PEMBANGUNAN GULA NASIONAL BERBASIS PENDEKATAN LOCAL CULTURE DI INDONESIA
Oleh : Muhammad Nur
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar
Pendahuluan
Gula merupakan salah satu kebutuhan pangan yang karena
perannya dalam memenuhi kelengkapan kebutuhan pangan,
ditetapkan oleh negara sebagai salah satu komoditas strategis.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
komoditas pangan strategis dan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun
2004, pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam
pengawasan.
Industri pergulaan nasional menarik untuk dikaji mengingat
bahwa komoditas gula menyangkut kebutuhan pokok hidup masyarakat
dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang terletak di
kawasan tropis. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi negara
yang memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil gula
tebu. Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 1930 yang
menjadi tahun pertama dimasa penjajahan, Belanda mulai membangun
industri gula di Indonesia. Pada saat itu produksi tebu mencapai hampir 26 juta
ton dengan luas tanam hampir 200 ribu hektar atau
kira-kira 130,63 ton per hektar pertahun (PSE, 2005). Namun dengan
berjalannya waktu, jumlah produksi gula di Indonesia
mengalami penurunan dan penurunan ini tampak lebih
signifikan pada era pasca nasionalisasi perusahaan-perusahaan
gula milik Belanda oleh pemerintah Indonesia.
Berbagai usaha telah banyak dilakukan oleh
pemerintah setelah kemerdekaan dalam usaha meningkatkan
produktivitas industri gula di Indonesia melalui beberapa kebijakan
terkait pengembangan industri gula nasional, namun produksi nasional selama
ini tidak beranjak meningkat dan justru menurun baik secara
kualitas maupun kuantitas. Banyaknya kebijakan-kebijakan yang
selama ini dirasakan oleh pelaku industry pergulaan, baik
di tingkat petani tebu, pabrik gula, distribusi, dan perdagangan
gula yang saling tumpang tindih tidak terkoordinasi dengan
baik, dan justru menimbulkan situasi yang kontra produktif bagi
pengembangan industri pergulaan nasional.
Peluang terbesar pengembangan industri gula
Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri.
Permintaan gula secara nasional, baik gula putih (white sugar) maupun
gula mentah (raw sugar), dipastikan akan
terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan
minuman. Dengan populasi penduduk 250 juta jiwa dan pertumbuhan 1,25 persen per
tahun, serta pendapatan Rp 27 juta per kapita per tahun (BPS,
2011), total konsumsi gula Indonesia terus melonjak dari 4,15 juta ton tahun
2005 menjadi 5,35 juta ton tahun 2012 (sugaronline.com, 2012). Dengan
pertumbuhan konsumsi 4-5 persen per tahun, maka konsumsi
gula diperkirakan dapat menembus angka 7 juta ton pada tahun 2020.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut, produksi
gula dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 2,5 juta ton atau sekitar 50
persen, sedangkan sisanya dipenuhi dari gula impor. Impor gula tahun 2012
mencapai 2,53 juta ton, meningkat dari 2,43 juta ton tahun 2011, dan
diperkirakan menjadi 2,7 juta ton tahun 2013 dan 3,7 juta ton pada tahun 2020
(FAO, 2011).
Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap
gula impor pemerintah mencanangkan program Swasembada Gula 2009-2014. Dalam
peta jalan (roadmap) 2009-2014, Kementerian Pertanian menetapkan target
swasembada gula pada tahun 2014 sebesar 5,7 juta ton, terdiri atas 2,96 juta
gula kristal putih (GKP) dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi (GKR). Sasaran
swasembada gula sebesar 5,7 juta ton tersebut akan diperoleh dari pabrik gula
(PG) yang ada sebesar 3,57 juta ton, yaitu 2,32 juta ton dari PG BUMN dan 1,25
juta ton PG BUMS. Selain itu, juga harus ada tambahan gula dari pembangunan
10-25 PG baru sebanyak 2,13 juta ton. Akan tetapi, pada September 2012
Kementerian Pertanian terpaksa merevisi target swasembada gula tahun 2014
menjadi hanya 3,1 juta ton. Hal ini berarti terjadi pemangkasan sebanyak 2,6 juta
ton atau 45,6 persen dari target yang ditetapkan sebelumnya. Penyebabnya adalah
tambahan lahan tebu yang direncanakan seluas 300-500 ribu ha hanya tercapai
5.000–6.000 ha, sedangkan revitalisasi dan pembangunan sejumlah PG baru tidak
berjalan. Dengan demikian dapat diduga bahwa industri gula yang ada sekarang tidak
mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang terus meningkat pesat
dari tahun ke tahun.
Dibalik berbagai sumber
persoalan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, mengapa negara agraris sebesar
Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negerinya sendiri? Mengapa
kemandirian gula nasional begitu sulit tercapai? Setelah penulis amati berbagai
fakta dalam tataran pelaksanaan target pemerintah selama ini di lapangan
ternyata ada sumber persoalan dasar yang kurang disadari oleh pemerintah dan berbagai
stake holder terkait pembangunan
produksi gula nasional selama ini, yaitu berkaitan dengan pendekatan yang
digunakan kepada masyarakat khususnya petani tebu sebagai tombak dari kebijakan
tersebut.
Konsep “pembangunan-isme” yang digulirkan secara
intensif pada era setelah Perang Dunia kedua, selama ini lebih condong
menggunakan paradigma dan
pendekatan ekonomi yang terlalu berlebihan, dimana keberhasilan
pembangunan diukur atas indikator-indikator fisik ekonomi belaka.
Dari sisi sosiologi, dapat dikatakan bahwa pendekatan pembangunan tersebut
terlalu didominasi oleh “pendekatan material”, dimana perubahan struktur ekonomi
pedesaan menjadi panduan utama dalam strategi tersebut.
Secara umum, di Indonesia saat ini, aspek kebudayaan
masih belum mewarnai manajemen pembangunan. Sejumlah
agenda dan isu seperti swasembada gula, masih
bergerak di tatarannya yang pragmatis, belum dihadirkan sebagai sebuah gagasan tentang
kesadaran. Dengan kata lain, pendekatan budaya masih berada di wilayahnya yang marjinal
dibanding dominannya pendekatan ekonomi dan politik.
Budaya Lokal (Local
Culture) di Indonesia
Budaya lokal (local culture)
biasanya didefinisikan sebagai
budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila,
budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan
tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal.
Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada
batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk
pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Kemajemukan
budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat
dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak,
Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa
yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai
dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menyebabkan
penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan adat istiadat yang
berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku bangsa
Gayo-Alas di daerah pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang
tinggal di pesisir pantai Aceh.
Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka budaya lokal (local culture) berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan
petunjuk-petunjuk yang dapat digunakan untuk menghadapi dunia nyata, untuk dapat mengembangkan
kehidupan bersama bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman
moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi
kegiatan sehari-hari.
Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam
setiap budaya
lokal merupakan inti
yang hakiki yang ada dalam setiap daerah. Pedoman yang
hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai
budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar
dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung budaya tersebut
yang dinamakan sebagai ”pandangan hidup” (world
view). Yang kedua adalah yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh
kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung budaya tersebut yang dinamakan
”etos” atau ”ethos”.
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan
masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut
untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman.
Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk
bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan
apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan
simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya,
maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau
individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari
para prilakunya.
Budaya Gotong Royong adalah kearifan lokal yang
paling Indonesia. budaya ini adalah ciri khas utama bangsa ini yang melekat di hampir semua elemen budaya lokal bangsa indonesia. Manifestasinya terjabarkan dalam
acara-acara yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Misalnya dalam acara
pernikahan, pembangunan perlengkapan umum seperti tempat ibadah, jalan ataupun
gotong royong di sawah. Kearifan lokal lain yang menjadi
karakteristik paling Indonesia adalah Musyawarah Mufakat. Budaya ini adalah
budaya klasik yang sudah sangat lama diterapkan oleh bangsa ini, bahkan sejak zaman kerajaan di nusantara,
musyawarah mufakat digunakan oleh kerajaan untuk menetapkan keputusan kerajaan
misalnya jadwal tanam padi dan sebagainya. Dalam
perkembangannya digunakan sampai kepada penyelesaian masalah yang krusial dan
penentuan keputusan yang strategis untuk diimplementasikan.
Pendekatan Budaya Lokal (Local Culture Approach) dalam Pembangunan
Untuk membangun kehidupan bernegara dengan tingkat
keragaman masyarakat dan karakteristik geografis yang unik, pemerintah telah
menyusun Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terpadu, menyeluruh,
sistematik, yang tanggap terhadap perkembangan jaman, yang ditetapkan dalam
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN). Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggaraan negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Kemudian dalam pasal 2 dinyatakan pula bahwa tujuan
SPPN adalah:
1. Mendukung
kondisi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar
waktu antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan
dan konsistensi antar perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
4.
Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan
5. Menjamin tercapainya
penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Pendekatan budaya lokal (local cultural approach) dalam
pembangunan merupakan salah satu pendekatan
alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis selama ini. Di Indonesia, pendekatan ini relatif baru, dan
sampai saat ini belum menemukan bentuknya. Strategi
pembangunan dengan pendekatan ekonomi selama ini, secara sepihak
hanya melahirkan mesin produksi ekonomi. Akibatnya, eksistensi manusia kerap
hanya dieksploitasi sebagai penghasil uang karena dianggap sebagai “mesin produksi”.
Karena itu, kebijakan pembangunan perlu menggunakan pendekatan kebudayaan.
Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekadar melahirkan
manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas
yang utuh dengan seluruh dimensinya.
Sejak 1970-an telah timbul diskusi untuk memadukan
antara culture dengan development, yang juga menjadi agenda
UNESCO. Kesadaran ini datang dari kenyataan bahwa model
pembangunan yang diciptakan banyak menghasilkan ketidakpuasan, terutama
karena terlalu sempitnya mendefiniskan pembangunan hanya kepada sesuatu yang
visual, yaitu pembangunan irigasi, pabrik, rumah, serta produksi makanan dan minuman.
Kebudayaan memang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, namun mensyaratkan
perlunya menggeser paradigma dari statis culture yang memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang statis menuju ke progressive
culture.
Pembangunan dapat pula dipandang sebagai sebuah
strategi kebudayaan. Disini dilakukan pengembangan budaya
melalui berbagai institusi yang ada pada level Negara dan
masyarakat. Pendidikan merupakan kunci dalam implementasinya. Pembangunan dengan
menggunakan strategi kebudayaan dapat dimaknai sebagai “… that set of capacities that allows groups, communities and nations to
define their futures in an integrated manner”
Soedjatmoko (1983) pernah membahas, bahwa
pembangunan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah
kebudayaan (economic development as cultural problem). Disini kebudayaan diartikan sebagai pertautan
etika kerja dan nilai-nilai kerjasama. Menjadikan kebudayaan
sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi telah dibahas mendalam dalam
ilmu sejarah, antorpologi, dan sosiologi. Misalnya Gunnar Myrdal (1972) yang
pada tahun 1960-an membandingkan antara “negara lembek”
dengan “negara keras”. Negara lembek adalah negara yang kaya
sumberdaya alam namun gagal dalam pembangunan, seperti Brazil
dan Indonesia. Sedangkan negara keras adalah negara posisinya tidak strategis
dan juga miskin sumberdaya alam namun sukses, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan,
dan Singapura.
Urgensi pendekatan kultural dalam pembangunan bidang pertanian terlihat dari penempatan
aspek kultural sebagai bagian penting dalam pembangunan bidang pertanian khususnya perkebunan tebu. Pendekatan ini sudah
selayaknya diterapkan sebagai konsep pembangunan di bidang apapun di negeri ini
mengingat kemajemukan penduduk Indonesia yang masih kental menjunjung
kebudayaannya masing-masing. Memahami budaya lokal penduduk di setiap daerah
akan membuka peluang pendekatan yang lebih emosional dalam rangka pembangunan
dalam skala nasional. Isu gula selama ini hanya dibawa ke tataran isu nasional
yang memberi kesan menjadi tanggungjawab pemerintah saja sehingga kurang
mendapat respon dari masyarakat. Melalui pendekatan budaya lokal maka isu gula
ini kemudian diperhadapkan kepada masyarakat sebagai isu lokal yang dihadapi di
setiap daerah sehingga pada akhirnya akan menciptakan kesadaran kolektif
masyarakat untuk melakukan langkah partisipatif dalam penyelesaian masalah gula
setidaknya untuk pemenuhan kebutuhan lokal di daerahnya.
Rencana Pembangunan Gula Nasional Berbasis Pendekatan Budaya
Lokal
Rencana pembangunan gula
nasional berbasis pendekatan lokal kultur
merupakan pendekatan yang unik, karena semua pihak dituntut untuk bekerja secara
kreatif dengan komunitas menurut alam mereka, dalam permasalahan mereka, melalui
praktek-praktek kebudayaan lokal mereka.
Akan terjalin kolaborasi secara setara antara pemerintah dan petani lokal (cultural
workers) dengan komunitas, yang
mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah dan
yang
dimiliki oleh masyarakat lokal serta
daerah tersebut. Dalam tataran rencana
pembangunan gula nasional (national sugar
development plan) yang menggunakan pendekatan budaya lokal, dibutuhkan
sebuah alur perencanaan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan tersebut yang
dimulai dari pendekatan emosional antara pihak pemerintah dengan masyarakat
lokal yang diwujudkan dengan membentuk “Rumah Tebu Rakyat berkala” hingga ke lingkup
tataran pelaksanaan dan evaluasi pencapaian. Fokus rencana ini adalah membawa
isu gula nasional menjadi isu lokal sehingga menciptakan kesadaran internal di
setiap individu dalam masyarakat yang kemudian dipecahkan secara kolektif
dengan pendekatan budaya lokal di masing-masing daerah.
Membentuk
Rumah Tebu Rakyat
Melibatkan
masyarakat dalam perumusan kebijakan publik lewat dialog publik, public hearing, atau pertemuan dengan
kelompok masyarakat merupakan wadah untuk mewujudkan pemerintahan yang partisipatif. Tindakan ini bukanlah pertemuan yang hanya
sifatnya seremonial belaka untuk “gugur
kewajiban”, dimana seolah tampak bahwa masyarakat dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan. Namun dalam praktiknya selalu saja pendapat masyarakat
yang dibuat dalam dialog publik, masih saja tidak dihiraukan ketika pendapat
itu menjadi sebuah kebijakan. Dalam pemerintahan partisipatif, maka masyarakat
dan pemerintah harus membuat sebuah konsensus atau kata lain kontrak, untuk menjamin
suara masyarakat diakomodir oleh pemerintah.
Dengan dialog ini, pemerintah akan mendapatkan
kemudahkan terhadap kebutuhan masyarakat dan apa yang harus dituangkan nantinya
dalam kebijakan terkait isu gula nasional, dan kebijakan
yang nantinya diformulasi pun akan mampu dinilai sebagai kebijakan yang memang
pro-rakyat. Untuk melaksanakan dialog seperti itu
tentunya diperlukan suatu wadah atau tempat yang mampu memberikan karakter bagi
pendekatan itu sendiri. Maka dari itu gagasan pembentukan “Rumah
Tebu Rakyat” sebagai tempat yang mampu menyatukan pemerintah dan masyarakat setempat dan setiap stakeholder untuk saling berdiskusi mengembangkan komunikasi dua arah merupakan suatu gagasan yang tepat. Hal ini sesuai dengan
kultur lokal di hampir semua kebudayaan yang ada di Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi berbagai bentuk dialog, diskusi dan musyawarah untuk
membicarakan dan memutuskan berbagai hal yang dianggap penting. Adapun tujuan
pembentukan Rumah Tebu Rakyat ini, antara lain :
1. Menciptakan
hubungan emosional antara pemerintah dan masyarakat lokal sehingga masyarakat
bisa proaktif dalam pencapaian tujuan, serta menghilangkan paradigma bahwa
masyarakat hanyalah obyek dari suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah;
2. Melemparkan isu tentang permasalahan gula nasional ke setiap daerah sehingga isu tersebut menjadi isu lokal yang membutuhkan pemecahan masalah di masing-masing daerah;
3. Mencari informasi-informasi yang terkait dengan rencana pembangunan perkebunan tebu di masing-masing daerah;
4. Memudahkan pendataan potensi perkebunan tebu di setiap daerah;
5. Mendata masyarakat yang berminat untuk berkebun tebu tetapi belum memiliki lahan;
6. Wadah diskusi dan pemecahan masalah bagi pemerintah dan masyarakat khusunya petani tebu;
7. Mempermudah kontrol dan evaluasi atas pelaksanaan dan hasil pembangunan perkebunan tebu dan pengolahannya di setiap daerah.
2. Melemparkan isu tentang permasalahan gula nasional ke setiap daerah sehingga isu tersebut menjadi isu lokal yang membutuhkan pemecahan masalah di masing-masing daerah;
3. Mencari informasi-informasi yang terkait dengan rencana pembangunan perkebunan tebu di masing-masing daerah;
4. Memudahkan pendataan potensi perkebunan tebu di setiap daerah;
5. Mendata masyarakat yang berminat untuk berkebun tebu tetapi belum memiliki lahan;
6. Wadah diskusi dan pemecahan masalah bagi pemerintah dan masyarakat khusunya petani tebu;
7. Mempermudah kontrol dan evaluasi atas pelaksanaan dan hasil pembangunan perkebunan tebu dan pengolahannya di setiap daerah.
Pelaksanaan Rumah Tebu Rakyat ini sendiri harus
dilakukan secara berkala dengan penentuan waktu sesuai kesepakatan semua pihak
di masing-masing daerah. Hal ini diperlukan agar pemerintah dan stakeholder lainnya
memperoleh informasi mengenai permasalahan atau perkembangan terkait rencana pembangunan gula nasional
yang terjadi
di setiap daerah dari waktu ke
waktu, sehingga proses monitoring pencapaian tetap terus berjalan.
Pendidikan dan Pelatihan Petani Tebu
Dalam pemberdayaan petani diperlukan suatu strategi
dan kebijakan sehingga mampu menciptakan berbagai keunggulan kompetitif yang
menjadi syarat mutlak dalam mengarungi era global. Dalam rangka mencapai
keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing, maka pada diri masing-masing
petani harus mampu membentuk pribadinya dengan :
1. Memiliki
motivasi berprestasi tinggi
2. Memiliki jiwa dan
semangat wirausaha unggul (Sub Sistem ke Komersial ;
Farmer ke Peasant);
3. Memiliki jiwa
kemandirian
4. Memiliki pengetahuan
yang baik bertanam tebu (input berkebun dengan kaidah-kaidah biologi tanaman
tebu);
5. Meyakini dan
menghargai apresiasi rendemen per lori secara tegas dan beda;
6. Memiliki sikap
tanggap menghadapi dinamika perubahan;
7. Memiliki sikap tangguh menghadapi berbagai permasalahan;
8. Memiliki sikap
tangguh dalam memperjuangkan tercapainya tujuan untuk keberhasilan usaha.
Untuk mencapai hal di atas diperlukan strategi
pemberdayaan yang mampu menghidupkan gairah petani tebu dan para pelaku ekonomi lainnya untuk berusaha.
Kebijakan yang bersifat komando, pengaturan yang kaku atau penekanan-penekanan
kepada petani hanya akan menghasilkan dampak yang negatif. Oleh karena itu, dalam era globalisasi ini kebijakan yang perlu
dikembangkan adalah kebijakan yang dapat membangkitkan kemampuan adaptasi atau
menyesuaikan diri dan dapat merangsang tumbuhnya daya inovasi dari petani dan
masyarakat secara keseluruhan. Sasaran utama dari kebijakan tersebut adalah
berkembangnya efisiensi, daya saing dan proses kreatifitas secara
berkesinambungan.
Salah satu hal yang sangat penting untuk
meningkatkan daya inovasi dan daya adaptasi ini adalah kehadiran lembaga riset,
pendidikan dan pelatihan yang memadai. Dewasa ini di Indonesia lembaga riset
ditangani oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), sedangkan pendidikan perkebunan ditangani oleh
Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) yang berpusat di Jogjakarta. Namun kedua
lembaga tersebut masih lebih banyak melayani perusahaan perkebunan dari pada
melayani petani. Bahkan kerangka berpikir yang mencerminkan salah satu unsur
budaya masih menggambarkan kerangka pemikiran yang belum menyatu dengan
kepentingan petani. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bagian terbesar dari
areal perkebunan kecuali kelapa sawit, merupakan kebun petani. Oleh karena itu
perlu dilakukan reorientasi dan restrukturisasi pengembangan kelembagaan riset,
pendidikan dan pelatihan yang berbasis pada petani dan budaya lokal setempat yang
tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali tetapi sebaiknya dilakukan secara
berkala dengan pelaksanaan monitoring dan pencapaian hasil dari pendidikan dan
pelatihan yang telah diberikan dalam prakteknya di lapangan. Pengembangan
kelembagaan riset, pendidikan dan pelatihan tersebut dapat diawali dengan
memanfaatkan Rumah Tebu Rakyat sebagai wadah untuk mengumpulkan informasi
tentang kebutuhan masyarakat, sehingga model kelembagaan yang dibentuk dan
diberikan sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat, khususnya petani
tebu di masing-masing daerah.
Pendataan
dan Pemanfaatan Lahan Tidur
Lahan tidur adalah lahan yang dalam kurun waktu
tertentu tidak digunakan sebagai lahan produksi
pertanian maupun perkebunan karena alasan-alasan
tertentu. Menurut Siswomartono (1994),
beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya lahan
tidur antara lain:
1. Status lahan jelas,
maksudnya bahwa areal tersebut secara yuridis formal memiliki kekuatan
hukum yang sah yaitu Hak Guna Usaha (HGU), sertifikat kepemilikan
dan sebagainya namun kenyataannya lahan-lahan tersebut
terlantar begitu saja
2. Sistem penguasaan
lahan yang tidak jelas, dalam hal ini masyarakat, oknum
atau kelompok yang mengusai lahan yang tidak memiliki
dasar hukum yang sah.
3. Kemampuan
pengelolaan lahan yang kurang.
Pengelolaan lahan yang tidak terencana dengan
baik oleh masyarakat setempat menyebabkan banyaknya lahan tidur
karena hanya sebagian kecil saja dari luas lahan tersebut yang dikelola
atau dijadikan lahan perkebunan dan pertanian.
Sedangkan sebagian besarnya lagi lahan tersebut
dibiarkan begitu saja sehingga tidak memberikan hasil
yang maksimal dalam membantu perekonomian masyarakat setempat. Departemen
Pertanian mencatat, lahan tidur di Indonesia mencapai lebih dari 7,13 juta
hektar
sedangkan jumlah kebutuhan lahan tebu
mencapai seluas 300.000 sampai 500.000 hektare. Melihat luasnya lahan tidur di Indonesia,
maka potensi pemenuhan kebutuhan lahan tebu sangat besar jika pemerintah mau melakukan
aksi nyata dalam pemanfaatan lahan tersebut untuk perkebunan tebu.
Menyikapi
potensi tersebut, maka
informasi yang cepat dan andal untuk mengetahui lokasi, dan sumber
daya yang ada di setiap daerah mutlak
diperlukan. Salah satu cara untuk memperoleh informasi
tersebut adalah dengan menggunakan peta (Anonim, 1991). Peta merupakan alat
yang sangat penting sebagai bahan dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, diperlukan peta dengan skala
besar yang mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Dengan dimikian peran serta masyarakat
lokal
di setiap daerah sangat penting dimana
hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan pembuatan peta secara bersama
atau dikenal dengan pelatihan pemetaan partisipatif,
sehingga masyarakat dapat membuat dan memiliki
peta sendiri dengan skala standar yang mudah
mereka mengerti. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan
distribusi lahan tidur melalui kegiatan pemetaan
partisipatif sebagai dasar penetapan alternatif perencanaan
tata guna lahan (land use), serta mengintegrasikan data
tersebut ke dalam Sistem Informasi Geografi.
Hasil pemetaan lahan tidur
tersebut kemudian dijadikan rujukan untuk pemanfaatan lahan tidur yang ada di
masing-masing daerah yang cocok untuk perkebunan tebu. Ada dua jenis lahan
tidur yang dijadikan fokus untuk dimanfaatkan. Yang pertama adalah lahan tidur
milik warga. Karena kepemilikan atas lahan ini masih menjadi milik warga, maka
yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan secara persuasif kepada
pemilik lahan agar mau mengelola atau mengijinkan lahannya dikelola untuk
perkebunan tebu. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja dibutuhkan rangsangan
dan pemahaman kepada setiap pemilik lahan tentang pentingnya pemanfaatan lahan
yang dimilikinya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan gula masyarakat. Yang kedua
lahan tidur milik pemerintah. Pada dasarnya banyak warga di berbagai daerah
yang memiliki minat dan mampu untuk mengelola perkebunan tebu tetapi belum
memiliki lahan. Warga seperti inilah yang harus didata dan diberikan kesempatan
untuk mengelola lahan tidur milik pemerintah. Pemberian hak pakai untuk lahan
tidur tersebut terlebih dahulu harus menjadi kebijakan serius dari pemerintah.
Setelah kebijakan tersebut dikeluarkan selanjutnya dimusyawarahkan dengan
masyarakat lokal terkait ketentuan pemberian hak dan luasan lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk perkebunan tebu. Hal ini dilakukan agar terjadi konsensus
diantara masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan lahan tidur tersebut.
Dengan mengelola lahan tidur
menjadi perkebunan produktif, kita bisa optimis swasembada gula dapat tercapai.
Kebijakan ini dapat terealisir selagi ada keinginan dari pemerintah untuk memanfaatkan setiap
potensi yang dimiliki negara ini
untuk
mewujudkan tujuan tersebut.
Penyediaan Sarana dan Perlengkapan
Peningkatan produksi dan mutu produk merupakan hal mutlak yang harus
dilakukan untuk dapat meningkatkan daya saing gula di dalam negeri. Namun kenyataannya
produksi gula dalam negeri kalah bersaing dengan gula import yang banyak
beredar di tengah masyarakat. Penyebabnya adalah introduksi teknologi sebagai
komponen utama di dalam peningkatan daya saing selama ini belum berjalan
optimal. Kebutuhan
yang sangat penting yaitu penyediaan prasarana, sarana dan perlengkapan
perkebunan pra maupun pasca panen
berjalan lambat, akibatnya mutu produk yang diperoleh petani tidak sesuai dengan
standar yang diinginkan.
Di dalam pasal 18 Undang-undang
Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinyatakan sebagai berikut :
(1) Pemberdayaan
usaha perkebunan dilaksanakan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota
bersama pelaku usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya.
(2) Pemberdayaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. memfasilitasi
sumber pembiayaan/permodalan;
b.
menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
c. memfasilitasi
pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;
d.
mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
dan bahan baru industri;
e. mengatur
pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau
f. memfasilitasi
aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.
Namun kenyataannya,
kemudahan aksesibilitas sarana dan perlengkapan perkebunan tebu di setiap
daerah belum mampu terpenuhi. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa
biaya produksi gula lokal lebih tinggi dibandingkan gula import. Sangat banyak
sarana dan perlengkapan yang dibutuhkan oleh petani tebu tetapi sulit
didapatkan di daerahnya sendiri sehingga mereka harus pergi keluar daerahnya
hingga ke kota besar untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dibutuhkan
sebuah langkah konkret untuk mengatasi masalah aksesibilitas sarana dan perlengkapan
perkebunan tebu ini.
Untuk jangka pendek,
hal sederhana yang dapat dilakukan adalah kembali memanfaatkan Rumah Tebu
Rakyat yang telah dibentuk untuk menampung kebutuhan sarana dan perlengkapan masing-masing
petani tebu. Pemerintah harus dapat menjalankan fungsi fasilitator untuk
memenuhi kebutuhan petani tersebut, bahkan jika memungkinkan Pemerintah dapat memberikan
subsidi ataupun membagikan secara cuma-cuma perlengkapan-perlengkapan sederhana
yang dibutuhkan untuk perkebunan tebu kepada mereka. Hal-hal seperti ini memang
terbilang tindakan sederhana tetapi jika dilakukan secara terpadu disetiap
daerah akan sangat berpengaruh untuk menekan biaya produksi gula. Kemudian untuk
jangka panjang, tentu saja pemerintah harus mengusahakan ketersediaan perlengkapaan
dasar dan umum yang dibutuhkan dalam perkebunan tebu di setiap wilayah yang
aksesnya mudah dijangkau oleh petani tebu.
Selain itu, pada proses pembuatan gula tebu, kegiatan utama pasca panen
adalah tahapan tebang angkut. Setelah ditebang tebu akan mengalami kerusakan
yang disebabkan oleh enzyme, bahan kimia dan mikroba. Enzim invertase yang
terdapat pada tebu akan mengkonversi sukrosa menjadi gula reduksi (glukosa dan
fruktosa) sehingga kemurnian dari nira berkurang. Oleh karena itu untuk
mengurangi kehilangan gula selama tebang angkut, hendaknya proses tebang angkut
dilakukan secara efisien sehingga tebu setelah ditebang dapat digiling
secepatnya.Kriteria keberhasilan pelaksanaan tebang dan angkut diukur dari
kemampuan kotinuitas pasokan bahanbaku sesuai kapasitas giling dan mutu tebang
yang layak giling. Mutu tebang sangat dipengaruhi oleh kesiapan prasarana,
sarana angkutan, sumber daya tenaga tebang, kondisi lingkungan, kelancaran giling
pabrik dan sistem pengupahan tenaga tebang dan angkutan.
Kondisi saat ini tenaga kerja untuk tebang angkut
semakin langka, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tebang angkut belum
memadai. sehingga menimbulkan biaya tebang angkut yang tinggi serta membutuhkan
tenaga tebang yang cukup banyak. Keterbatasan tenaga kerja tebang angkut pada
akhirnya dapat berpengaruh terhadap efisiensi dan produksi Gula, Upah tenaga
kerja tebang angkut yang tinggi menimbulkan penurunan SHU petani dan tidak
efisien bagi perkembangan tanaman tebu.
Untuk itu diperlukan dukungan sarana pasca panen
tebang dengan menggunakan alat tebang tebu, alat ini juga bertujuan untuk
menekan biaya tebang, menaikkan jumlah pasok tebu dan mengantisipasi tenaga
tebang yang semakin sulit didapat. Tenaga kerja
manusia membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga perlu di siapkan alat kerja
baru yang berfungsi untuk menggantikan tenaga tebang angkut dan lebih efisien
dan menguntungkan petani.
Monitoring dan Evaluasi Berkala
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Pengendalian dan Evaluasi
terhadap pelaksanaan rencana pembangunan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2006, disebutkan bahwa monitoring merupakan suatu kegiatan mengamati
secara seksama suatu keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau kegiatan
tertentu, dengan tujuan agar semua data masukan atau informasi yang diperoleh
dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan
tindakan selanjutnya yang diperlukan. Tindakan tersebut diperlukan seandainya
hasil pengamatan menunjukkan adanya hal atau kondisi yang tidak sesuai dengan
yang direncanakan semula. Tujuan Monitoring untuk mengamati/mengetahui perkembangan
dan kemajuan, identifikasi dan permasalahan serta antisipasinya/upaya
pemecahannya.
Evaluasi
merupakan proses menentukan nilai atau pentingnya suatu kegiatan, kebijakan,
atau program (OECD). Evaluasi merupakan sebuah penilaian yang
seobyektif dan sesistematik mungkin terhadap sebuah intervensi yang
direncanakan, sedang berlangsung atau pun yang telah diselesaikan. Hal-hal yang
harus dievaluasi yaitu proyek, program, kebijakan, organisasi, sector, tematik,
dan bantuan Negara. Kegunaan Evaluasi, adalah untuk:
a. Memberikan informasi yg valid ttg kinerja kebijakan, program & kegiatan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai & kesempatan telah dapat dicapai;
a. Memberikan informasi yg valid ttg kinerja kebijakan, program & kegiatan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai & kesempatan telah dapat dicapai;
b. Memberikan sumbangan pada
klarifikasi & kritik thd nilai2 yg mendasari pemilihan tujuan &
target;
c. Melihat peluang adanya alternatif
kebijakan, program, kegiatan yang lebih tepat, layak, efektif, efisien;
d. Memberikan umpan balik terhadap
kebijakan, program dan proyek;
e. Menjadikan kebijakan, program dan
proyek mampu mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik;
f. Mambantu pemangku kepentingan
belajar lebih banyak mengenai kebijakan, program dan proyek;
g. Dilaksanakan berdasarkan kebutuhan
pengguna utama yang dituju oleh evaluasi;
h. Negosiasi
antara evaluator and pengguna utama yang dituju oleh evaluasi
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan
realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap
rencana dan standar. Evaluasi merupakan merupakan kegiatan yang menilai hasil
yang diperoleh selama kegiatan pemantauan berlangsung. Lebih dari itu, evaluasi
juga menilai hasil atau produk yang telah dihasilkan dari suatu rangkaian
program sebagai dasar mengambil keputusan tentang tingkat keberhasilan yang
telah dicapai dan tindakan selanjutnya yang diperlukan.
Sistem monitoring dan evaluasi pembangunan gula seperti ini sudah
seharusnya dilaksanakan dan berkelanjutan untuk menjamin keberhasilan program
pembangunan yang diharapkan. Selain terjun langsung ke lapangan, model monitoring
dan evaluasi dapat memanfaatkan Rumah Tebu Rakyat untuk mendapatkan informasi
seputar perkembangan perkebunan tebu secara langsung dari petani tebu.
Peranan PTPN X dalam Mewujudkan Rencana Pembangunan Gula
Nasional Berbasis Pendekatan Budaya Lokal
Tujuan
dibentuknya PT. Perkebunan Nusantara seperti tercantum dalam Anggaran Dasar No.
47 tanggal 13 Agustus 2008 adalah melakukan usaha di bidang Agrobisnis dan Agroindustri serta
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perseroan untuk menghasilkan barang
dan/jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, dan mengejar keuntungan
guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan
Terbatas. Dengan kata lain, bahwa PTPN X merupakan aktor pelaksana resmi
pemerintah untuk mewujudkan kebijakan swasembada gula. Sebagai aktor pelaksana
dan kepanjangan tangan dari pemerintah, berinteraksi langsung dengan masyarakat
di setiap daerah merupakan suatu keharusan dalam kinerjanya. Berbagai rencana
pembangunan gula nasional yang telah dipaparkan sebelumnya, sangat mungkin
untuk diwujudkan oleh PTPN X sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Misalnya
pendirian Rumah Tebu Rakyat, inisiasi dan pendekatan awal dapat dilakukan oleh
PTPN X yang sedikit banyak telah mengerti kondisi budaya lokal setempat
sehingga proses komunikasi dengan masyarakat dapat berjalan sesuai budaya lokal
di daerah tersebut.
Selanjutnya,
sebagai fungsi pelaksana, PTPN X telah memiliki banyak pengalaman terhadap
proses perkebunan tebu maka pengalaman-pengalaman yang dimiliki selema ini
dapat ditransfer melalui pendidikan dan pelatihan perkebunan tebu untuk
masyarakat lokal. Dan begitu pula dengan pelaksanaan rencana-rencana lainnya, fungsi
dan keberadaan PTPN X yang dekat dengan masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mewujudkan berbagai rencana yang telah dipaparkan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-undang
Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang
Komoditas Pangan Strategis
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sumber Lain
Abe, Alexander,.
2001. Perencanaan daerah memperkuat
prakarsa rakyat dalam otonomi daerah. Lapera Pustaka
Utama. Yogyakarta.
Anonim,
1991. Tata Cara Kerja Pemetaan Penggunaan Tanah Detail. NPN. Jakarta.
Miles, Matthew
B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Sawit, Husein,
Erwidodo, Tonny K., Hermanto S., 2003. Penyelematan
dan Penyehatan Industri Gula
Nasional : Suatu Kajian Akademisi.
Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Siswomartono,D. 1994.
Peranan Lembaga Keuangan Pada Pemanfaatan Lahan Tidur Untuk
Agroforestry. Balai Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) dan Asia Pasifik
Agroforestry Network (APAN). Bogor.
Utomo, Broto, 2003. Kebijakan Agribisnis
Gula di Thailand. Kertas Kerja Perwakilan RI di Bangkok untuk
disampaikan pada Pertemuan Konsultasi: Komparasi Kebijakan
Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia, 25-26 Juli 2003, Bangkok,
Thailand.
________. Pemberdayaan Petani: Memiliki
Pengetahuan Yang Baik Bertanam Tebu. Tabloid Sinar Tani. Edisi tahun 2012.
Rendra Setyadiharja.2012.Menuju Pemerintahan yang Partisipatif.Artikel yang dimuat dalam http://www.haluankepri.com/opini-/39284-menuju-pemerintahan-yang-partisipatif-.html
Rachmat
Sujianto. 2012. Swasembada Gula 2014 Terancam Gagal. Artikel dimuat dalam http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2013/01/swasembada-gula-terancam-gagal/
Sutawi. 2013. Prospek Industri Gula Nasional: Peluang Manis diantara Tantangan Pahit. Artikel yang dimuat dalam http://sutawi.staff.umm.ac.id/?p=238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini..