Pages

Selasa, 12 Juni 2012

CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA – MENYEWA RUMAH



Yang bertanda tangan di bawah ini:


1.      Nama                               :  ----------------------------------------------------
Umur                                :  ----------------------------------------------------
Pekerjaan                         :  ----------------------------------------------------
Alamat                             :  ----------------------------------------------------
Nomer KTP / SIM         :  ----------------------------------------------------

Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA


2.      Nama                               :  ----------------------------------------------------
Umur                                :  ----------------------------------------------------
Pekerjaan                         :  ----------------------------------------------------
Alamat                             :  ----------------------------------------------------
Nomer KTP / SIM         :  ----------------------------------------------------

Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA

Kedua belah pihak dengan ini menerangkan bahwa PIHAK PERTAMA selaku pemilik sah telah setuju untuk menyewakan kepada PIHAK KEDUA berupa:

Sebuah rumah yang berdiri di atas sebidang tanah yang terletak di ( ------ alamat lengkap ------ ) dengan luas bangunan [( ---) (---luas tanah dalam huruf ---)] meter persegi, dengan sertifikat hak milik Nomer ( ------------------------- ), gambar situasi Nomer ( ---------- ) tanggal ( ---- tanggal, bulan, dan tahun ---).

Selanjutnya kedua belah pihak bersepakat bahwa perjanjian sewa-menyewa antara PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA ini berlaku sejak tanggal penandatanganan surat perjanjian ini. Adapun syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan dalam surat perjanjian ini diatur dalam 12 (dua belas) pasal, sebagai berikut:
Pasal 1
HARGA SEWA

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA telah sepakat untuk menentukan harga sewa atas rumah berikut pekarangannya tersebut di atas dengan nilai sewa [(Rp. -------------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] untuk jangka waktu [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)] tahun terhitung sejak tanggal ( ---- tanggal, bulan, dan tahun ---) sampai dengan tanggal ( ---- tanggal, bulan, dan tahun ---) dan keseluruhan uang sewa tersebut sudah harus dibayarkan PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA pada saat penandatanganan surat perjanjian ini.
Pasal 2
JAMINAN PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA menjamin bahwa barang yang disewakan tersebut di atas berikut semua fasilitas-fasilitas yang terdapat di dalamnya adalah hak miliknya dan bebas dari segala tuntutan hukum dan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu PIHAK KEDUA atas penggunaannya selama jangka waktu berlakunya surat perjanjian ini. Segala kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK PERTAMA ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
Pasal 3
LARANGAN BAGI PIHAK PERTAMA

Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal 1 surat perjanjian ini berakhir, PIHAK PERTAMA tidak dibenarkan meminta PIHAK KEDUA untuk mengakhiri jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali rumah tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 4
LARANGAN BAGI PIHAK KEDUA

1. PIHAK KEDUA tidak dibenarkan sama sekali untuk mengalihkan hak atau mengontrakkan kepada PIHAK KETIGA tanpa ijin serta persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
2.   PIHAK KEDUA tidak dibenarkan untuk mengubah struktur dan instalasi dari rumah tersebut tanpa ijin dan persetujuan dari PIHAK PERTAMA.
Yang dimaksudkan dengan struktur adalah sistim konstruksi bangunan yang menunjang berdirinya bangunan rumah tersebut, seperti: pondasi, balok, kolom, lantai, dan dinding.
Pasal 5
TANGGUNG JAWAB AKIBAT PEMAKAIAN

1.    PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas kerusakan struktur sebagai akibat pemakaian.
2.   PIHAK KEDUA dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA akibat kerusakan pada bangunan yang diakibatkan oleh force majeure.
Yang dimaksud dengan Force majeure adalah:
a.   Bencana alam, seperti: banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan, serta kebakaran yang disebabkan oleh faktor extern yang mengganggu kelangsungan perjanjian ini.
b.     Huru-hara, kerusuhan, pemberontakan, dan perang.
 
Pasal 6
PENGGUNAAN SARANA

Dalam perjanjian sewa ini sudah termasuk hak atas pemakaian aliran listrik, saluran nomor telepon, dan air dari PDAM yang telah terpasang sebelumnya pada bangunan rumah yang disewa. Selama jangka waktu kontrak berlangsung, PIHAK KEDUA berkewajiban untuk membayar semua tagihan-tagihan atau rekening-rekening serta biaya-biaya lainnya atas penggunaannya. Segala kerugian yang timbul akibat kelalaian PIHAK KEDUA dalam memenuhi kewajibannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.


Pasal 7
PENGGUNAAN RUMAH

1.   PIHAK KEDUA tidak akan mempergunakan rumah itu untuk tujuan yang lain dari pada yang disepakati dalam perjanjian ini, kecuali telah mendapat ijin secara tertulis dari PIHAK PERTAMA.
2.  PIHAK KEDUA berkewajiban untuk menjaga kebersihan, keamanan, ketertiban dan ketenteraman lingkungan.
Pasal 8
TANGGUNG JAWAB PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA bertanggung jawab atas berlakunya peraturan-peraturan Pemerintah yang menyangkut perihal pelaksanaan perjanjian ini, semisal: Pajak-pajak, Iuran Retribusi Daerah (IREDA), dan lain-lainnya.

Pasal 9
PENYERAHAN RUMAH
KETIKA PERJANJIAN BERAKHIR

Setelah berakhir jangka waktu kontrak sesuai dengan Pasal 1 surat perjanjian ini, PIHAK KEDUA segera mengosongkan rumah dan menyerahkannya kembali kepada PIHAK PERTAMA serta telah memenuhi semua kewajibannya sesuai dengan pasal 6 surat perjanjian ini.

Pasal 10
PERPANJANGAN SEWA

1.   Apabila PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA bermaksud melanjutkan perjanjian kontrak, maka masing-masing pihak harus memberitahukan terlebih dahulu, minimal [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)] bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
2.  PIHAK KEDUA harus mendapat prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk memperpanjang masa penyewaan barang tersebut di atas, sebelum PIHAK PERTAMA menawarkannya kepada calon-calon penyewa yang lain.

Pasal 11
HAL-HAL LAIN

1.   Hal-hal yang belum tercantum dalam perjanjian ini akan dimusyawarahkan bersama oleh kedua belah pihak.
2.  Mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya, kedua belah pihak bersepakat untuk memilih domisili yang tetap pada ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ).
 
Pasal 12
PENUTUP

Surat Perjanjian ini ditandatangani di ( --- tempat --- ) pada hari ( --------- ) tanggal ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ).

Demikian perjanjian sewa-menyewa ini dibuat rangkap 2 (dua) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dan ditandatangani di atas kertas bermaterei cukup.



                 PIHAK PERTAMA                                                              PIHAK KEDUA




                [ ------------------------- ]                                                           [ ------------------------ ]



     SAKSI-SAKSI:




              [ --------------------------- ]                                                         [ --------------------------- ]

CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA – MENYEWA TANAH




Yang bertanda tangan di bawah ini:


1.      Nama                               :  ----------------------------------------------------
Umur                                :  ----------------------------------------------------
Pekerjaan                         :  ----------------------------------------------------
Alamat                             :  ----------------------------------------------------
Nomer KTP / SIM         :  ----------------------------------------------------

Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA


2.      Nama                               :  ----------------------------------------------------
Umur                                :  ----------------------------------------------------
Pekerjaan                         :  ----------------------------------------------------
Alamat                             :  ----------------------------------------------------
Nomer KTP / SIM         :  ----------------------------------------------------

Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK KEDUA


Para pihak menerangkan terlebih dahulu: ---------------------------------------------------

1.      Bahwa PIHAK PERTAMA adalah yang paling berhak penuh dan pemilik sah sebidang tanah Hak Milik yang diuraikan dalam ( --------- nomer sertifikat tanah --------- ), yang terletak di ( --------- alamat lengkap lokasi tanah --------- ), dan diuraikan lebih lanjut dalam ( --------- nomer gambar situasi --------- ), seluas [( ---) (---luas tanah dalam huruf ---)] meter persegi, dengan batas-batas:
Utara                    :  ( --------------------------------------------------------------------------- )
Selatan                 :  ( --------------------------------------------------------------------------- )
Barat                     :  ( --------------------------------------------------------------------------- )
Timur                   :  ( --------------------------------------------------------------------------- )      
Dan untuk selanjutnya disebut TANAH.
2.      Bahwa PIHAK PERTAMA akan menyewakan TANAH tersebut di atas kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA benar-benar telah menyatakan persetujuannya untuk menyewa TANAH dari PIHAK PERTAMA.
3.      Bahwa para pihak menerangkan, bahwa PIHAK PERTAMA dengan ini menyewakan kepada PIHAK KEDUA, yang dengan ini menyewa TANAH dari PIHAK PERTAMA, yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dengan materei cukup serta dilampirkan dalam perjanjian ini.
4.      Selanjutnya para pihak menerangkan bahwa sewa-menyewa TANAH ini dilangsungkan dan diterima dengan syarat-syarat ketentuan-ketentuan yang diatur dalam 13 (tiga belas) pasal, seperti berikut di bawah ini :

Pasal 1
JANGKA WAKTU

1.    Sewa-menyewa ini dilangsungkan dan diterima untuk jangka waktu [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)], terhitung sejak tanggal ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ) dan berakhir pada tanggal ( ------ tanggal, bulan, dan tahun ------ ).
2. Setelah jangka waktu tersebut berakhir dan PIHAK KEDUA bermaksud untuk memperpanjang, maka PIHAK KEDUA harus memberitahukan kepada PIHAK PERTAMA secara tertulis, selambat-lambatnya [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)] bulan sebelum berakhirnya perjanjian ini.
3.    Syarat-syarat serta ketentuan-ketentuan perihal perpanjangan sewa tanah tersebut akan ditentukan dalam Surat Perjanjian tersendiri.


PASAL 2
HARGA SEWA

1.  Harga sewa TANAH ditetapkan sebesar [(--- Rp. ---------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] per tahun atau [(--- Rp. ---------,00) (------ jumlah uang dalam huruf ------ )] untuk keseluruhan jangka waktu sewa dan uang tersebut akan diberikan PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA bersamaan dengan penandatanganan Surat Perjanjian ini sebagai tanda pelunasan dari seluruh jumlah uang sewa termaksud.
2.   PIHAK PERTAMA akan memberikan tanda bukti penerimaan tersendiri kepada PIHAK KEDUA.
3. PIHAK PERTAMA dalam masa sewa-menyewa ini sama sekali tidak diperbolehkan mengambil uang sewa tambahan lagi dari PIHAK KEDUA dengan mengemukakan dalih atau alasan apapun juga.


PASAL 3
SERAH TERIMA TANAH

1. Pada saat perjanjian ini, PIHAK PERTAMA menyerahkan TANAH kepada PIHAK KEDUA.
2.   PIHAK KEDUA menerima penyerahan TANAH sesuai menurut kondisi nyata pada hari penyerahan tersebut.
3. Penyerahan TANAH dari PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dituangkan dalam suatu Berita Acara Serah Terima.


Pasal 4
PENGGUNAAN TANAH

  1.  PIHAK KEDUA berhak sepenuhnya untuk menggunakan TANAH yang disewanya dengan perjanjian ini untuk ( ---------------------------- ) atas tanggung jawab PIHAK KEDUA sendiri dan dengan memperhatikan serta mentaati segala peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
  2.      PIHAK KEDUA tidak akan mempergunakan TANAH untuk tujuan yang lain dari pada yang disepakati dalam perjanjian ini, kecuali telah mendapat ijin tertulis dari PIHAK PERTAMA.


Pasal 5
PEMELIHARAAN TANAH

 1.    PIHAK KEDUA diwajibkan untuk memelihara TANAH yang disewanya dengan sebaik-baiknya dengan ongkos atau biaya pemeliharaan PIHAK KEDUA sendiri.
 2. PIHAK PERTAMA akan mengambil tindakan-tindakan pencegahan untuk menjaga keamanan dalam lingkungan wilayah usaha PIHAK PERTAMA, namun PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan PIHAK KETIGA yang dapat menyebabkan kerugian pada PIHAK KEDUA.


Pasal 6
PENGALIHAN SEWA

Dalam masa berlakunya perjanjian ini, PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan untuk menyewakan kembali sebagian atau keseluruhan TANAH yang disewanya kepada PIHAK KETIGA, kecuali jika mendapat ijin tertulis dari PIHAK PERTAMA yang dituangkan dalam suatu perjanjian pengalihan sewa menyewa TANAH.

Pasal 7
PAJAK, IURAN DAN PUNGUTAN

Segala macam pajak, iuran, dan pungutan uang yang berhubungan dengan TANAH di atas diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
1.      Sejak sebelum hingga waktu ditandatanganinya perjanjian ini masih menjadi kewajiban dan tanggung jawab PIHAK PERTAMA.
2. Setelah ditandatanganinya perjanjian ini dan seterusnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab PIHAK KEDUA.
3. Perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan PIHAK KEDUA sepenuhnya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA.


Pasal 8
KEWAJIBAN AHLI WARIS

Perjanjian ini tidak berakhir karena salah satu pihak meninggal dunia, melainkan akan tetap bersifat turun-temurun dan harus dipatuhi oleh para ahli waris atau penerima hak masing-masing pihak.


Pasal 9
PELANGGARAN ATAU KECURANGAN

Apabila salah satu dari kedua belah pihak melakukan kecurangan atau melanggar serta tidak mentaati perjanjian ini, maka diberlakukan peraturan sebagai berikut:
1.   Apabila PIHAK KEDUA melakukan pelanggaran atau tidak mentaati perjanjian ini maka PIHAK PERTAMA berhak untuk minta perjanjian ini dibatalkan.
2.      Apabila PIHAK PERTAMA melakukan pelanggaran atau tidak mentaati perjanjian ini maka PIHAK PERTAMA wajib memberikan atau membayar ganti rugi kepada PIHAK KEDUA.
Besarnya ganti rugi tersebut ditetapkan oleh 3 (tiga) orang arbiter yang terdiri dari:
a.      Seorang arbiter yang ditunjuk PIHAK PERTAMA,
b.      Seorang arbiter yang ditunjuk PIHAK KEDUA, dan
c.       Seorang yang ditunjuk arbiter dari PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA.
Apabila keputusan para arbiter tidak memuaskan kedua belah pihak, masing-masing pihak bersepakat untuk membawa dan menyerahkan masalah tersebut kepada ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ) untuk mengangkat 1 (satu) atau 2 (dua) orang arbiter baru guna melengkapi arbiter-arbiter yang telah ada.


Pasal 10
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK PERTAMA

PIHAK PERTAMA berhak untuk memutuskan hubungan sewa menyewa berdasarkan perjanjian ini tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada PIHAK KEDUA dalam hal-hal berikut:
1.   Apabila PIHAK KEDUA lalai membayar harga sewa, biaya perawatan, dan/atau tagihan lainnya yang terhutang selama [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)] bulan setelah pembayaran harga sewa dan/atau tagihan tersebut jatuh tempo.
2. Apabila kegiatan tau usaha PIHAK KEDUA dihentikan untuk sementara berdasarkan penetapan dari instansi yang berwenang, atau ijin usahanya dicabut oleh PIHAK PERTAMA.


Pasal 11
PEMUTUSAN PERJANJIAN OLEH PIHAK KEDUA

PIHAK KEDUA berhak untuk memutuskan hubungan sewa menyewa berdasarkan perjanjian ini sebelum berakhirnya jangka waktu sewa menyewa dengan syarat-syarat sebagai berkut:
1.  PIHAK KEDUA memberitahukan secara tertulis perihal keinginannya itu kepada PIHAK PERTAMA, sekurang-kurangnya [(------ ) ( --- waktu dalam huruf ---)] bulan sebelum perjanjian ini putus. PIHAK PERTAMA akan memberikan jawaban secara tertulis kepada PIHAK KEDUA perihal permintaan tersebut dengan disertai dengan pemberitahuan hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak.
2.      PIHAK KEDUA tidak berhak menuntut pengembalian uang sewa dan biaya perawatan yang telah diterima oleh PIHAK PERTAMA.


Pasal 12
PENYELESAIAN PERSELISIHAN

1.       Hal-hal yang belum tercantum dalam perjanjian ini akan dibicarakan serta diselesaikan secara kekeluargaan melalui jalan musyawarah untuk mufakat oleh kedua belah pihak.
2.   Apabila terjadi perselisihan dan tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat, kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya secara hukum dan kedua belah pihak telah sepakat untuk memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di ( ------ Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri ------ ).

Pasal 13
PENUTUP

Surat perjanjan sewa – menyewa tanah ini dibuat rangkap 2 (dua) dan ditandatangani kedua belah pihak di ( ----- tempat ------) pada hari ( ---------) tanggal [( ------) ( --- tanggal dalam huruf ---)] ( --- bulan dalam huruf ---) tahun [( ----) ( --- tahun dalam huruf ---)] dimana masing-masing pihak berada dalam keadaan sadar serta tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun juga.




                PIHAK PERTAMA                                                             PIHAK KEDUA




               [ ------------------------- ]                                                          [ ------------------------ ]


Hukum Islam : IJTIHAD

 
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit, timbul istilah ijtihad. Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelediki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam Al-Qur’an, perintah ijtihad terdapat dalam surat an-Nisa ayat 83, asy-Syu’ara ayat 38, surat al-Hasyar ayat 2, dan surat al-Baqarah ayat 59. Sementara itu, dasar ijtihad terdapat pula pada sebuah hadist yang artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim).” Di dalam kitab ihya Ulumu ad-Din, hukum mengenai berijtihad dikategorikan menjadi fardhu ‘ain, fardu kifayah, dan sunnah. Hukum ijtihad menjadi fardhu ‘ain jika timbul persoalan yang sangat mendesak untuk ditentukan kepastian hukumnya. Hukum ijtihad menjadi fardhu kifayah apabila ada persoalan yang diajukan kepada beberapa ulama sedemikian hingga kewajiban berijtihad bagi ulama atau orang lain menjadi hilang manakala telah ada salah seorang yang telah menjawab persoalan tersebut. Sedangkan ijtihad menjadi sunnah jika masalah yang akan dicari kepastian hukumnya adalah masalah yang tidak mendesak atau masalah yang belum terjadi dalam masyarakat.

Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Untuk menjadi seorang mujtahid, terdapat persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki seseorang. Menurut Yusuf Qardawi, terdapat delapan persyaratan yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi mujtahid: memahami Al-Qur’an beserta sebab turunya ayat-ayat, memahami hadist, mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab, mengetahui tempat-tempat ijmak, mengetahui usul fikih, mengetahui maksud-maksud syariat, memahami masyarakat dan adat-istiadatnya, serta bersifat adil dan takwa. Di dalam melaksanakan ijtihad, para mujtahid menempuh beberapa cara diantaranya qiyas, istihsan, al-maslahah al mursalah, dan ‘urf. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu masalah dengan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya di dalam Al-Qur’an dan Hadist karena sebabnya sama. Contohnya, hukum minum bir sama dengan hukum meminum khamr, yaitu haram, karena sifat keduanya adalah sama-sama memabukkan. Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah lain yang sejenis lalu menetapkan suatu hukum bagi masalah itu dengan hukum yang berbeda berdasarkan pada alasan bagi pengecualian itu. Al-maslahah al mursalah adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan sunnah untuk mencapai kebaikan. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘urf adalah kebiasaan umum atau adat-istiadat yang dapat berupa perkataan atau perbuatan.

Berdasarkan uraian diatas, ijtihad dapat kita maknai sebagai usaha mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki hukum-hukum di dalam Al-Qur’an. Di dalam praktiknya, tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad dan kemudian berhak mengeluarkan kepastian hukum mengenai suatu masalah karena terdapat beberapa persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh seseorang untuk membolehkannya menjadi mujtahid.
 
Arti "ijtihad" menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Ijtihad adalah mengeluarkan segala tenaga dan kemampuan untuk mendapatkan kesimpulan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Syarat-syarat untuk menjadi seorang Mujtahid: pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghahnya karena Al-Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.

Kedua, menguasai dan memahami Al-Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdo’a kepada orang mati, bersedekah dan membaca Al-Qur’an tidak berguna dengan dalil.

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)

Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain tercantum:

اَلَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمنِ
Orang-orang yang datang setelah mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)

Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umum atau ‘aam (عام)  dan yang khusus atau khas (خاص); yang mutlak (tanpa kecuali) dan yang muqayyad (yang terbatas); yang nasikh (hukum yang mengganti) dan yang mansyukh (hukum yang diganti); dan asbaabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat tersebut.

Ketiga, menguasai Hadits Rasulullah SAW baik dari segi riwayat hadits untuk dapat membedakan antara hadits yang shahih dan yang dlaif. Mengapa harus menguasai hadits? Karena yang berhak pertama kali untuk menjelaskan Al-Qur’an adalah Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan menarik kesimpulan suatu hukum bertentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat dibenarkan artinya bathil.

وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيِهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al-Qur’an) supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44)

وَمَاءَ اتَكُمُ الرَّسُوْلَ فَخُذُوْهُ وَمَانَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْا وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ الله شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Keempat, mengetahui Ijma’ (kesepakatan hukum) Para Sahabat. Supaya kita dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat, karena mereka yang lebih mengetahui tentang syareat Islam. Mereka hidup bersama Nabi dan mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dan datangnya hadits.

Kelima, Mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum ( العادة محكمه ) selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijtihad pada zaman Nabi SAW tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi dan Nabi langsung menjawab.

Ijtihad diperlukan setelah Nabi wafat karena permasalahan selalu berkembang. Sejak abad ke II dan ke III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah mulai perumusan hukum, diantaranya hasil dari Al-Madzahibul–Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah diletakkan pula qaidah-qaidah Ushul Fiqih yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad. Walaupun, jika berijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil. Contohnya, dalam berwudlu’, bila ada ijtihad, maka tidak akan keluar dari pendapat madzab empat atau al-madzhibul arba’ah.

Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlak. Tentu tidak. Dalam masalah-masalah yang berkembang baru di abad teknologi ini seperti: cangkok mata, bayi tabung, dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman pada qaidah-qaidah ulama’ yang terdahulu dalam ilmu Ushul Fiqih.

NASH DAN IJTIHAD

Abu Mahdi

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)

Dasar-dasar Hukum Islam

Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.

Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.

Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.

Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.

Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.

Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.

Ijtihad di Kalangan Muslimin

Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.

Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad untuk melepaskan tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi "tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid terdahulu. 

Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.

Kasus Seputar Ijtihad

Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.

Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.

Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.

Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu. 

Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.

Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan

Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya. 

Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah. 

Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.

Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin.

Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?

Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.

Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?

Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.

Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya."

Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.

Bergabungnya Semua Hukum Islam dengan Politik

Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya. 

Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja dan melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya.

Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng kota untuk membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi."