Pages

Rabu, 04 April 2012

TERJEMAHAN KONVENSI WINA 1961

TERJEMAHAN KONVENSI WINA 1961
MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK 

Negara-negara Pihak pada Konvensi ini, ......
Menyadari bahwa tujuan-tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum tidaklah untuk keuntungan individu akan tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi misi-misi diplomatik dalam mewakili Negara-Negara.
Menegaskan bahwa aturan hukum kebiasaan internasional tetap terus mengatur masalah-masalah yang tidak secara tegas diatur oleh ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
Telah menyetujui sebagai berikut : 

Pasal 1
Untuk tujuan Konvensi ini, istilah-istilah berikut akan mempunyai arti yang disebutkan di bawah ini untuk istilah-istilah tersebut :
(a). “Kepala misi” adalah orang yang diberi tugas oleh Negara pengirim dengan tegas untuk bertindak di dalam kapasitas sebagai kepala misi.
(b). “Anggota misi” adalah kepala misi dan anggota-anggota staf misi.
(c). “Anggota-anggota staf misi” adalah anggota-anggota staf diplomatik, anggota-anggota staf administratif dan teknik dan anggota staf pelayan dari misi.
(d). “Anggota staf diplomatik” adalah anggota-anggota staf daripada misi yang mempunyai tingkatan diplomatik.
(e). “Agen diplomatik” adalah kepala misi atau seorang anggota staf diplomatik dari misi.
(f). “Anggota staf teknik dan administratif” adalah anggota-anggota staf misi yang dipekerjakan di dalam pelayanan teknik dan administratif dari misi.
(g). “Anggota staf pelayan” adalah anggota-anggota staf misi di dalam pelayanan domestik daripada misi.
(h). “Pelayan pribadi” adalah orang yang di dalam pelayanan domestik dari seorang anggota misi dan yang bukan pegawai Negara pengirim misi.
(i). “Gedung misi” adalah bangunan atau bagian dari bangunan dan tanah yang menyokongnya, tak memandang pemilikannya, dipergunakan untuk tujuan-tujuan misi termasuk tempat kediaman kepala misi.

Pasal 9
1. Negara penerima boleh setiap saat dan tanpa harus menerangkan keputusannya, memberitahu Negara pengirim bahwa kepala misinya atau seseorang anggota staf diplomatiknya adalah persona non grata atau bahwa anggota lainnya dari staf misi tidak dapat diterima. Dalam hal seperti ini, Negara pengirim, sesuai dengan mana yang layak, harus memanggil orang tersebut atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi. Seseorang dapat dinyatakan non grata atau tidak dapat diterima sebelum sampai di dalam teritorial Negara penerima .........

Pasal 22
1. Gedung misi tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Pejabat-pejabat dari Negara penerima tidak boleh memasukinya, kecuali dengan persetujuan kepala misi.
2. Negara penerima di bawah kewajiban khusus untuk mengambil semua langkah yang perlu untuk melindungi gedung misi terhadap penerobosan atau perusakan dan untuk mencegah setiap gangguan perdamaian misi atau perusakan martabatnya.
3. Gedung misi, perlengkapannya dan barang-barang lainnya di sana serta alat-alat transport misi kebal terhadap penyelidikan, pengambilalihan, penglengkapan atau eksekusi.

Pasal 23
Pengecualian dari pajak di tempat misi

Pasal 24
Arsip-arsip dan dokumen-dokumen misi tidak dapat diganggu gugat (inviolabel) kapan pun dan dimana pun benda-benda itu berada.

Pasal 25
Negara penerima harus memberikan kemudahan yang penuh untuk pelaksanaan fungsi-fungsi misi.

Pasal 26
Tunduk pada hukum dan peraturan mengenai larangan masuk pada daerah tertentu atau yang diatur karena alasan-alasan keamanan nasional. Negara penerima harus menjamin semua anggota misi kebebasan bergerak dan bepergian di dalam wilayahnya.

Pasal 27
1. Negara penerima harus mengijinkan dan melindungi kemerdekaan berkomunikasi pada pihak misi untuk tujuan-tujuanresminya. Di dalam berkomunikasi dengan Pemerintah, misi-misi dan konsulat-konsulat, dari Negara pengirim, dimanapun beradanya, misi boleh menggunakan semua sarana yang pantas, termasuk kurir diplomatik dan pesan-pesan dengan sandi atau kode. Namun demikian, misi boleh menggunakan dan memasang pemancar radio hanya dengan persetujuan dari Negara penerima.
2. Korespondensi resmi daripada misi tidak dapat diganggu gugat. Korespondensi resmi adalah semua korespondensi yang berhubungan dengan misi dan fungsi-fungsinya.
3. Tas diplomatik tidak boleh dibuka atau ditahan.
4. Paket yang ada di dalam tas diplomatik harus memperlihatkan tanda yang jelas dapat terlihat dari luar yang menunjukkan sifatnya dan hanya boleh berisi dokumen-dokumen diplomatik atau barang-barang yang diperuntukkan bagi kegunaan resmi daripada misi .......

Pasal 29
Orang agen diplomatik tidak dapat diganggu gugat (inviolabel). Ia tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam bentuk apapun dari penahanan atau penangkapan. Negara penerima harus memperlakukannya dengan hormat dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk mencegah setiap serangan terhadap badannya, kebebasannya atau martabatnya.

Pasal 30
1. Tempat kediaman pribadi agen diplomatik menikmati inviolabilitas dan perlindungan yang sama seperti gedung misi.
2. Kertasnya, korespondensinya, dan kecuali ditentukan di dalam ayat 3 Pasal 31, barang-barangnya, juga menikmati inviolabilitas.

Pasal 31
1. Seorang agen diplomatik kebal dari yurisdiksi kriminil Negara penerima. Dia juga kebal dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam hal :
(a) Suatu perkara yang berhubungan dengan barang-barang tetap yang terletak di dalam wilayah Negara penerima, tanpa ia memegangnya itu untuk pihak Negara pengirim untuk tujuan-tujuan misi;
(b) Suatu perkara yang berhubungan dengan suksesi di mana agen diplomatik termasuk sebagai eksekutor, administrator, ahli waris atau legate sebagai orang privat dan tidak untuk pihak Negara Pengirim;
(c) Suatu perkara yang berhubungan dengan setiap kegiatan professional atau dagang yang dijalankan oleh agen diplomatik di dalam Negara penerima dan diluar fungsi resminya.
2. Seorang agen diplomatik tidak berkewajiban menjadi saksi untuk memberikan bukti.
3. Tiada tindakan eksekusi boleh diambil terhadap agen diplomatik kecuali di dalam hal-hal yang masuk di dalam sub ayat (a), (b) dan (c) dari ayat 1 pasal ini, dan dengan syarat bahwa tindakan itu dapat diambil tanpa melanggar inviolabilitas orangnya atau tempat kediamannya.
4. Kekebalan agen diplomatik dari yurisdiksi Negara penerima tidak membebaskannya dari yurisdiksi Negara pengirim.

Pasal 32
1. Kekebalan dari yurisdiksi bagi agen-agen diplomatik dan orang-orang yang menikmati kekebalan di dalam Pasal 37 dapat ditanggalkan oleh Negara pengirim.
2. Pelepasan kekebalan haruslah dinyatakan dengan tegas.
3. Pemulaian sidang oleh agen diplomatik atau oleh seseorang yang mendapat kekebalan terhadap yurisdiksi menurut Pasal 37 akan menghalanginya untuk pengajuan kekebalan terhadap yurisdiksi dalam hal tuntutan balik yang secara langsung berhubungan dengan gugatan pokok.
4. Penanggalan kekebalan dari yurisdiksi dalam hal sidang-sidang sipil atau administratif tidak dapat dipegang untuk menyatakan secara tak langsung adanya penanggalan kekebalan dalam hal eksekusi keputusan, yang untuk mana suatu penanggalan terpisah diperlukan.

Pasal 34
Pembebasandaripajakagendiplomatik

Pasal 36
Pembebasan dari bea cukai untuk misi diplomatik dan agen-agen dan keluarga mereka.

Pasal 37
1. Anggota-anggota keluarga agen diplomatik yang membentuk rumah tangganya, jika mereka ini bukan warga negara Negara penerima, mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum yang disebutkan di dalam Pasal 29 sampai 36.

2. Anggota staf administratif dan teknik daripada misi, bersama-sama dengan anggota keluarga mereka yang membentuk rumah tangga mereka masing-masing, jika mereka itu bukan warga negara dari atau tidak menetap secara permanen di Negara penerima, mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum yang ditentukan di dalam Pasal 29 sampai 35, kecuali bahwa kekebalan terhadap yurisdiksi administratif dan sipil Negara penerima di dalam ayat 1 Pasal 31 tidak akan meluas sampai ke perbuatan-perbuatan yang dilakukan diluar pelaksanaan tugas mereka. Mereka juga mendapat hak-hak istimewa di dalam Pasal 36 ayat 1, atas barang-barang yang dimasukkan pada saat pertama kali penempatan mereka.

3. Anggota staf pelayan misi yang bukan warga negara dari atau tidak berdiam menetap di Negara penerima mendapat kekebalan atas perbuatan yang dilakukan di dalam tugas-tugas mereka, pembebasan dari iuran dan pajak atas pembayaran yang diterimanya dari pekerjaannya itu serta pembebasan yang ada di dalam Pasal 33.

4. Pelayan pribadi daripada misi, jika mereka itu bukan warga negara atau tidak berdiam menetap di Negara penerima, mendapat pembebasan dari iuran dan pajak atas pembayaran yang diterimanya dari kerjanya itu. Di dalam hal lain, mereka hanya mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum seluas yang diakui oleh Negara penerima. Namun demikian, Negara penerima harus melakukan yurisdiksinya atas orang-orang itu sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri secara tidak sah pelaksanaan fungsi-fungsi misi.

Pasal 38
1. Kecuali sejauh hak-hak istimewa dan kekebalan hukum tambahan dapat diberikan oleh Negara penerima, seorang agen diplomatik yang berkewarganegaraan dari atau yang secara permanen menetap di dalam Negara penerima mendapat hanya kekebalan terhadap yurisdiksi, dan inviolabilitas, atas perbuatan resmi yang dilakukan dalam fungsi-fungsinya.

2. Anggota lainnya dari staf misi dan pelayan-pelayan pribadi yang berkewarganegaraan dari atau berdiam menetap di Negara penerima mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum hanya sejauh yang diakui oleh Negara penerima. Namun demikian Negara penerima harus melakukan yurisdiksi atas orang-orang tersebut sedemikian rupa sehingga tidak akan mencampuri secara tidak sah pelaksanaan fungsi-fungsi misi.

Pasal 39
1. Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau kementerian lainnya yang disetujui.

2. Kalau fungsi-fungsi dari orang yang mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu berakhir, hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu akan berakhir secara normal pada saat ia meninggalkan Negara itu, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang layak untuk demikian, namun akan tetap ada sampai saat tersebut, bahkan di dalam keadaan terjadinya konflik bersenjata. Meskipun begitu, terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang ini di dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya sebagai seorang anggota misi, kekebalan akan terus ada .........

Pasal 40
1. Jika seorang agen diplomatik melewati atau berada di dalam teritorial suatu Negara ketiga, yang telah memberinya visa paspor jika visa demikian ini perlu, untuk menuju ke posnya atau kembali ke posnya, atau pada saat kembali ke negaranya, Negara ketiga harus memberinya inviolabilitas dan kekebalan lainnya yang diperlukan untuk menjamin transitnya atau perjalanan pulangnya. Hal yang sama berlaku pula dalam hal seorang anggota keluarganya yang mendapat hak-hak istimewa dan kekebalan hukum menyertai agen diplomatik tersebut, atau bepergian secara terpisah untuk mengikutinya atau untuk kembali ke Negara mereka. 

2. Dalam hal-hal yang sama dengan yang disebutkan di dalam ayat 1 pasal ini, Negara ketiga tidak boleh mengganggu lewatnya staf administratif dan teknik atau staf pelayan daripada misi, dan anggota-anggota keluarganya, melalui wilayahnya.

3. Terhadap korespondensi resmi dan komunikasi resmi lainnya di dalam transit, termasuk pula pesan-pesan dengan kode atau sandi, Negara ketiga harus memberikan kemerdekaan dan perlindungan yang sama seperti yang diberikan oleh Negara penerima. Kepada kurir diplomatik yang telah diberikan visa paspor jika visa demikian diperlukan, dan tas-tas diplomatik di dalam transit itu, Negara ketiga memberikan inviolabilitas dan perlindungan seperti yang Negara penerima misi itu terikat untuk memberikannya. 

4. Kewajiban Negara ketiga di bawah ayat 1, 2 dan 3 pasal ini juga berlaku untuk orang-orang yang disebutkan masing-masing di dalam ayat-ayat itu, dan untuk komunikasi resmi serta tas-tas diplomatic yang keberadaannya di dalam wilayah Negara ketiga itu disebabkan karena force majeure.

Pasal 41
1. Tanpa merugikan hak-hak istimewa dan kekebalan hukum mereka itu, adalah menjadi kewajiban semua orang yang menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan hukum itu untuk menghormati hukum dan peraturan Negara penerima. Mereka juga berkewajiban tidak mencampuri masalah dalam negeri Negara penerima tersebut ..............
3. Gedung misi tidak boleh dipergunakan dalam cara yang tidak selaras dengan fungsi misi sebagaimana yang dituangkan di dalam Konvensi ini atau oleh aturan-aturan umum hukum internasional atau oleh perjanjian khusus yang berlaku di antara Negara pengirim dan Negara penerima.

Pasal 45
Jika hubungan diplomatik terputus di antara dua Negara, atau jika suatu misi dipanggil kembali untuk sementara atau seterusnya :
(a). Negara penerima harus, bahkan pada saat terjadinya konflik bersenjata, menghormati dan melindungi misi, bersama-sama dengan barang-barangnya dan arsip-arsipnya;
(b). Negara pengirim boleh mempercayakan pemeliharaan gedung misi, bersama-sama dengan barang-barang dan arsip-arsipnya, kepada suatu Negara ketiga yang dapat diterima oleh Negara penerima;
(c). Negara pengirim boleh mempercayakan perlindungan atas kepentingan-kepentingannya dan kepentingan-kepentingan warganegara-warganegaranya kepada suatu Negara ketiga yang dapat diterima oleh Negara pengirim.
Pasal 47
1. Di dalam penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, Negara penerima tidak boleh mendiskriminasikan antara Negara-negara :
2. Namun demikian, diskriminasi tidak akan dianggap terjadi :
(a) Di mana Negara penerima menerapkan sesuatu ketentuan Konvensi ini secara terbatas disebabkan oleh penerapan yang terbatas ketentuan-ketentuan tersebut terhadap misinya di dalam Negara pengirim;
(b) Di mana karena kebiasaan atau karena perjanjian Negara-negara memperluas kepada mereka satu sama lainnya suatu perlakuan yang lebih mengutamakan (menguntungkan daripada yang disyaratkan oleh ketentuan-ketentuan Konvensi ini).

Catatan :
1. Konvensi telah diadopsi pada Konferensi PBB mengenai hubungan diplomatik dan immunitas di Viena Tahun 1961. 

2. Yurisdiksi kekebalan. Pada tahun 1985, terdapat 45.000 agen diplomatik di London, 15.000 diantaranya yang berhak atas kekebalan yurisdiksi. Pasal 37 (2) dari konvensi, immunitas dari staff administratif dan teknik. Merupakan subjek dari kesepakatan di Vienna. Beberapa negara telah membuat beberapa negara telah membuat persyaratan setuju untuk mengizinkan kekebalan hanya diberikan dengan syarat timbal-balik dan beberapa negara telah membuat persyaratan tidak menerima sama sekali. 

3. Pembatalan kekebalan. Sebuah resolusi yang diadopsi di Vienna merekomendasikan :
“Negara pengirim harus membatalkan kekebalan anggota misi diplomatiknya terkait dengan klaim perdata atas orang-orang di negara penerima ketika ini bisa dilakukan tanpa menghambat dijalankannya fungsi misi itu, dan bahwa ketika kekebalan tidak dibatalkan, negara pengirim harus melakukan upaya terbaik untuk menyelesaikan secara adil permasalahan klaim itu”.

4. Misi dari alasan yang tidak dapat diganggu gugat. Suatu amandemen terhadap Konvensi untuk permintaan atasan pada misi untuk bekerja sama dengan kewenangan lokal dalam kasus kebakaran, epidemic atau keadaan darurat ekstrim lainnya, yang tidak diadopsi pada Vienna. Dalam Komisi Hukum Internasional telah disarankan bahwa lebih susah yang dipikirkan yaitu suatu misi atasan yang ingin menjatuhkan untuk kerjasama pada keadaan darurat dan bahwa ada sanksi yang pernyataannya persona non grata akan tersedia jika dia melakukannya. 

5. Perlindungan dari tempat misi, "kewajiban khusus" untuk melindungi bangunan dari misi yang ditetapkan dalam Pasal 22 dari konvensi sudah terbentuk dengan baik dalam kebiasaan dan hukum internasional sangat penting saat ini ketika membuktikan tempat nyaman pengaturan untuk demonstrasi politik.

6. Kebebasan komunikasi. Sebelum Konvensi Tahun 1961, "itu sudah secara pasti diterima praktek internasional, dan mungkin Hukum Internasional, bahwa dalam kasus-kasus luar biasa di mana negara penerima memiliki alasan untuk mencurigai penyalahgunaan" dia memiliki hak bertentangan sehubungan dengan Kantong Diplomatik. 

7. Dasarkeistimewaandiplomatik.Dalamkomentaritu Draft PasalKomisiHukumInternasional, menyatakan:
a.Termasuk teori-teori yang sudah memanfaatkan pengaruhnya pada perkembangan diplomatik dan immunitas, komisi menyebutnya teori ‘exterritorialitas’ berdasarkan bangunan misi yang mewakili sedikit perluasan wilayah pengiriman negara.
b.Sekarang ada tiga teori muncul terkenal di masa-masa modern, namanya, teori ‘kebutuhan fungsional’ yang membenarkan hak istimewa dan hak immunitas yang memungkinkan misi itu untuk menjalankan fungsinya.
c.Komisi diarahkan oleh tiga teori ini dalam menyelesaikan masalahnya dimana praktik tidak memberikan petunjuk yang jelas, ketika membawa pemikiran-pemikiran karakter representative pada kepala misi itu dan pada misi itu sendiri.

DIPLOMATIK AS DAN STAF KONSULER DALAM KASUS TEHERAN
U.S vs IRAN
Laporan ICJ 1980
Pada tanggal 4 Nopember 1979, ratusan pelajar Iran dan para pendemo lain mengambil alih Kedutaan Besar AS di Teheran secara paksa. Mereka memprotes ijin persaksian Shah Iran ke AS atas perlakuan medisnya. Para pendemo tidak dihalang-halangi oleh petugas keamanan Iran yang “sederhananya tidak muncul pada kejadian itu”......

Konsulat AS diberbagai tempat di Iran semuanya sibuk. Para demonstran masih melakukan pendudukan dan menghakimi/memprotes Konsulat AS atas dasar suatu putusan. Mereka telah merebut arsip dan dokumen-dokumen dan terus menahan 52 warga negara Amerika Serikat (perempuan dan orang kulit hitam telah dibebaskan) 50 orang staf diplomatik atau konsuler, dua orang warga negara sipil. 

Dalam putusan sebelumnya, pengadilan telah menunjukkan langkah-langkah sementara atas permintaan AS dalam putusan, pengadilan memutuskan pada permintaan AS bagi sebuah deklarasi bahwa Iran melanggar sejumlah perjanjian, termasuk tahun 1961 dan 1963 Konvensi Wina tentang diplomatik dan hubungan konsuler. Hal ini juga meminta pernyataan menyerukan pembebasan para sandera, evakuasi kedutaan dan konsulat, hukuman dari orang yang bertanggung jawab dan pembayaran ganti rugi kerusakan. Pada April 1980, untuk sementara kasus itu tertunda, pasukan militer AS memasuki Iran melalui udara dan mendarat di wilayah padang pasir terpencil dalam perjalanan dari upaya untuk menyelamatkan para sandera. Usaha ini ditinggalkan karena kegagalan peralatan. Personil militer AS tewas dalam tabrakan udara dan sebagian unit mundur. Tidak ada kerusakan maupun cedera atas fasilitas umum di Iran.

Putusan Pengadilan
Kejadian-kejadian yang merupakan subjek klaim Amerika Serikat jatuh ke dalam dua fase ....
57. Pertama .... mencakup serangan bersenjata di Kedutaan Besar Amerika oleh militan pada 4 November 1979 …..
69. Tahap kedua peristiwa ... terdiri dari seluruh rangkaian fakta-fakta yang terjadi setelah selesainya pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat oleh kaum militan, dan penyitaan dari Konsulat di Tabriz dan Shiraz. Pendudukan telah terjadi dan personel diplomatik dan konsuler dari misi Amerika Serikat yang telah disandera, diperlukan tindakan dari pemerintah Iran dengan Konvensi Wina dan oleh hukum umum internasional yang nyata.
70. Demikianlah tidak ada langkah yang diambil oleh pemerintahan rakyat Iran.
……
95. Untuk alasan-alasan ini, Pengadilan 2 berbanding 13 suara
Memutuskan bahwa Republik Islam Iran telah melanggar kewajiban-kewajibannya kepada Amerika Serikat dibawah konvensi-konvensi internasional yang berlaku diantara dua negara, serta dibawah aturan-aturan umum hukum internasional yang telah lama dilaksanakan.

Catatan :
Pengadilan juga memutuskan (i )dengan suara bulat, bahwa Iran harus dengan segera mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan situasi hasil dari kejadian 4 November 1979 termasuk melepaskan sandera-sandera dan mengembalikan gedung beserta halamannya, dokumen-dokumen dan lain-lain kepada AS (ii)dengan 3 dari 12 suara bahwa Iran berkewajiban untuk membuat persiapan kepada AS. Iran, yang mana berperan dalam kemunduran laporan kerja, tidak mematuhi Putusan Pengadilan dengan rasa hormat. Sandera-sandera akhirnya dilepaskan pada Januari 1981 sebagai hasil penyelesaian yang dinegosiasikan dengan AS. 

UU HAK-HAK ISTIMEWA DIPLOMATIK 1964
1. ......
7. ...... (1) Di mana perjanjian khusus atau susunan antara Pemerintah Negara manapun dan Pemerintah Kerajaan Inggris yang berlaku pada saat dimulainya Undang-Undang ini menyediakan untuk perpanjangan ….
(a) Kekebalan dari yurisdiksi dan dari penangkapan atau penahanan, dan tidak dapat diganggu gugat dalam hal tempat tinggal, seperti yang diberikan oleh UU ini pada agen diplomatik atau
(b) pembebasan dari bea cukai, pajak, dan biaya terkait seperti yang diberikan oleh Undang-Undang ini sehubungan dengan untuk penggunaan pribadi agen diplomatik;
Untuk beberapa kelas person, atau untuk ketentuan penggunaan pribadi kelas person, dihubungkan dengan misi Negara, bahwa kekebalan dan tidak dapat diganggu gugat atau pengecualian akan begitu luas, asalkan perjanjian atau pengaturan terus berlaku. 

EMPSON v SMITH
(1966) 1 T. B. 426. Pengadilan Banding
Tahun 1963, penggugat membawa perkara ke pengadilan negara terhadap tergugat atas pelanggaran dari sebuah perjanjian sewa-menyewa. Tindakan itu dipertahankan setelah Departemen Hubungan Persemakmuran menyatakan bahwa tergugat adalah seorang pegawai administrasi yang dipekerjakan oleh Komisaris Tinggi untuk Kanada. Pada Desember 1964, pengajuan oleh penggugat, yang dibuat pada Agustus 1964, untuk penundaan dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, bersama-sama dengan pengajuan oleh tergugat untuk memiliki surat perintah, yang dibuat pada bulan November 1964, ditolak sebagai suatu pembatalan. Pada waktu itu Undang-Undang Perlindungan Diplomatik telah mulai berlaku, pada tanggal 1 Oktober 1964. Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan tergugat. Penggugat ke Pengadilan Tinggi. 

Ketika perbuatan itu dimulai pada bulan Maret 1963, tergugat berhak di bawah bagian 1 (1) (a) dari Undang-Undang tahun 1952 "kekebalan dari pengajuan gugatan dan proses hukum seperti yang diberikan kepada anggota staf resmi seorang utusan dari kekuasaan kedaulatan asing”. Dengan demikian, dia berhak selama ia tetap en poste untuk menyelesaikan immunitas dari gugatan perdata di Kerajaan Inggris, baik sebagai tindakan yang dilakukan dalam kapasitas atas nama pejabat pemerintah maupun menghormati tindakan yang dilakukan dalam kapasitas pribadi ......

Jika tergugat diberlakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Diplomatik tahun 1964, tindakan penggugat diberhentikan di sana karena tidak ada jawaban atas permohonannya. Tapi dia menunda hingga November 1964. Pada tanggal itu hak kekebalannya dari perdata telah dibatasi oleh UU yang berlaku di Kerajaan Inggris berdasarkan ketentuan-ketentuan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik 1961, terdapat dalam UU. Akibat dari penggabungan Pasal 31 dan 37 Konvensi dalam kekebalan misi anggota staf administratif dan staf teknis dari yurisdiksi pengadilan Kerajaan Inggris tidak mencakup tindakan yang dilakukan di luar saja dari tugasnya. Apakah ia berhak untuk immunitas dalam gugatan tertentu tidak lagi tergantung hanya pada statusnya, tetapi juga pada subjek masalah gugatan. 

Ini adalah hukum dasar bahwa kekebalan diplomatik tidak kebal dari tanggung jawab hukum tetapi kebal dari gugatan. Jika otoritas yang diperlukan untuk hal ini, dapat ditemukan dalam Dickinson v. Del Solar ... Statuta yang berkaitan dengan kekebalan diplomatik dari prosedural perdata adalah prosedural statuta. 

Peraturan tentang Hak-Hak Pribadi (Hak Privat) tahun 1964, berlaku untuk tuntutan setelah tanggal undang-undang yang diberlakukan sehubungan dengan tindakan yang dilakukan sebelum tanggal tersebut. Karena itu, jika penggugat telah mengeluarkan keluhannya setelah 1 Oktober 1964, bukan sebelumnya, tindakan itu tidak dapat ditolak atas dasar hak istimewa diplomatik kecuali dan sampai pengadilan telah memutuskan masalah : “apakah tindakan tergugat tentang dugaan oleh penggugat yang merupakan penyebab dilakukan tindakan di luar tugasnya sah”. Hal tersebut seyogyanya dapat diperdebatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh tergugat dalam hubungan dengan sewa-menyewa tempat tinggal pribadinya di London yang dilakukan oleh dia di luar tugas. Namun ini merupakan salah satu yang dapat diputuskan hanya kepada bukti. 

Hakim pengadilan merasa tidak perlu untuk memahaminya secara mendalam. Dia menolak tindakan penggugat atas alasan-alasan lain. Ia mengambil pandangan bahwa "adalah proses pembatalan pada saat memulai, mereka tidak terpengaruh oleh peraturan tahun 1964 yang mulai berlaku kemudian".

Hakim pengadilan tidak mengacu pada bagian 3 dari tindakan Keistimewaan Diplomatik, tapi pengacara tergugat di pengadilan sangat bergantung pada hal itu untuk mendukung dalil bahwa pengaduan Mrs Empson's itu batal ab initio. Tindakan Anne .... Telah berulang kali dianggap menerangkan hukum yang umum terjadi, dan oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan hukum umum yang dan hukum negara harus dianggap sebagai bagian lain. Diputuskan dalam Re Suarez bahwa terlepas bahwa tindakan surat perintah yang dikeluarkan di Pengadilan Tinggi terhadap seorang Duta Besar tidak batal ab initio. Kalau begitu, memang, mungkin bagi yang pernah hak untuk dibebaskan, seperti yang memutuskan dalam Kahan Federasi Pakistan tidak boleh ada surat pernyataan efektif sampai pengadilan benar-benar melakukan proses. Pembatalan adalah suatu usaha tidak diberikan kepada pihak lainnya dalam persidangan, tetapi ke pengadilan itu sendiri dapat efektif diberikan hanya setelah proses telah dimulai. Kasus Kahan adalah salah satu immunitas negara, tetapi diselesaikan dengan baik kekebalan diplomatik yang diatur oleh prinsip-prinsip yang sama ini diklaim oleh kepala misi atas nama negara. 

Maka karena itu, sampai langkah-langkah yang diambil untuk menyisihkan atau untuk mengabaikan tindakan pengaduan penggugat bukan ketidaksahan : itu adalah pengaduan yang valid. Jika tergugat itu, dengan izin dari Komisaris Tinggi, tampaknya sebelum 1 Oktober 1964, prosedural penghalang untuk sidang akan dihapus.

Catatan :
1. Pertanyaan apakah pelanggaran dari perjanjian sewa-menyewa oleh tergugat adalah sebuah tindakan "yang dilakukan di luar tugas" soal fakta dengan sertifikat yang seorang eksekutif bisa ditangani dan yang di atasnya seperti sertifikat akan meyakinkan di bawah bagian 4 dari Undang-Undang Hak Istimewa Diplomatik ?
2. Empson V Smith menunjukkan satu hal di mana perubahan UU tahun 1964 hukum Inggris sebelumnya dalam kekebalan diplomatik. Memiliki aturan berikut pra-1964 juga telah berubah :
• Bahwa seorang agen diplomatik dapat mengklaim kekebalan dalam tindakan sipil untuk pembayaran bunga pada penduduk pribadinya.
• Bahwa seorang agen diplomatik dapat mengklaim kekebalan dalam aksi sipil mengenai pribadinya kegiatan komersialnya.
• Bahwa negara Inggris diakreditasi sebagai agen diplomatik untuk sebuah misi asing di Inggris Raya memiliki kekebalan dari barang pembayaran non tarif kecuali sebaliknya telah ditunjukkan oleh Pemerintah Inggris ketika dia diterima.

Senin, 02 April 2012

ZONASI PENGUKURAN LAUT DALAM UNCLOS

ZONASI PENGUKURAN LAUT DALAM UNCLOS 

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United  Nations Convention on the Law of the Sea)
Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. 

Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi danaksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Prinsip-Prinsip Pengukuran Laut
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1). 

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.

Sejarah Rezim-rezim Hukum Laut.
Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut yaitu adalah Negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis.
• Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.
• Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara.
• Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2. Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran, b. Kebebasan menangkap ikan, c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
·     Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
·         Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan LigaBangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi Negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.

Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
 
Dasar Hukum Laut Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut,yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.

Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.

Pada konferensi Hukul Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional. Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982, yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu:
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan danlaut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada dizona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia.