MAKALAH
PEMBENTUKAN
KOMISI KONSTITUSI SEBAGAI UPAYA PENGUATAN UUD 1945
Disusun
Oleh :
Muhammad
Nur
B
111 10 467
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2012
KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kepada Allah SWT sebagai
pencipta dan pengatur kehidupan di dunia, karena hanya dengan
berkat, rahmat, dan karunia-Nyalah kami
dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan salam
juga kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, junjungan umat Islam, pembawa kebenaran di muka bumi. Terima kasih pula kepada teman-teman di fakultas hukum
Universitas Hasanuddin yang telah memberikan sumbangsih sehingga makalah ini
dapat selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini merupakan sebuah tugas dalam mata kuliah
Hukum Konstitusi yang dibuat oleh penulis guna menunjang proses belajar di
perguruan tinggi yang kini tengah dijalani oleh penulis. Adapun judul makalah
ini adalah “Pembentukan Komisi Konstitusi Sebagai Upaya Penguatan UUD 1945”. Di
dalam makalah ini dijelaskan tentang konstitusi yang berlaku di Indonesia serta
perubahan konstitusi yang telah berlangsung beberapa kali serta
kelemahan-kelemahan yang timbul pasca amandemen tersebut. Selain itu solusi
tentang pembentukan Komisi Konstitusi juga akan dibahas secara lebih jelas
lagi. Sebagai mahasiswa hukum sudah menjadi kewajiban bagi penulis untuk lebih
memahami tentang konstitusi yang menjadi dasar hukum di negeri ini. Pemahaman
tentang konstitusi akan berdampak pula pada pemahaman filosofi hukum yang
berlaku di Indonesia. Oleh karena itu dengan pembuatan makalah ini, penulis
berharap pemahaman penulis serta pembaca tentang konstitusi di Indonesia akan
lebih baik.
Terlepas
dari berbagai kesalahan dan
kekurangan dalam makalah ini, penulis sangat berharap agar makalah ini dapat
membantu dalam memahami lebih jauh konstitusi di negeri ini. Sekian dan terima
kasih.
Makassar, 25 Maret 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa
yang masih muda dalam menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi
negaranya. Landasan berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri beberapa
minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya masyarakat
Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga
Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara
yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari
sila keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara
utuh didalamnya. Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem
perwakilan, untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya
tanggal 01 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip
kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo
yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah
dengan istilah Badan Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip
kekeluargaan, dimana setiap anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo
menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis
Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil
rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis
Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada
acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amandemen).
Salah satu wewenang MPR hingga saat ini yaitu mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, anggota MPR
tidak dapat mengusulkan pengubahan terhadap Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Usul
pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diajukan oleh sekurang-kurangnya
1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota MPR. Setiap usul pengubahan diajukan
secara tertulis dengan menunjukkan secara jelas pasal yang diusulkan diubah
beserta alasannya.
Usul
pengubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diajukan
kepada pimpinan MPR. Setelah menerima usul pengubahan, pimpinan MPR memeriksa
kelengkapan persyaratannya, yaitu jumlah pengusul dan pasal yang diusulkan
diubah yang disertai alasan pengubahan yang paling lama dilakukan selama 30
(tiga puluh) hari sejak usul diterima pimpinan MPR. Dalam pemeriksaan, pimpinan
MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan pimpinan Kelompok Anggota MPR
untuk membahas kelengkapan persyaratan.
Jika usul
pengubahan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR memberitahukan penolakan usul pengubahan
secara tertulis kepada pihak pengusul beserta alasannya. Namun, jika pengubahan dinyatakan oleh pimpinan MPR
memenuhi kelengkapan persyaratan, pimpinan MPR wajib menyelenggarakan sidang
paripurna MPR paling lambat 60 (enam puluh) hari. Anggota MPR menerima salinan
usul pengubahan yang telah memenuhi kelengkapan persyaratan paling lambat 14
(empat belas) hari sebelum dilaksanakan sidang paripurna MPR.
Sidang
paripurna MPR dapat memutuskan pengubahan pasal Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% (lima
puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota.
Selama kurun waktu sejak negara ini
berdiri, UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan (amandemen). Namun
amandemen yang sejatinya menutupi kelemahan yang ada sebelumnya malah menciptakan
kelemahan-kelemahan baru. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat UUD 1945
merupakan salah satu pondasi hukum terpenting negara ini. Jika pondasi ini
bermasalah maka tentu saja bisa mengakibatkan kekacauan yang berakibat fatal
bagi keberlangsungan bangsa ini. Oleh karena diperlukan sebuah solusi untuk
mencegah hal ini kembali terjadi dimasa mendatang.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam
tulisan ini yaitu :
1. Apakah kelemahan UUD 1945 Pasca-empat kali
amandemen selama ini?
2. Bagaimana urgensi pembentukan Komisi
Konstitusi sebagai upaya memperkuat UUD 1945?
Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah:
1.
Menjelaskan
tentang kelemahan UUD 1945 Pasca-empat kali amandemen.
2. Menjelaskan urgensi pembentukan Komisi Konstitusi
sebagai upaya penguatan UUD 1945.
Adapun manfaat
penulisan makalah ini adalah:
1.
Memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang kelemahan UUD 1945 Pasca-empat kali amandemen.
2. Memberikan pemahaman kepada pembaca
tentang urgensi pembentukan Komisi Konstitusi sebagai upaya penguatan UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
Amandemen UUD 1945
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum
dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya
suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum
lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan
negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat
membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi
suatu negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan
dalam konstitusinya.
Adakalanya keinginan rakyat untuk
mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur dalam
konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi
rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai
perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian
rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan
bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau pun
keinginan dari sekelompok orang belaka.
Sejak Proklamasi hingga sekarang
telah berlaku tiga macam Undang-undang Dasar dalam delapan periode yaitu :
- Periode 18 Agustus 1945 – 27 desember 1949
- Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
- Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
- Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober
- Periode 19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000
- Periode 18 Agustus 2000 – 9 November 2001
- Periode 9 November 2001 – 10 Agustus 2002
- Periode 10 Agustus 2002 – sampai sekarang
Undang-undang
Dasar 1945 (UUD 1945) ditetapkan dan disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. UUD 1945 terdiri dari :
- Pembukaan (4 alinea) yang pada alinea ke-4tercantum dasar negara yaitu Pancasila;
- Batang Tubuh (isi) yang meliputi :
1. 16 Bab;
2. 37 Pasal
3. 4 aturan peralihan;
4. 2 Aturan Tambahan.
UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) pada 27 Desember 1949, pada 17
Agustus 1950 Konstitusi RIS digantikan oleh Undang-undang Dasar Sementara 1950
(UUDS 1950). Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku
kembali di Indonesia hingga saat ini. Hingga tanggal 10 Agustus 2002, UUD 1945
telah empat kali diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Perubahan UUD 1945 dilakukan pada :
1. Perubahan I diadakan pada tanggal 19 Oktober 1999; Pada amandemen ini, pasal-pasal UUD
1945 yang diubah ialah 9 pasal yaitu: Pasal 5 ayat (1), 7, 9 ayat (1) dan (2),
13 ayat (2) dan (3),14 ayat (1) dan (2), 15, 17 ayat (2) dan (3), 20 ayat (1),
(2), (3) dan (4), 21 ayat (1). Beberapa perubahan yang penting adalah :
a. Pasal 5
ayat (1) berbunyi : Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan DPR;
Diubah
menjadi : Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada DPR.
b. Pasal 7
berbunyi : Presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali;
Diubah
menjadi : Preseiden dan wakil presiden
memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
c. Pasal 14
berbunyi : Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi
Diubah
menjadi :
(1) Presiden memberi grasi dan
rehabili dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung;
(2) Presiden memberi Amnesti dan
Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
d. Pasal
20 ayat 1 : Tiap-tiap Undang-udang menhendaki persetujuan DPR;
Diubah
menjadi : DPR memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang.
2.
Perubahan II diadakan pada tanggal 18 Agustus 2000;
Pada amandemen II ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah ialah
24 pasal yaitu: Pasal 18 ayat (1) s/d (7), 18A ayar (1) dan (2), 18B ayat (1)
dan (2), 19 ayat (1) s/d (3), 20 ayat (5), 20A ayat (1) s/d (4), 22A, SSB, 25A,
26 ayat (2) dan (3), 27 ayat (3), 28A, 28B ayat (1) dan (2), 28D ayat (1) s/d
(4), 28E ayat (1) s/d (3), 28F, 28G ayat (1) dan (2), 28H ayat (1) s/d (4), 28I
ayat (1) s/d (5), 28J ayat (1) dan (2), 30 ayat (1) s/d (5), 36A, 36B, 36C.
Beberapa perubahan yang penting
adalah :
a. Pasal
20 berbunyi : Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan DPR;
Diubah
menjadi : Pasal 20A; DPR memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
b. Pasal
26 ayat (2) berbunyi : Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan Negara
ditetapkan dengan Undang-undang Diubah
menjadi : Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan
orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
c. Pasal
28 memuat 3 hak asasi manusia diperluas menjadi 13 hak asasi manusia.
3.
Perubahan III diadakan pada tanggal 9 November 2001;
Pada amandemen III ini, pasal-pasal UUD 1945 yang diubah
ialah 19 pasal yaitu: Pasal 1 ayat (2) dan (3), 3 ayat (1) s/d (3), 6 ayat (1)
s/d (3), 6A ayat (1), (2), (3) dan (5), 7A, 7B ayat (1) s/d (7), 7C, 8 ayat (1)
s/d (3), 11 ayat (2) dan (3), 17 ayat (4), 22C ayat (1) s/d (4), 22D ayat (1)
s/d (4), 22E ayat (1) s/d (3), 23F ayat (1) dan (2), 23G ayat (1) dan (2), 24
ayat (1) dan (2), 24A ayat (1) s/d (5), 24B ayat (1) s/d (4), 24C ayat (1) s/d
(6). Beberapa perubahan yang penting adalah :
a. Pasal 1
ayat (2) berbunyi : Kedaulatan adalah ditanag rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh MPR
Diubah
menjadi : Kedaulatan berada di tanagn
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD
b.
Ditambah Pasal 6A : Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat
c. Pasal 8
ayat (1) berbunyi : Presiden ialah orang Indonesai asli;
Diubah
menjadi : Calon Presiden dan wakil
Presiden harus warga negara Indonesia
sejak kelahirannya
d. Pasal
24 tentang kekuasaan kehakiman ditambah:
1. Pasal 24B: Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
2. Pasal 24C : mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap UUD (dan menurut amandemen IV) UUD
1945, Komisi dan Konstitusi ditetapkan dengan ketentuan MPR bertugas mengkaji
ulang keempat amandemen UUD 1945 pada tahun 2003
4.
Perubahan IV diadakan pada tanggal 10 Agustus 2002 Pada amandemen IV ini, pasal-pasal
UUD 1945 yang diubah ialah 17 pasal yaitu: pasal-pasal : 2 ayat (1), 6A ayat
(4), 8 ayat (3), 11 ayat (1), 16 23B, 23D, 24 ayat (3), 31 ayat (1) s/d (5), 32
ayat (1) dan (2), 33 ayat (4) dan (5), 34 ayat (1) s/d (4), 37 ayat (1) s/d
(5), Aturan Peralihan Pasal I s/d III, aturan Tambahan pasal I dan II. Beberapa
perubahan yang penting adalah :
a. Pasal 2
ayat (1) berbunyi : MPR terdiri atas anggota-anggota dan golongan-golongan
menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang;
Diubah
menjadi : MPR terdiri atas anggota DPR
dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
b. Bab IV
pasal 16 tetang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dihapus. Diubah menjadi : Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan
yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang
selanjutnya diatur dalam Undang-undang
c. Pasal
29 ayat (1) berbunyi : Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal
ini tetap tidak berubah (walaupun pernah diusulkan penambahan 7 kata : dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya)
d. Aturan
Peralihan Pasal III : Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa amandemen I,II,III dan IV terhadap UUD 1945, maka sejak 10 Agustus 2002
Ketatanegaraan Republik Indonesia telah mengalami perubahan sebagai berikut :
a. Pasal 1
ayat (2): MPR bukan lagi pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia,
melainkan rakyat Indonesia yang memegang kedaulatan, MPR bukan Lembaga
tertinggi Negara lagi. MPR, DPR, dan Presiden yang bertanggung jawab kepada
rakyat melalui Pemilihan Umum. Presiden dan Wakil Presiden yang melangar hukum
tidak akan terpilih dalam pemilihan umum yang akan datang.
b. Pasal 2
ayat (1): MPR terdiri dari :
1. Dewan
Perwakilan Rakyat (House of Representatives : di Amerika Serikat)
2. Dewan
Perwakilan Daerah (Senate : di Amerika Serikat)
MPR
merupakan lembaga yang memiliki dua badan (Bicameral) seperti di Amerika
Serikat; Anggota DPR dipilih dalam pemilihan umum oleh seluruh rakyat,
sedangkan DPD dipilih oleh rakyat di daerah (Provinsi) masing-masing. Dengan
ditetapkannya DPR dan DPD sebagai anggota MPR, maka utusan golongan termasuk TNI/POLRI
dihapuskan dari MPR. Selain itu, MPR bukan lagi
pemegang kedaulatan (kekuasaan tertinggi) di Indonesia, melainkan rakat
Indonesia yang memegang kedaulatan.
c. Pasal 5
ayat (1): Presiden bukan lagi pembentuk undang-undang, tetapi berkedudukan sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Lembaga Eksekutif,
Pemerintahan/Pelaksana Undang-undang)
d. Pasal 6
ayat (1) dan 6A: Presiden Indonesia tidak harus orang Indonesia asli, tetapi
calon Presiden dan Wakil Presiden harus warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya. Presdien dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat
(bukan secara tidak langsung oleh MPR, sedangkan DPR dipilih rakyat)
e. Pasal
7: Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat memegang jabatan selama paling lama
2 x 5 tahun : 10 tahun (dahulu Presiden memegang jabatan selama lebih dari 30
tahun, bahkan seumur hidup).
f. Pasal
14: Presiden memberi :
Grasi
dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
Kelemahan Hasil Amandemen UUD 1945
Setelah empat kali melakukan amandemen UUD 1945, yang
sejatinya dilakukan untuk menutupi kelemahan sebelumnya namun ternyata hasil
dari amandemen tersebut menimbulkan beberapa kelemahan lagi. Hal ini
menyebabkan terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu
kelompok menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya
menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD 1945, dan
kelompok terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
Ada beberapa faktor menyangkut kelemahan
UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama, adanya kekaburan dan inkonsistensi teori dan
materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal
UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan pasal-pasal yang
multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan politik.
Dalam hal ini, Komisi Konstitusi yang dibentuk berdasarkan
Ketetapan MPR No 1/2002 dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan
pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR,
juga menyebutkan hal sama. Setelah bertugas selama tujuh bulan dan
menyerahkan hasil kerjanya, berupa Naskah Kajian Akademis Perubahan UUD NKRI
Tahun 1945 dan Naskah Perubahan UUD NKRI Tahun 1945 kepada Ketua MPR Amien Rais
pada 24 April 2003, Komisi Konstitusi menyatakan terdapat 31 butir kekurangan,
kelemahan, dan ketidaksempurnaan UUD 1945 pasca-amendemen.
Dimulai dengan tawar-menawar atau
bargaining, kompetisi, dan kompromi politik berdasarkan kepentingan politik
fraksi-fraksi di MPR dalam empat kali amandemen UUD 1945. Contohnya ketika MPR
mulai membicarakan lembaga DPD, tanggal 7 November 2001, sebanyak 190 anggota
MPR menyatakan tidak setuju terhadap lembaga DPD. Mereka lebih memilih untuk
tetap pada struktur ketatanegaraan UUD 1945 yang berdasarkan negara kesatuan
dengan sistem satu kamar atau uni-cameral.
Ketidaksetujuan itu disebabkan adanya kekhawatiran bahwa
lembaga DPD akan merubah struktur negara kesatuan menjadi negara federal dengan
sistem dua kamar atau bi-cameral. Padahal, banyak negara kesatuan atau unitary
state di dunia mempunyai sistem perwakilan dua kamar. Lalu, kompromi politik menghasilkan
rumusan Pasal 22D UUD 1945 di mana kewenangan dan kekuasaan DPD, sebagai
spatial representation, tidak seimbang dan bersifat asimetrik dengan kewenangan
DPR. Hal ini disebut sistem dua kamar yang lunak atau soft bi-cameral.
Kewenangan dan kekuasaan DPD, sesuai dengan sistem checks
and balances seharusnya bersifat seimbang dan simetrik dengan DPR dalam sistem
perwakilan dua kamar yang seimbang atau balanced bi-cameral. Dengan pertimbangan bahwa DPD, yang
anggotanya dipilih melalui sistem distrik dengan keanggotaan majemuk atau
multi-member district, dapat menjalankan fungsi integrasi sesuai Sila Ketiga
Pancasila, yakni Persatuan Indonesia, dengan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
daerah dalam koridor NKRI.
Selanjutnya, ketidaksempurnaan UUD 1945 pascaperubahan,
berdasarkan fenomena dominasi kekuasaan DPR atau legislative heavy. Salah satu
bukti adalah Pasal 13 ayat (3) UUD 1945, yakni Presiden menerima penempatan
duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Biasanya kewenangan
menerima duta negara lain adalah domain eksekutif atau Presiden, maka ketentuan
adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi kekuasaan DPR yang telah memasuki
domain Presiden.
Kemudian inkonsistensi dan kekaburan teori UUD 1945 yang
berhubungan dengan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini dapat dilihat dari
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berisikan, “Dalam hal rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
Pasal ini, bersifat inkonsisten dan kabur, sebab dalam
sistem pemerintahan presidensial segenap legislasi (pembuatan UU) merupakan
wewenang badan legislatif. Sehingga Presiden tidak mengambil keputusan terhadap
hasil akhir legislasi walaupun Presiden berhak mengajukan suatu RUU kepada DPR
dan DPD untuk sektor hubungan pusat dan daerah.
Oleh karena itu, Presiden berhak menolak RUU atau hak veto,
dengan ketentuan bahwa bobot keputusan parlemen yang menentukan validitas dari
RUU tersebut. Misalnya, dengan 2/3 dukungan suara di DPR atau 2/3 suara pada
masing-masing kamar untuk menghasilkan rancangan undang-undang yang tidak boleh
ditolak oleh Presiden. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa Pasal 20 ayat (5)
UUD 1945 adalah legislative heavy.
Selanjutnya, masalah penyebutan dengan perubahan atau
amandemen UUD 1945 yang berarti mengubah pasal-pasal tertentu tanpa mengubah
teks asli, tetapi memberi tambahan terhadap pasal-pasal yang sudah ada. Seperti diketahui, setelah dilakukan
perubahan oleh MPR, dari 37 Pasal UUD 1945, ditambah empat pasal Aturan
Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan serta Penjelasan Umum dan Penjelasan
Pasal demi Pasal UUD 1945 yang diputuskan oleh Sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, hanya 6 pasal (sekitar
16,21%) yang belum diubah.
Pasal-pasal tersebut adalah, 1) Pasal 4 tentang Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar; 2) Pasal 10
tentang Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara; 3) Pasal 12 tentang kewenangan Presiden
menyatakan keadaan bahaya; 4) Pasal 22 tentang kewenangan Presiden mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; 5) Pasal 25 tentang syarat-syarat
untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim; dan 6) Pasal 29 tentang
agama.
Sedangkan pasal-pasal yang diubah berjumlah 31 Pasal
(83,79%) ditambah dengan pasal-pasal baru dengan sistem penomoran pasal lama
ditambah huruf A, B, C, D, dan seterusnya beserta ayat-ayat yang baru dalam
pasal-pasal lama. Dengan
pasal-pasal baru yang berjumlah 36 pasal atau 97,30% dari UUD 1945 asli, patut
dipersoalkan bahwa MPR telah mengganti konstitusi lama dengan yang baru, dan
bukan amandemen UUD 1945.
Kemudian, masalah inkonsistensi yang menyangkut bagian mana
dari UUD 1945 pasca-amandemen yang tidak dapat diubah atau dapat diubah dengan
persyaratan tertentu. Dalam
UUD 1945 pasca-amandemen yang tidak dapat diubah adalah hanya bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Hal
ini berarti bahwa terhadap landasan dasar filosofis kehidupan bangsa dan negara
yakni Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, secara teoritis, terbuka penafsiran
untuk dapat diubah sekalipun diperlukan persyaratan sesuai Pasal 37 ayat (1)
UUD 1945, karena Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 tidak mencantumkannya. Sedangkan,
Pembukaan UUD 1945 yang berisikan Pancasila, adalah perjanjian luhur bangsa
atau pacta sunt seranda.
Kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang bersifat
mendasar dari UUD 1945 pasca-amandemen itulah yang menyebabkan UUD 1945 tidak
bisa berlaku sebagai konstitusi yang hidup, yang berlaku puluhan tahun ke depan. Oleh karena
itu dibutuhkan sebuah solusi untuk mencegah kelemahan-kelemahan ini kembali
bermunculan di masa yang akan datang, karena tidak menutup kemungkinan
amandemen UUD 1945 kembali akan dilakukan. Salah satu solusi yang bisa
dilakukan adalah dengan membentuk Komisi Konstitusi dalam membuat draft
konstitusi sebelum dibahas dalam rapat paripurna MPR.
Pembentukan
Komisi Konstitusi Sebagai Upaya Penguatan UUD 1945
Selama ini MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 sebelumnya tidak membuat dan memiliki content
draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan
kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft
yang didasari paradigma yang jelas yang menjadi kerangka (overview) tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan
Negara dengan warga negara, negara dan agama, negara dengan Negara hukum, negara dalam
pluralitasnya, serta negara dengan sejarahnya. Juga eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syaratnya
dan prinsip-prinsipnya serta check
and balancesnya bagaimana dilakukan secara mendalam.
MPR lebih
menekankan perubahan itu dilakukan secara adendum, dengan memakai kerangka
yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-sepotong dan
tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak berani keluar dari kerangka
dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan. Proses Amandemen secara parsial
seperti diatas tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan
kenegaraan yang hendak dibentuk. Sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap
hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara
redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, penetapan
prinsip sistem Presidensial namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukkan sistem
Parlementer yang memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR.
Selain itu MPR yang dikarenakan keanggotaannya terdiri dari
fraksi-fraksi politik menyebabkan dalam setiap pembahasan dan
keputusanamat kental diwarnai oleh kepentingan politik
masing-masing.Fraksi-fraksi politik yang ada lebih mengedepankan kepentingandan
selera politiknya dibandingkan kepentingan bangsa yang lebihluas. Hal ini dapat
dilihat dari pengambilan keputusan finalmengenai Amandemen UUD 1945 dilakukan
oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus
tanpaadanya risalah rapat.
Mengapa hal itu terjadi? Penulis berpendapat, di samping kepentingan
politik fraksi-fraksi di MPR ditambah beberapa faktor seperti minimnya
pengalaman para anggota MPR, juga akibat tidak adanya kerangka acuan dan/atau
naskah akademik yang dipersiapkan dengan matang oleh suatu Tim Pembuat Draft
Amandemen yang
terdiri dari para ahli konstitusi dan ahli-ahli lainnya serta wakil-wakil dari
daerah.
K.C.
Wheare, seorang ahli hukum konstitusi Inggris, menjelaskan tentang arti penting
konstitusi berderajat tertinggi atau supreme constitution. Pada intinya,
kedudukan konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi atau
supremasi. Dasar pertimbangan supremasi konstitusi terdapat beberapa hal,
yakni: 1) konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang Dasar; 2)
konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya
dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk
kepentingan mereka; dan 3) konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang
diakui keabsahannya.
Mencermati
diktum pertama dasar pertimbangan supremasi konstitusi di atas, bahwa untuk
melakukan perubahan UUD 1945 merupakan sesuatu yang bersifat spesifik. Untuk
membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan
kompetensi untuk itu, dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka,
transparan, dan diketahui oleh publik. Jadi perubahan UUD 1945 tidak ditangani
oleh MPR, karena keterlibatan unsur partisan akan menjadikan setiap proses
pembicaraan sebagai wahana untuk mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka
lupa untuk memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan
berbagai konflik. Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah
deserahkan kepada Komisi Konstitusi atau Constitutional
Commission yang independen, sehingga kata “dibuat” dalam diktum pertama
akan terpenuhi.
Sejalan
dengan adanya Komisi Konstitusi, Haysom mengemukakan adanya empat proses
pembuatan konstitusi yang demokratis, yaitu: 1) by a democratically constituted assembly; 2) by a democratically elected parliament; 3) by a popular referendum; dan 4) by
a popularly supported constitutional commission.
Dengan
cara keempat, sebagai salah satu proses pembuatan konstitusi di atas, merupakan
konstitusi yang kokoh bagi suatu negara konstitusional (constitutional state) yang mampu menjamin suatu demokrasi yang
berkelanjutan (a sustainable democracy),
juga harus merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti proses pembuatannya
harus secara demokratis, diterima dan didukung sepenuhnya oleh seluruh komponen
masyarakat dari berbagai aliran dan faham, aspirasi, dan kepentingan.
Untuk
dapat menjalankan tugasnya dengan efektif, Komisi Konstitusi harus memiliki
tugas dan wewenang, yaitu: a) melakukan penyelidikan dalam rangka penyusunan
naskah konstitusi; b) melakukan upaya-upaya untuk memperoleh masukan dari
publik dan lembaga-lembaga negara; c) menyusun masukan di masyarakat menjadi
naskah rancangan konstitusi secara komprehensif untuk disahkan; dan d)
melakukan sosialisasi naskah rancangan konstitusi kepada publik.
Dimasukkannya
tugas dan wewenang Komisi Konstitusi untuk melakukan penyelidikan dalam rangka
penyusunan konstitusi dan untuk merumuskan naskah konstitusi, merupakan tujuan
utama dari pembentukan komisi ini. Tugas dan wewenang untuk melakukan upaya
guna menerima masukan dan sosialisasi naskah pada publik, dimaksudkan untuk
melibatkan secara aktif peran-serta masyarakat dalam penyusunan konstitusi.
Sementara
itu, keanggotaan Komisi Konstitusi harus terdiri atas: 1) pakar dari berbagai
disiplin ilmu; 2) perwakilan dari tiap daerah di Indonesia. Secara keseluruhan,
anggota Komisi Konstitusi haruslah non-partisan, dengan komposisi yang
mencerminkan kesetaraan jender, keadilan agama dan etnis, serta mengakomodasi
unsur dan kepentingan daerah.
Keanggotaan
Komisi Konstitusi di atas, diyakini dapat menjembatani secara optimal mayoritas
kepentingan-kepentingan rakyat Indonesia terhadap materi muatan konstitusi yang
akan dibuat, sekaligus meminimalisasi materi muatan konstitusi yang
berorientasi jangka pendek dan sarat kepentingan sekelompok orang atau
golongan.
Komisi Konstitusi harus mendapatkan legitimasi yang kuat, baik secara konstitusional maupun oleh rakyat, demikian pula hasilnya. Seleksi Ketua dan Angota Komisi Konstitusi – diangkat oleh MPR dalam Sidang Tahunan – melalui proses yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Waktu pelaksanaan seleksi harus memadahi, tidak terlalu singkat, untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Komisi Konstitusi ini diangkat oleh MPR dengan pertimbangan, bahwa MPR merupakan lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, berdasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.
Komisi Konstitusi harus mendapatkan legitimasi yang kuat, baik secara konstitusional maupun oleh rakyat, demikian pula hasilnya. Seleksi Ketua dan Angota Komisi Konstitusi – diangkat oleh MPR dalam Sidang Tahunan – melalui proses yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Waktu pelaksanaan seleksi harus memadahi, tidak terlalu singkat, untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
Komisi Konstitusi ini diangkat oleh MPR dengan pertimbangan, bahwa MPR merupakan lembaga yang berwenang untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, berdasarkan atas ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Setelah empat kali melakukan amandemen UUD
1945, yang sejatinya dilakukan untuk menutupi kelemahan sebelumnya namun
ternyata hasil dari amandemen tersebut menimbulkan beberapa kelemahan lagi. Hal
ini menyebabkan terjadi pengelompokan sikap masyarakat. Satu kelompok
menghendaki UUD 1945 dikembalikan kepada yang asli, kelompok lainnya
menginginkan diadakan lagi perubahan atau amendemen kelima UUD 1945, dan
kelompok terakhir tetap pada UUD 1945 pasca-amendemen.
2.
Ada beberapa
faktor menyangkut kelemahan UUD 1945 pasca-amendemen. Pertama, adanya kekaburan
dan inkonsistensi teori dan materi muatan UUD 1945. Kedua, kekacauan struktur
dan sistematisasi pasal-pasal UUD 1945. Ketiga, ketidaklengkapan konstitusi dan
pasal-pasal yang multi-interpretatif, yang menimbulkan instabilitas hukum dan
politik.
3. Selama ini MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan
UUD 1945 sebelumnya tidak membuat
dan memiliki content draft konstitusi
secara utuh
sebagai langkah awal yang
menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada
publik untuk dibahas dan diperdebatkan.
4. Sebagai
solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah deserahkan kepada Komisi
Konstitusi atau Constitutional Commission
yang independen, sehingga kata “dibuat” dalam diktum “konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat
Undang-Undang Dasar” akan
terpenuhi.
DAFTAR
PUSTAKA
http://pandidikan.blogspot.com/2011/04/sejarah-konstitusi-dan-amandemen-uud.html diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.13 WITA
http://news.detik.com/read/2006/07/12/200512/634568/10/uud-hasil-amandemen-banyak-kelemahan?nd992203605 diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.19 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.27 WITA
http://jakarta45.wordpress.com/2009/08/25/politik-amandemen-kelima-uud-1945/ diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.54 WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Indonesia diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 21.19 WITA
http://www.scribd.com/doc/23377266/makalah-pancasila diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 21.48 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini..