REDISTRIBUSI TANAH ABSENTEE
SERTA PELAKSANAANNYA DI INDONESIA
PEMBAHASAN
2.1 Redistribusi
Tanah Absentee
Tanah-tanah yang diredistribusikan
dalam rangka landreform tidak hanya
tanah absentee sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat 5 PP No. 224 tahun 1961 jo PP No. 41 tahun 1964 melainkan
pula tanah kelebihan batas maksimun berdasarkan Undang-Undang
No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian serta tanah-tanah yang jatuh kepada negara karena subyek haknya
melanggar ketentuan landreform, tanah
swapraja dan tanah negara eks swapraja yang beralih kepada negara sebagai mana
dimaksud diktum keempat huruf A UU No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah lain yang
dikuasai langsung oleh negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.
Penguasaan tanah-tanah kelebihan
maksimum dan tanah bekas absentee
dimulai pada tanggal 24 September 1961 secara berangsur–angsur, setelah
ditetapkan bagian mana yang akan dikuasai oleh pemerintah maka tanah-tanah yang
bersangkutan di ijinkan untuk dikerjakan oleh para petani penggarapnya untuk
paling lama 2 tahun dengan kewajiban membayar sewa kepada pemerintah sebesar
1/3 dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu[1].
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh mereka yang akan menerima redistribusi tanah, yaitu petani penggarap atau
buruh tani tetap yang berkewarganegaraan Indonesia, bertempat tinggal di
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat bekerja dalam pertanian.
Tempat tinggal ini masih dapat dispensasi sesuai dengan ketentuan tentang absentee yaitu tidak ada keberatan jika
petani penggarap bertempat tinggal yang berbatasan dengan letak tanahnya asal
jarak antara tempat tinggal penggarap dan tanah yang bersangkutan masih
memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien[2].
Oleh karena luas tanah yang akan
diredistribusikan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah petani yang
membutuhkan maka diadakan prioritas dalam pembagiannya. Para penggarap tanah
yang bersangkutan mendapat prioritas pertama karena mereka mempunyai hubungan
yang paling erat dengan tanah yang digarapnya sehingga atas dasar prinsip
”tanah untuk tani yang menggarap” hubungan tersebut tidak boleh dilepaskan,
bahkan harus dijamin kelangsungannya[3].
Apabila setelah dibagikan kepada
golongan petani penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan sebagai
prioritas pertama masih ada sisa, maka sisanya dibagikan berdasarkan prioritas
berikutnya yang terdiri dari :
§ Buruh tani
tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
§ Pekerja
tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
§ Penggarap
yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan;
§ Penggarap
yang mengerjakan tanah hak pemilik;
§ Penggarap
tanah-tanah yang oleh pemerintah diberikan untuk peruntukan lain
§ Penggarap
yang tanahnya kurang dari 0,5 hektar;
§ Pemilik yang
luas tanahnya kurang dari 0,5 hektara;
§ Petani atau
buruh tani lainnya[4].
Tanah-tanah yang dibagi-bagikan itu
diberikan dengan hak milik dengan syarat-syarat sebagai berikut:
- Penerima redistribusi wajib membayar uang pemasukan .
- Tanah yang bersangkutan harus diberi tanda-tanda batas.
- Haknya harus didaftarkan kepada kantor pendaftaran tanah untuk memperoleh setifikat hak milik.
- Menerima redistribusi wajib mengerjakan/mengusahakan tanahnya secara aktif.
- Setelah dua tahun sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pemberian haknya wajib dicapai kenaikan hasil tanaman setiap tahunnya sebanyak yang ditetapkan oleh dinas pertanian daerah.
- Yang menerima hak wajib menjadi anggota koperasi pertanian di daerah letak tanah yang bersangkutan.
- Selama uang pemasukannya belum dibayar lunas hak milik yang diberikan itu dilarang untuk dialihkan kepada pihak lain tanpa ijin terlebih dahulu dari Kepala Agraria Daerah (sekarang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota).
- Kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban atau pelanggaran terhadap larangan tersebut diatas dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak milik yang diberikan itu tanpa pemberian sesuatu ganti kerugian. Pencabutan hak milik itu dilakukan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya[5].
Uang pemasukan yang harus dibayar
oleh para petani penerima redistribusi ditetapkan berdasarkan harga tanah yang
besarnya sama dengan rata-rata jumlah ganti kerugian tiap hektar yang diberikan
kepada bekas pemilik di daerah tingkat II yang bersangkutan menurut klasifikasi
tanahnya, ditambah biaya administrasi 6%. Uang pemasukan boleh diangsur selama
15 tahun sejak tanggal ditetapkannya surat keputusan pemberian hak milik yang
bersangkutan dengan bunga 3% pertahun.
Dan sekarang berdasarkan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 tahun 1991 tentang Peraturan Penguasaan
Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya, bahwa kepada petani yang memperoleh tanah
obyek landreform secara swadaya
membayar ganti rugi kepada bekas pemilik tanah melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dengan pengendalian Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi yang bersangkutan.
Biaya pelaksanaan pengaturan penguasaan
tanah obyek landreform meliputi :
- Biaya operasional, untuk membiayai kegiatan operasional penataan penguasaan dan penggunaan tanah dan kegiatan operasional redistribusi tanah.
- Sewa tanah, harga tanah dan biaya administrasi;
- Biaya pendaftaran tanah dan
- Biaya pembinaan pengelolaan tanah.
Biaya operasional ditetapkan :
a. untuk daerah Jawa dan Bali :
- Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 2.500 (dua ribu lima ratus) M2 : Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).
- Untuk tanah garapan yang luasnya lebih dari 2.500 (dua ribu lima ratus) M2 : Rp 25.000,- ditambah Rp 1,- (satu rupiah) per M2 untuk tanah garapan selebihnya daripada 2.500 M2.
b. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali :
- Untuk tanah garapan yang luasnya sampai dengan 5.000 (lima ribu) M2 : Rp 35.000,- (tiga puluh lima ribu rupiah).
- Untuk tanah garapan yang luas lebih daripada 5000 (lima ribu) M2 Rp 35.000,- (tiga puluh lima ribu rupiah) ditambah Rp 2,- (dua rupiah) per M2 untuk tanah garapan selebihnya daripada 25.000 M2.
- Bendaharawan Khusus penerimaan pada kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya (sekarang Kota) menerima biaya operasional dari petani penggarap yang menerima tanah obyek landreform, menyetor dan mengambil dari rekening Kepala Badan Pertanahan Nasional cq. Bendaharawan Penerimaan Khusus Penerimaan yang bersangkutan pada Bank Pemerintah setempat, dan membukukannya pada Buku Kas Umum (BKU) dan Buku Kas Pembantu (BKP) sesuai ketentuan yang berlaku[6].
- Adanya syarat-syarat yang ketat untuk menyeleksi calon petani yang menerima tanah redistribusi agar tidak diterlantarkan atau disalahgunakan. Maksud lainnya adalah untuk menaikkan produktifitas tanah dan produktifitas tenaga kerja karena kebijakan redistribusi ini tidak hanya alasan politis dan kemanusiaan semata tetapi juga alasan ekonomis. Jadi persoalan redistribusi tanah itu tidak hanya menekankan bagaimana membagi-bagi tanah kepada rakyat namun juga dimaksudkan untuk mengubah kedudukan atau “status politis “ dari seorang petani penggarap menjadi petani pemilik, tetapi follow up dari redistribusi itulah yang lebih penting untuk saat sekarang.
Pelaksanaan landreform di Indonesia sendiri secara historis tidak berjalan
dengan lancar. Berbagai permasalahan dan kendala dihadapai oleh pemerintahan
dari masa ke masa mulai dari Pemerintahan Orde Lama hingga era reformasi saat
ini.
a. Orde Lama
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi
tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform
sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok
untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta
kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme,
feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan
hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi,
terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai
negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto
Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti
penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ
homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme,
feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang
Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform
dan pengurusan hak atas tanah[7].
Tampak jelas bahwa era
pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera
diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi
Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah
sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik
agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama
kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah[8].
Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan,
dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan
pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar
menggarapnya”.
Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan
penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan
Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari
Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah
penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan
pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah
golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima
pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan
inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam
perumusan UUPA menjadi anggotanya[9].
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah
berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi
kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan
tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya
dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana
dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna
yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari
rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform
sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu
oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah[10].
Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai
awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan[11].
Hal itu karena[12]:
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak
Menguasai Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan
tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai
mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan
kontra landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik
yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari program landreform masa ini -menurut
Utrecht- adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar[13],
yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964.
Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah
152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru
dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah
kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.
b. Orde Baru
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan
pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan
ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber
daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun
1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada
tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit
sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi
penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan
pinjaman-pinjaman baru[14].
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang
atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi
pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang
merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk
PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang
semula dientukan sebagai tanah kelebihan —dan karenanya menjadi objek
redistribusi tanah— dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis,
atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan
perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang
tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil
yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis
sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama
dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan.
Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas
tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian
sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor
hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan
tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22,
41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai
0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% menguasai lahan lebih dari 0,5 hektar.
Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam
penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau
48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari
keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah
tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan
pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai
lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua
rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar[15].
Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang
didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan
hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian
mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak
merupakan agenda Bank Dunia dan
lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda
dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan
tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini
adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui
sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif.
Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin
kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang
terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang
yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas
tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang
lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel
negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang
diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar
itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan)
yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem
administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat
bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi
pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang
selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian
dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari
1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah
787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani[16].
c. Orde Reformasi
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang
semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat
pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX
Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap
UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya
alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun
1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru
dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu
disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah
kebijakan pembaruan agraria adalah:
- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah oleh rakyat;
- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Selanjutnya
pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali
diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini
akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar
lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan
kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah
yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan
produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya
habis, maupun tanah bekas swapraja[17].
2.2 Ganti Rugi Bagi Pemilik Tanah Absentee
Para pemilik tanah absentee yang
diambil oleh negara dalam rangka landreform
berhak untuk mendapat ganti rugi atas tanah mereka menurut PP Nomor 224
tahun 1961 dan PP Nomor 41 tahun 1964 ini merupakan ciri utama pelaksanaan
landreform di Indonesia yang menunjukkan bahwa tidak ada penyitaan dalam
politik pertanahan di Indonesia[18].
Kepada bekas pemilik tanah absentee diberikan
ganti rugi yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform daerah tingkat II
yang bersangkutan atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata
selama lima tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan
kelas tanahnya. Dengan menggunakan degresivited
dibawah ini :
a. Untuk 5 hektar yang pertama tiap
hektarnya 10 kali hasil bersih setahun;
b. Untuk 5
hektar yang kedua, ketiga, keempat tiap hektarnya 9 kali hasil bersih per
tahun;
c. Untuk yang selebihnya tiap
hektarnya 7 kali hasil bersih setahun;
1. Dengan
ketentuan bahwa jika harga tanah menurut perhitungan tersebut lebih tinggi dari
harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk menetapkan ganti kerugian
tersebut. (pasal 6 ayat (1)). Ganti rugi diberikan sejumlah 10% dalam bentuk
uang simpanan di Bank sedang sisanya berupa Surat Hutang Landreform (SHL). Surat Hutang Landreform
tersebut diberi bunga 3% setahun. Selama pemilik belum dapat mengambil uangnya
di bank mendapat bunga 3% setahun[19].
2. Berdasarkan
pasal II PP No. 41 tahun 1964 bunga 3% diubah menjadi 5% pertahun. Pada Tahun
1967 Direktur Jenderal Agraria mengeluarkan suatu peraturan hubungannya dengan
penyesuaian jumlah ganti rugi untuk obyek-obyek landreform[20]
antara lain ditentukan ganti rugi yang akan dibayar kepada bekas pemilik pada
tahun 1968 akan terbatas sampai Rp. 50.000,- .
Selanjutnya ditentukan bahwa
pelaksanaan pembayaran ganti rugi berdasarkan tingkat prioritas sebagai berikut
:
- Bekas pemilik yang tanah kelebihannya kurang dari 2 Hektar
- Bekas pemilik yang tinggal didaerah tertentu melipui tanah yang relatif kecil
- Bekas pemilik yang tanahnya pernah diredistribusikan sebelumnya.
- Bekas pemilik yang sudah terkena larangan absentee.
Apabila ada beberapa prioritas yang
sama sedangkan jumlah dana yang tersedia tidak cukup untuk membayar ganti rugi
maka panitia landreform akan
mengadakan undian unuk menentukan siapa yang mempunyai hak untuk pembayaran
pertama. Menurut PP No. 224 tahun 1961 sumber-sumber pembiayaan lainnya
meliputi dana anggaran pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), pengumpulan biaya administrasi dari harga tanah yang harus
dibayar oleh para petani/beaya ini telah diturunkan dari 10% menjadi 6%
berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967 dan
penghasilan dari uang sewa serta penjualan dalam melaksanakan landreform.
Peraturan Direktur Jenderal Agraria No.
4 tahun 1967, menetapkan besarnya ganti kerugian maksimal Rp 50.000,- tiap
hektarnya, yang akan dibayarkan sekaligus. Berhubung dengan keadaan keuangan Negara,
maka pembayaran ganti kerugian tersebut baru dapat dimulai sebagian dalam tahun
1968[21].
Untuk memperlancarkan pembiayaan
landreform dan mempermudah pemberian fasilitas–fasilitas kredit kepada para
petani dibentuk suatu yayasan yang berkedudukan sebagai badan hukum yang otonom
dengan nama Yayasan Dana Landreform
(YDL). Berdasarkan ketentuan PP No. 224 tahun 1961 tersebut pada tanggal 25
Agustus 1961 dibentuk oleh menteri Agraria Yayasan Dana Ladreform dengan Akta
Notaris R. Kardiman Jakarta No. 110. Yayasan Dana Landreform diurus oleh suatu dewan pengurus dan diawasi oleh suatu
dewan pengawas. Pekerjaan sehari–hari diselenggarakan oleh seorang
administratur.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. 257 Tahun 1975 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tekhnis
Pembayaran Ganti Rugi Secara Langsung dinyatakan bahwa para penerima
redistribusi asal tanah absentee dan
tanah kelebihan dapat melakukan pembayaran ganti rugi secara langsung dengan
pembayaran tunai pada suatu waktu tertentu untuk seluruh ganti rugi yang belum
dibayar. Pembayaran gantai rugi secara langsung tersebut dilakukan di kantor
Kecamatan tempat letak tanah. Lalu lintas pembayaran ganti rugi secara langsung
dan biaya administrasi dicatat dan dibukukan secara terpisah oleh Bendaharawan
Yayasan Dana Landreform[22].
Dalam Surat Pengurus Yayasan Dana Landreform
tanggal 4 Januari l979 No. YDL/KEU/2/1/79/GR : Perihal Pelaksanaan Pembayaran
ganati rugi kepada Bekas Pemilik tanah dijelaskan bahwa :
Dalam pelaksanaan pembayaran ganti
rugi kepada para bekas pemilik tanah kelebihan dan absentee dimana dijumpai kasus :
- Bekas pemilik telah meninggal dunia, mempunyai beberapa orang ahli waris yang terpencar, bahkan diantaranya tidak diketahui alamatnya dan Bekas Pemilik tidak lagi diketaui alamatnya, akan tetapi ada salah seorang ahli warisnya yang diketahui alamatnya, maka :
o
Pembayaran dapat
dilakukan/diterimakan kepada salah seorang ahli waris yang sah dan jelas
diketahui alamatnya.
o
Kepada ahli waris tersebut agar
diminta membuat pernyataaan yang isinya menyatakan bahwa yang bersangkutan
sebagai salah seorang ahli waris akan bertanggung jawab atas penandatanganan
STP 3 maupun penerimaan uang ganti rugi dari Pemerintah apabila dikemudian hari
ada gugatan diantara ahli waris lainnya.
o
Surat Pernyataan itu dilegalisir
oleh Pamong Desa setempat (Kepala Desa/Lurah dan Camat) di mana ahli waris
tersebut bertempat tinggal, dan demikian juga oleh Pamong Desa tempat letak
tanah yang akan dibayar ganti ruginya.
- Bekas pemilik tidak lagi diketahui alamatnya, maupun ahli warisnya, maka tidak dapat dibayarkan uang ganti ruginya. Demikian pula terhadap bekas Pemilik yang telah meninggal dunia dan tidak lagi diketahui ahli warisnya, maka dengan sendirinya juga tidak dapat dibayarkan uang ganti ruginya.
Dalam hal seperti tersebut dalam
pengusulan permohonan pembayaran ganti rugi diharapkan kepada mereka diberikan
catatan/penjelasan untuk diketahui karena ada kemungkinan dikemudian hari akan
muncul salah seorang ahli warisnya.
Sekarang kegiatan Yayasan Dana
Landreform telah dibekukan. Untuk selanjutnya pelaksanaan landreform dibiayai
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan peraturan kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1992 pembayaran harga–harga yang
diredistribusikan, yang semula merupakan uang Yayasan Dana Landreform dilakukan
kepada Bank Rakyat Indonesia Unit Desa atau Cabang Bank Rakyat Indonesia di
Kabupaten/Kotamadya (sekarang Kota) setempat[23].
Cara pemungutan uang dalam rangka
pelaksanaan landreform diatur di
dalam Peraturan Menteri Agraria No. 3 tahun 1964 (TLN no. 2681). Tetapi menurut
kenyataan terutama sebagai akibat dari inflansi dan tentangan PKI dengan
BTI-nya semasa pra G30S, yang memang tidak menyetujui diberikannya ganti
kerugian kepada para bekas pemilik, hal itu sukar dilaksanakan, hingga terpaksa
Pemerintah menanggungnya. Sehubungan dengan itu maka dikeluarkan Peraturan
Direktur Jenderal Agraria No. 4 tahun 1967, yang menetapkan besarnya ganti
kerugian maksimal Rp 50.000,- tiap hektarnya, yang akan dibayarkan sekaligus.
Berhubung dengan keadaan keuangan Negara, maka pembayaran ganti kerugian
tersebut baru dapat dimulai sebagian dalam tahun 1968[24].
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional no. 4 tahun 1992 tentang Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah
Kelebihan Maksimal dan Absentee/guntai
telah diubah nilai ganti ruginya,bukan lagi maksimalnya Rp 50.000/hektar.
Selain itu pula sekarang ini pembiayaan pelaksanaan landreform selain dana dari APBN juga pembayaran ganti kerugian
kepada bekas pemilik tanah yang ditanggung oleh para petani penerima tanah
redistribusi. Namun kenyataan sekarang ini dalam pembayaran ganti rugi para
bekas pemilik tanah kelebihan dan absentee
belum memperoleh penyediaan anggaran sebagaimana diharapkan, sehingga
menimbulkan tanggapan-tanggapan yang negatif dikalangan masyarakat terhadap
pelaksanaan landreform[25].
3. Upaya Pemerintah Mencegah
Penyelundupan Larangan Pemilikan Tanah Absentee
Adanya peraturan larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee, dari
pemilik-pemilik tanah absentee untuk
tetap mempertahankannya. Baik secara legal maupun illegal, atau secara
penyelundupan hukum. Secara legal yaitu dengan pindah ke kecamatan
dimana tanah pertanian itu terletak. Dan untuk benar-benar pindah maka haruslah
diartikan bahwa mereka benar-benar berumah tangga dan menjalankan
kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat sehari-hari di tempat yang baru, sehingga
memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien. Belum cukup hanya
mempunyai kartu tanda penduduk di tempat yang baru, padahal kenyataan
sehari–hari ia masih tetap berada ditempat tinggal yang lama.
Contoh penyelundupan hukum pemilikan
tanah pertanian secara absentee,
adanya tanah absentee itu ditanami
pohon-pohon murbei, sedangkan pemiliknya mempunyai pabrik ulat sutera di
Bandung. Di kebun murbeinya di luar kota Bandung ia mendirikan rumah tinggal
yang dalam masa–masa tertentu didiaminya bila ia mengerjakan
tanaman-tanamannya. Di Bandung ia juga mempunyai rumah yang juga di diaminya
bila ia mengusahakannya pabriknya. Tentu dalam hal ini harus dilihat domisilinya
atau de feitelijke woonplaats, untuk
itu para petugas harus dilengkapi dengan pedoman yang cukup, supaya dapat
bertindak tepat. Kebun murbei dan pabrik ulat sutera secara ekonomis merupakan
satu kesatuan[26].
Untuk itu pemerintah melakukan tindakan preventif dan represif guna mencegah
terjadinya penyelundupan pemilikan tansah pertanian secara absentee.
Tindakan preventif, yaitu tindakan
pemerintah yang bermaksud mencegah atau menghindarkan arus penyalahgunaan
lembaga pemilikan tanah secara guntai, dilakukan dengan cara :
- Mengeluarkan peraturan-peraturan yang disertai ancaman pidana, jadi merupakan tindakan yang menakut-nakuti baik terhadap pemilik tanah atau pejabat yang berhubungan dengan itu[27].
- Penyuluhan tentang pemilikan tanah yang baik dan lain sebagainya.
Untuk mencegah timbulnya pemilikan
tanah pertanian secara absentee,
pemerintah telah mengeluarkan Intruksi Mendagri No. 27/1973 tentang pengawasan
pemindahan hak-hak atas tanah[28].
Depdagri mengeluarkan buku tuntunan bagi PPAT, salah satu petunjuknya menyebutkan
sehubungan dengan peraturan-peraturan landreform, maka pembelian tanah
pertanian di luar kecamatan tempat tinggal si pembeli harus ditolak oleh para
PPAT[29].
Tindakan represif, yaitu tindakan pemerintah yang bermaksud melenyapkan atau
memusnahkan penyalahgunaan tersebut yaitu dengan melaksanakan sanksi/ancaman
pidana itu melalui pengadilan.
Menurut ketentuan PP No. 224 tahun
1961 pasal 19, yaitu bahwa terhadap pemilik tanah diancam pidana kurungan/denda
serta tanahnya dicabut oleh negara tanpa ganti rugi (ayat 2), sedangkan
terhadap mereka yang menghalang-halangi terlaksanakannya PP No. 224 ini diancam
pidana kurungan/denda (ayat 1).
[1] Lihat pasal 14 ayat 1 PP
No. 224 tahun 1961.
[2] Lihat pasal 3 ayat (2)
PP No. 224 tahun 1961.
[3] Lihat penjelasan pasal 8
PP No. 224 tahun 1961.
[4] Lihat Pasal 8 PP No. 224
tahun 1961.
[5] Boedi Harsono, 1999, Op.cit., hal 300.
[6] Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan
Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, hal 833.
[7] Perinciannya adalah
sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4 Undang-Undang, 2 Peraturan
Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9
Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri
dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi
Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10 Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28
peraturan), dari keseluruhan yang berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan
Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hal. 185.
[8] Noer Fauzi, 1999, Petani
& Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama
Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 141.
[9] Ibid.
[10] Noer Fauzi, Op. Cit.,
hal. 143-144.
[11] Terjadinya aksi sepihak,
baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh petani (di bawah naungan
BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak memperhatikan
prosedur normal landreform.
[12] Noer Fauzi, Op. Cit.,
hal. 124.
[13] Ibid., hal. 147.
[14] Rikardo Simarmata, 2006,
Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional
Centre in Bangkok, hal. 64-65.
[15] Biro Pusat Statistik
1993.
[16] Maria SW Sumardjono,
2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi
revisi, Kompas, Jakarta, hal. 51.
[17] Pembagian Lahan agar
Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007.
[18] Eddy Ruchiyat, 1983, Pelaksanaan Landreform dan Jual Gadai
Berdasarkan UU Nomor 56 (Prp) tahun 1966, Armico, Bandung, hal. 34.
[19] Lihat pasal 7 ayat (1)
dan (4) PP No. 224 tahun 1961
[20] Peraturan Dirjen Agraria
Nomor 4 Tahun 1967
[21] Boedi Harsono, 1999, Op. Cit., hal. 303-304.
[22] Direktorat Landreform,
1981, Op Cit.
hal 542.
[23] Boedi Harsono, 1999,
Op.cit. Hal. 320.
[24] Ibid, hal. 303-304
[25] Ibid, hal. 318.
[26] A. Teluki, 1966, Perbandingan Hak Milik atas Tanah dan Recht
Van Eigendom, PT Eresco, Bandung, hal. 50-51.
[27] Lihat PP No. 224 tahun
1961
[28] Direktorat Landreform, Op.cit., hal 422.
[29] Departemen Dalam Negeri,
1985, Buku Tuntunan Bagi Pejabat Pembuat
Akta Tanah, Yayasan Hudaya Bina Sejahtera, Cetakan keempat puluh sembilan,
halaman II.
saya ingin mendiskusikan beberapa hak dengan anda terkait dengan hukum udara dan laut dari sisi pandang hukum internasional. apabila pak Ahmad berkenan kami akan sangat senang untuk berdiskusi. terimakasih
BalasHapusIf you're looking to lose fat then you certainly need to try this totally brand new custom keto meal plan diet.
BalasHapusTo create this keto diet, licensed nutritionists, personal trainers, and professional cooks have joined together to provide keto meal plans that are effective, painless, cost-efficient, and enjoyable.
From their launch in January 2019, 100's of clients have already remodeled their body and health with the benefits a proper keto meal plan diet can give.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones provided by the keto meal plan diet.
Casinos Near Me | JTM Hub
BalasHapusA 강원도 출장안마 map showing 여수 출장마사지 casinos and other 안양 출장마사지 gaming facilities located 성남 출장안마 near you, along 제천 출장마사지 with