dimana Indonesia
tersangkut kepada Mahkamah, terutama apabila perselisihan demikian itu
mempunyai segi politis.[17]
Pensyaratan terhadap pasal 48
ayat (2) tersebut juga dilakukan oleh Bulgaria, yang isinya sama dengan
pensyaratan yang diajukan Indonesia, yakni tidak diakuinya jurisdiksi mengikat
dari Mahkamah Internasional, dengan mengatakan :
"The
people's Republic of Bulgaria does not consider herself bound to implement the
provisions of article 48, paragraph 2, concerning the obligatory jurisdiction
of International Court".[18]
Pensyaratan yang diajukan, baik
oleh Indonesia maupun oleh Bulgaria tersebut tidak banyak menimbulkan masalah,
karena dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 itu sendiri diperkenankan adanya
pensyaratan demikian. Bahkan dalam pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika
1961 disebutkan secara tegas pasal-pasal mana saja yang boleh mendapatkan
pensyaratan. Pasal 50 ayat (2) Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut
berbunyi:
"Any
State may at the time of signature, ratification, or accession make
reservations in respect of the following provisions of this Convention :
article 12, paragraphs 2 and 3; article 13 paragraph 2; arty id e 14 paragraphs
1 and 2; article 31 paragraphs 1 (b); and article 48"
Dengan demikian, melihat
ketentuan diatas, tidak ada persoalan mengenai sah tidaknya pensyaratan yang
diajukan Indonesia maupun Bulgaria. Sedangkan akibat hukum atas pensyaratan
dalam hubungannya dengan negara yang menerima maupun yang menolak pensyaratan
itu, akan berlaku ketentuan seperti yang terdapat dalam "advisory
opinion" Mahkamah Internasional mengenai pensyaratan pada tahun
1951 sebagaimana sudah diuraikan diatas. Apabila dikaitkan dengan Konvensi Wina
1969 tentang Hukum Peijanjian, maka akan berlaku ketentuan pasal 20 ayat (4).
Pengalaman lain dari Indonesia
adalah ketika mengajukan pensyaratan terhadap Konvensi Jenewa 1958 tentang
Hukum Laut. Dengan UU NO 19 tahun 1961 Indonesia meratifikasi Konvensi Jenewa
1958 tentang Hukum Laut, dimana sebelumnya Indonesia telah ikut
menandatangani konvensi tersebut.
Undang-undang tersebut pada prinsipnya mengandung adanya persetujuan
terhadap tiga Konvensi Jenewa mengenai Hukum Laut, yakni Konvensi mengenai Perikanan
dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas, Konvensi mengenai Landas Kontinen
dan Konvensi mengenai Laut Lepas. Ikut sertanya Indonesia terhadap ketiga
konvensi ini diberikan dengan suatu pensyaratan, yang pada prinsipnya berkaitan
dengan penafsiran terhadap "territorial sea" dan "Internal
Waters". Dalam mana Indonesia menginginkan bahwa sepanjang yang
mengenai perairan Indonesia, maka harus ditafsirkan sesuai dengan UU No 4
Prp tahun 1960.
Ternyata ratifikasi dengan suatu
pensyaratan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap ketiga konvensi tersebut
hanyalah ratifikasi mengenai Konvensi tentang Laut Lepas saja yang diterima
oleh Sekjen PBB.
Dengan demikian hanya ratifikasi
mengenai Laut Lepas sajalah yang sah menurut hukum. Sedangkan oleh karena ratifikasi
yang disertai dengan pensyaratan terhadap dua konvensi lainnya ditolak, maka
dapat dikatakan bahwa Indonesia bukan merupakan peserta atas dua konvensi
tersebut, karena dua konvensi itu memang tidak boleh dibubuhi pensyaratan.
Apabila masalah diatas dikaitkan dengan ketentuan yang
terdapat dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, maka
dapat dikatakan bahwa ditolaknya pensyaratan yang diajukan Indonesia terhadap Konvensi
mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas dan Konvensi mengenai Landas Kontinen, karena
dianggap pensyaratan yang diajukan Indonesia itu tidak sesuai dengan tujuan dan
maksud konvensi.[19] Karena
itu konsekuensi hukumnya adalah bahwa Indonesia sebagai negara yang mengajukan
pensyaratan, dianggap bukan sebagai pihak peserta atas kedua konvensi tersebut,
yakni Konvensi mengenai perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas
dan Konvensi mengenai Landas
kontinen.
PENUTUP
Dari keseluruhan pembahasan
diatas, maka dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Setiap negara yang mengadakan suatu perjanjian harus menjunjung tinggi dan menaati ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu asas yang dipakai dalam perjanjian internasional, yaitu asas pacta sunt servanda yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang telah dibuat harus ditaati oleh masing-masing pihak yang bersangkutan.
- Pada dasarnya setiap negara dalam suatu perjanjian internasional, berhak untuk mengajukan pensyaratan terhadap materi perjanjian, asalkan pensyaratan tidak dilarang oleh perjanjian, atau pensyaratan tidak bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian;
- Penolakan atas suatu pensyaratan oleh satu atau beberapa peserta konvensi, tidak secara otomatis mengakibatkan status negara yang mengajukan pensyaratan sebagai pihak peserta perjanjian menjadi hilang, melainkan ia akan tetap dianggap sebagai pihak peserta oleh yang menerima pensyaratan tersebut. Kecuali antara pihak yang mengajukan pensyaratan dengan pihak yang menolak, maka perjanjian akan tetap mengikat bagi kedua belah pihak;
- Apabila suatu pensyaratan dianggap "tidak sesuai" dengan tujuan dan maksud perjanjian, maka akan berakibat bahwa pensyaratan itu akan ditolak oleh seluruh peserta konvensi, dengan demikian pihak yang mengajukan pensyaratan tidak dapat menjadi peserta perjanjian dan sebaliknya;
- Prinsip atau doktrin Pan Amerika yang terkandung dalam "Advisory Opinion" Mahkamah Internasional tahun 1951 terhadap masalah pensyaratan pada Genocide Convention 1948 telah diikuti atau dianut pula dalam Konvensi Wina 1969, dimana prinsip atau doktrin tersebut memang sesuai dengan perkembangan hubungan internasional yang semakin kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Brierly, J.L. Hukum Bangsa
Bangsa. terjemahan
Moh Radjab, Bhatara, Jakarta. 1963.
Brownlie, lan. Principles of Public
International Law, 3rd ed, Oxford University Press.
London, 1979.
Budiono Kusumohamidjojo.1986.Suatu Studi Terhadap Aspek
Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum perjanjian
Internasional. Binacipta: Bandung.
Green, L.C. 1978. International Law Through the Cases, London.
John King Gamble,Jr. Reservation to Multilateral Treaties, A
Macroscopic View of State Practice, dalam AJIL, April 1980, vol 74 NO 2.
Mieke Komar.1981.Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun
1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, diktat kuliah pada
Fakultas Hukum UNPAD, Bandung,
Mochtar Kusumaatmadja. 1978. Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung.
Suryokusumo,
S.H., LL.M., Prof. Dr. Sumaryo.
2008. Hukum Perjanjian Internasional. Tatanusa: Jakarta.
_____, Masalah Lebar Laut
Territorial Pada Konferensi-Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958-1960 penerbit
Universitas, Bandung, 1962.
_______, Pengantar hukum Internasional, Buku
I, Bag Umum, Binaciptra , Bandung, 1981.
O'Connel, International Law, 2nd
ed, Vol I Steven & Sons, London 1970.
Sri Setianingsih Suwardi, Persyaratan Dalam Perjanjian Internasional, dalam
majalah Hukum & Pembangunan NO 4 Tahun IX, Juli 1979.
Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional Konvensi
Tunggal Narkotika Tahun 1961 UU No 8 Tahun 1976.
Adri Aswin Azhari, http://mynewdocuments.blogspot.com/2011/03/perjanjian-internasional.html
diakses pada tanggal 8 Oktober 2012 Pukul 19.20 Wita.
[1] Adri Aswin Azhari, dimuat dalam http://mynewdocuments.blogspot.com/2011/03/perjanjian-internasional.html
diakses pada tanggal 8 Oktober 2012 Pukul 19.20 Wita.
[2]
Suryokusumo, S.H., LL.M., Prof. Dr. Sumaryo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, Tatanusa:Jakarta, hal. 45.
[3] Budiono Kusumohamidjojo, 1986, Suatu Studi Terhadap
Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentaqng
Hukum perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, hal. 10.
[4]
Lihat pasal 22 ayat 1 Konvensi Wina 1969.
[5]
Lihat pasal 22 ayat 2 Konvensi Wina 1969.
[6]
Lihat pasal 22 ayat 3 Konvensi Wina 1969.
[7]
Lihat pasal 23 ayat 2 Konvensi Wina 1969.
[8] Brierly,
J.L. 1963, Hukum Bangsa Bangsa. terjemahan Moh Radjab,
Bhatara, Jakarta., hal. 233.
[9]
Mieke Komar, 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun
1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, diktat kuliah pada
Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, hal.
35.
[10]
O'Connel, 1970, International Law, 2nd
ed, Vol I Steven & Sons, London,
hal. 238.
[11]
Green, L.C. 1978, International Law Through the Cases, London,
hal. 573
[12]
Sri Setianingsih Suwardi, 1979, Persyaratan Dalam Perjanjian Internasional, dalam
majalah Hukum & Pembangunan NO 4 Tahun IX, Juli, hal. 360.
[13]
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Hukum Laut Internasional, Binacipta,
Bandung, hal. 125.
[14]
Mieke Komar, Loc.Cit., hal. 35.
[15]
Brownlie, lan, 1979, Principles of Public International Law, 3rd
ed, Oxford University Press. London, hal. 606.
[16]
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., hal. 127
[17]
Lihat penjelasan UU No 8 Tahun 1976.
[18]
John King Gamble,Jr, Reservation to
Multilateral Treaties, A Macroscopic View of State Practice, dalam AJIL, April 1980, vol 74
NO 2. Hal. 384.
[19]
Lihat pasal 19 Konvensi Wina 1969.
makasih ya tuk bantuannya
BalasHapusmakasih karena selama ini aku yang ada kota terpencil terbantu dengan karyamu
BalasHapusada lagi contoh reservasi yg ditolak selain itu ?
BalasHapustekirdağ evden eve nakliyat
BalasHapuskocaeli evden eve nakliyat
yozgat evden eve nakliyat
osmaniye evden eve nakliyat
amasya evden eve nakliyat
İBEV56
657AF
BalasHapusAntep Şehirler Arası Nakliyat
Batıkent Boya Ustası
Siirt Şehirler Arası Nakliyat
Maraş Şehirler Arası Nakliyat
Eskişehir Evden Eve Nakliyat
Ünye Oto Lastik
Çerkezköy Halı Yıkama
Etlik Boya Ustası
Çerkezköy Koltuk Kaplama
9B9FB
BalasHapusÜnye Çelik Kapı
Kırklareli Lojistik
Tekirdağ Lojistik
Aydın Lojistik
Batman Şehir İçi Nakliyat
Ankara Şehirler Arası Nakliyat
Eskişehir Evden Eve Nakliyat
Sinop Şehirler Arası Nakliyat
Eryaman Boya Ustası
7BD62
BalasHapusBatman Parça Eşya Taşıma
Ünye Oto Elektrik
Urfa Şehir İçi Nakliyat
Burdur Parça Eşya Taşıma
testosterone propionat for sale
Çerkezköy Evden Eve Nakliyat
Kripto Para Nedir
fat burner for sale
Bursa Şehir İçi Nakliyat
7CF79
BalasHapusBalıkesir Şehir İçi Nakliyat
Yenimahalle Fayans Ustası
Niğde Parça Eşya Taşıma
Sakarya Evden Eve Nakliyat
Kırklareli Evden Eve Nakliyat
Bingöl Şehir İçi Nakliyat
Sincan Boya Ustası
Iğdır Lojistik
Yalova Şehir İçi Nakliyat
A6904
BalasHapusBingöl Evden Eve Nakliyat
Maraş Şehir İçi Nakliyat
Erzurum Şehirler Arası Nakliyat
Çanakkale Şehir İçi Nakliyat
Çerkezköy Ekspertiz
buy pharmacy steroids
seokoloji
Çankırı Şehir İçi Nakliyat
Kocaeli Şehir İçi Nakliyat
14EAE
BalasHapusresimli magnet
binance referans kodu
resimli magnet
referans kimliği nedir
binance referans kodu
binance referans kodu
resimli magnet
binance referans kodu
referans kimliği nedir
C5202
BalasHapusbybit
canli sohbet
poloniex
btcturk
coin nereden alınır
binance
huobi
mexc
kaldıraç ne demek
DE960
BalasHapusokex
en düşük komisyonlu kripto borsası
bitcoin ne zaman yükselir
bingx
binance
canlı sohbet
probit
binance
bitcoin seans saatleri
39AE3
BalasHapusen iyi kripto para uygulaması
kraken
huobi
en düşük komisyonlu kripto borsası
rastgele canlı sohbet
August 2024 Calendar
coinex
2024 Calendar
https://toptansatinal.com/
fdxsfdxwerwetgert
BalasHapusشركة تنظيف افران بجدة