Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam
adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu,
permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika
permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui
nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit, timbul istilah ijtihad. Menurut
Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk
menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam
Al-Qur’an, perintah ijtihad terdapat dalam surat
an-Nisa ayat 83, asy-Syu’ara ayat 38, surat
al-Hasyar ayat 2, dan surat
al-Baqarah ayat 59. Sementara itu, dasar ijtihad terdapat pula pada
sebuah hadist yang artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka
baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala
(HR. Bukhari dan Muslim).” Di dalam kitab ihya Ulumu ad-Din,
hukum mengenai berijtihad dikategorikan menjadi fardhu ‘ain, fardu kifayah, dan
sunnah. Hukum ijtihad menjadi fardhu ‘ain jika timbul persoalan yang sangat
mendesak untuk ditentukan kepastian hukumnya. Hukum ijtihad menjadi fardhu
kifayah apabila ada persoalan yang diajukan kepada beberapa ulama sedemikian
hingga kewajiban berijtihad bagi ulama atau orang lain menjadi hilang manakala
telah ada salah seorang yang telah menjawab persoalan tersebut. Sedangkan
ijtihad menjadi sunnah jika masalah yang akan dicari kepastian hukumnya adalah
masalah yang tidak mendesak atau masalah yang belum terjadi dalam masyarakat.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Untuk menjadi seorang
mujtahid, terdapat persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki
seseorang. Menurut Yusuf Qardawi, terdapat delapan persyaratan yang harus
dimiliki seseorang untuk menjadi mujtahid: memahami Al-Qur’an beserta sebab
turunya ayat-ayat, memahami hadist, mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
bahasa arab, mengetahui tempat-tempat ijmak, mengetahui usul fikih, mengetahui
maksud-maksud syariat, memahami masyarakat dan adat-istiadatnya, serta bersifat
adil dan takwa. Di dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid menempuh beberapa
cara diantaranya qiyas, istihsan, al-maslahah al mursalah, dan ‘urf. Qiyas
adalah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada
kepastian hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Hadist karena sebabnya sama.
Contohnya, hukum minum bir sama dengan hukum meminum khamr, yaitu haram,
karena sifat keduanya adalah sama-sama memabukkan. Istihsan adalah
mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah lain yang sejenis
lalu menetapkan suatu hukum bagi masalah itu dengan hukum yang berbeda berdasarkan
pada alasan bagi pengecualian itu. Al-maslahah al mursalah adalah
menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an
dan sunnah untuk mencapai kebaikan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf
adalah kebiasaan umum atau adat-istiadat yang dapat berupa perkataan atau
perbuatan.
Berdasarkan uraian diatas, ijtihad dapat kita maknai sebagai usaha
mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki hukum-hukum di dalam
Al-Qur’an. Di dalam praktiknya, tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad
dan kemudian berhak mengeluarkan kepastian hukum mengenai suatu masalah karena
terdapat beberapa persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh seseorang untuk
membolehkannya menjadi mujtahid.
Arti "ijtihad" menurut
bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Ijtihad adalah mengeluarkan
segala tenaga dan kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW.
Syarat-syarat untuk menjadi
seorang Mujtahid: pertama,
menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghahnya karena
Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami
Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.
Kedua, menguasai dan memahami Al-Qur’an
seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu hukum dari satu ayat yang
bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang
menyatakan bahwa berdo’a kepada orang mati, bersedekah dan membaca Al-Qur’an
tidak berguna dengan dalil.
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali
apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)
Hal itu tentu bertentangan
dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain
tercantum:
اَلَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمنِ
“Orang-orang yang datang setelah
mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului
kami dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)
Juga termasuk mengetahui
ayat yang berlaku umum atau ‘aam
(عام) dan yang khusus atau khas (خاص); yang mutlak (tanpa kecuali)
dan yang muqayyad (yang terbatas); yang nasikh
(hukum yang mengganti) dan yang mansyukh
(hukum yang diganti); dan asbaabun
nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat
tersebut.
Ketiga, menguasai Hadits
Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits untuk dapat membedakan antara
hadits yang shahih dan yang dlaif. Mengapa harus menguasai hadits? Karena yang
berhak pertama kali untuk menjelaskan Al-Qur’an adalah Rasulullah SAW, maka
apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan menarik kesimpulan suatu hukum
bertentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat
dibenarkan artinya bathil.
وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيِهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Kami turunkan kepada engkau
peringatan (Al-Qur’an) supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang
diturunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka memikirkan.”
(An-Nahl: 44)
وَمَاءَ اتَكُمُ الرَّسُوْلَ فَخُذُوْهُ وَمَانَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْا وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ الله شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
“Dan apa yang Rasul berikan kepadamu
hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan,
dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.”
(Al-Hasyr: 7)
Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan
hukum) Para Sahabat. Supaya kita dalam menentukan hukum tidak bertentangan
dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat, karena mereka yang lebih
mengetahui tentang syareat Islam. Mereka hidup bersama Nabi dan mengetahui
sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan datangnya hadits.
Kelima, Mengetahui adat kebiasaan manusia.
Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum ( العادة محكمه ) selama tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad pada zaman Nabi SAW tidak diperlukan, sebab
apabila sahabat mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi
langsung menjawab.
Ijtihad diperlukan setelah
Nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang. Sejak abad ke II dan ke III
Hijriyah permasalahan hukum Islam telah mulai perumusan hukum, diantaranya
hasil dari Al-Madzahibul–Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah
diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul Fiqih yang mampu memecahkan segala
permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini adalah periode
pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu
hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’,
bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar dari pendapat madzab empat atau al-madzhibul arba’ah.
Hal ini bukan berarti
ijtihad ditutup mutlak. Tentu tidak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru
di abad teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain,
ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu
dalam ilmu Ushul Fiqih.
NASH DAN IJTIHAD
Abu Mahdi
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)
Dasar-dasar Hukum Islam
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah
wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber
hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat
dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di
dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain.
Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang
batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang
berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini,
muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan
Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya
dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim
berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba
mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi,
ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan
muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin
memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami
secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena,
memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran,
dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan
sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode
dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan
Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat
Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah.
Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad
SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu,
dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS
(termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang
menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah
sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah
terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat
Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak
berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang
mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik
dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim
zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur
sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang
terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang
diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada
fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda
pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua
muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan
jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus
memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas
harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang
dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal
tersebut.
Ijtihad di Kalangan Muslimin
Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang
berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan
ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu
dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang
hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath,
hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh
hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan
sebagainya.
Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad untuk
melepaskan tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum
ditemui dalam hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad
di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah
adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi
"tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid
terdahulu.
Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban,
dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga
pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang
memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun
demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan
untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan
hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk
mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat
memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang
timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa
muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau),
serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak
akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum
Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa
muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap
muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup
yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan
kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para
mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada
(ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid,
walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena
kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan
manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang
dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan
Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan
manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk
tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia
dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran
ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka
i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad
tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin
mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal.
Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang
tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin
pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang
ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk
melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah.
Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang
di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian,
usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari
sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita
sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber
hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari
keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan
memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.
Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian
komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki
keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di
luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir
dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang
ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan
muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni
ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal
mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah
terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad,
seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?
Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu
kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini
pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk
qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy
yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah
kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?
Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting,
yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari
simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat
dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan
(pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan
mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam
kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi
sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya."
Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta
pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam
Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan
mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran
memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi
problema kehidupan ini.
Bergabungnya Semua Hukum Islam dengan Politik
Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam
merupakan penilai dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang
berhubungan dengan dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga semua
permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh
ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi
tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya.
Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari
satu sisi saja dan melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi
agama lain, semua hukumnya bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam
politik. Shalat bersenyawa dengan politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara,
semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha
hendak memisahkan dan mengesampingkannya.
Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam
di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah
benteng Islam seperti benteng kota untuk
membentengi kota."
Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi."