MENGGALAKKAN PROGRAM
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY UNTUK
KESEJAHTERAAN GURU SEKOLAH LUAR BIASA
“Rumput yang paling kuat tumbuhnya terdapat diatas tanah
yang paling keras.”
(Galileo Galilei)
Kalimat bijak diatas
mengingatkan saya pada seorang siswa di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di
Kabupaten Pangkep. Suatu hari, ketika melakukan kunjungan ke salah satu Sekolah
Luar Biasa Negeri yang ada di kabupaten tersebut, saya sempat berusaha
berbincang dengan seorang siswa penderita tuna rungu yang bernama Ridwan. Pada
saat itu, Ridwan adalah seorang siswa setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA)
yang duduk dibangku kelas dua. Dengan sedikit usaha, saya berhasil mengajak dia
berbincang-bincang dengan keterbatasan kami masing-masing dengan modal sebuah
buku catatan dan pulpen. Salah satu pertanyaan saya adalah bagaimana kesannya
dengan fasilitas pendidikan dan guru-guru yang ada di sekolahnya selama ini.
Dari jawabannya, dia merasa cukup puas dengan fasilitas yang ada walaupun dia
merasa ada beberapa fasilitas sekolah yang sudah tidak layak pakai dan
memerlukan renovasi, tetapi disamping itu ada satu kalimat yang menarik
perhatian saya, dalam catatan jawabannya dia menambahkan “saya senang dengan
guru-guru yang ada disini, tapi pemerintah kurang peduli dengan mereka”. Saat
saya bertanya lebih jauh, dia menjelaskan bahwa kesejahteraan guru-guru mereka
belum diprioritaskan oleh pemerintah padahal seorang guru SLB mempunyai beban
tugas yang berat dan keahlian khusus yang belum tentu dapat dilakukan oleh
guru-guru di sekolah-sekolah biasa pada umumnya.
Jawaban Ridwan tersebut membuat saya berusaha mencari
fakta tentang tingkat kesejahteraan guru yang ada di sekolah tersebut. Hasilnya,
saya menemukan kenyataan bahwa sekitar 50% guru di sekolah tersebut berstatus
guru tidak tetap (GTT) dengan gaji sekitar Rp 50.000 - Rp 70.000 per hari.
Salah seorang guru bernama Salmiah yang berumur 46 tahun, dengan begitu ramah
menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang semakin penasaran dengan kondisi
guru-guru tidak tetap di sekolah tersebut. Dari percakapan itu, saya mengetahui
bahwa beliau juga adalah seorang guru dengan status yang sama dengan gaji
sekitar Rp 52.000,- per hari atau sekitar Rp 1.000.000,- per bulan dan itupun
dibayarkan tidak setiap bulan tetapi dibayarkan sekitar tiga bulan sekali.
Beliau telah mengabdi sebagai seorang guru yang mendidik siswa-siswi yang
berkebutuhan khusus di sekolah tersebut selama lebih dari sepuluh tahun dan
sampai saat ini belum terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Untuk memenuhi
kebutuhannya dan kebutuhan keempat orang anaknya beliau bersama suaminya harus
membuka toko kelontong di rumahnya yang kecil.
Selain itu, jarak antara rumahnya dan sekolah SLB tempat
beliau mengajar yang mencapai puluhan kilometer yang harus ditempuh dengan
menggunakan angkutan umum juga menjadi salah satu penyebab gaji yang
diterimanya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi diujung
percakapan kami, beliau mengaku tetap bersyukur dengan apa yang diterimanya
selama ini. Apa yang telah dikerjakannya untuk anak-anak yang berkebutuhan
khusus itu beliau anggap sebagai bekal untuknya diakhirat nanti, sambil tersenyum
beliau berkata “selama saya masih mampu,
tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti” jawaban inilah yang membuat saya
tertegun dan semakin menghargai beliau dan semua guru yang berjuang seperti
beliau.
Pengalaman dengan Ridwan dan Ibu Salmiah itu kemudian
membuat saya tertantang untuk mencari tahu apa yang salah dengan sistem
pendidikan di negeri ini? Mengapa guru seperti Ibu Salmiah yang telah
mengabdikan dirinya puluhan tahun kurang mendapat perhatian dari pemerintah?
Menurut
Pasal 15 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003, pendidikan terdiri dari beberapa jenis, yaitu pendidikan
umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan
Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003). Selain itu, pendidikan
khusus atau pendidikan luar biasa adalah bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional yang secara khusus
diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang
kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku.
Tanggung
jawab pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah terletak ditangan
pendidik, yaitu guru SLB. Guru Sekolah
Luar Biasa merupakan salah satu komponen pendidikan yang secara langsung memengaruhi
tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menempuh perkembangannya.
Guru SLB dituntut untuk memiliki kesabaran
yang tinggi, kesehatan fisik dan mental yang baik dalam bekerja karena mereka
melakukan tugas fungsional yaitu mengajar satu per satu sisiwanya dengan penuh
kesabaran, melakukan tugas administrasi seperti membuat rapor, dan tugas
struktural dalam organisasi sekolah. Oleh karena itu, kesejahteraan
hidup seorang guru SLB sudah seharusnya dijamin oleh pemerintah agar mereka
bisa fokus untuk melakukan pekerjaannya tersebut.
Namun eksistensi dan kesejahteraan guru SLB di Pangkep dan berbagai daerah lain
faktanya masih dipandang sebelah mata oleh birokrasi yang mengurusi hak dan
kewajiban kaum guru. Jika mata kanan pemerintah memperhatikan kewajiban dan
mata kiri mengurusi hak guru SLB, maka kaca mata untuk mata kiri harus sudah
dikoreksi dengan yang baru sehingga hak-hak menyangkut kesejahteraan guru SLB
tidak termarginalkan.
Sekolah
Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan khusus yang melayani anak-anak
berkebutuhan khusus menuntut kinerja maksimal dari tenaga pendidik dalam
memenuhi kebutuhan para
peserta didiknya. Namun masih begitu banyak fakta yang mengungkapkan kondisi
kesejahteraan guru SLB yang jauh dari mencukupi, sehingga mereka harus menjalani
pekerjaan sampingan jadi tukang ojek, tukang becak, bahkan pemulung untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD), alokasi dana
pendidikan di Indonesia ditetapkan sebesar 20% dari Anggaran Penegeluaran dan
Belanja Negara (APBN). Pada APBN 2012 anggaran pendidikan
dialokasikan Rp 286,56
triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun. Secara nominal, anggaran ini meningkat dari tahun 2011
yang anggaran pendidikannya mencapai Rp 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total
APBN Rp 1.229,56 triliun. Dilihat dari postur anggaran, beberapa pos yang
mendominasi di antaranya Dana Alokasi Khusus pendidikan yang mencapai Rp 10
triliun, Bantuan Operasional Sekolah yang mencapai Rp 23,6 triliun, dan untuk
gaji dan tunjangan guru yang mencapai Rp 136,4 triliun. Kalau dilihat dari paparan diatas hampir
setengah dari APBN yang dikucurkan pemerintah digunakan untuk gaji dan
tunjangan untuk guru.
Namun gaji dan tunjangan guru yang diperuntukkan tersebut
lebih memihak guru-guru PNS khususnya untuk kepentingan sertifikasi, sedangkan alokasi
dana untuk guru non PNS khususnya guru SLB masih sangat timpang. Melihat beban
kerja dan tanggungjawab guru SLB yang jauh lebih berat dari guru-guru di
sekolah-sekolah pada umumnya sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang
kebijakan terhadap kesejahteraan guru SLB terkhusus bagi guru SLB Non PNS.
Salah satu gagasan yang patut untuk disosialisasikan
adalah “Program CSR untuk Kesejahteraan Guru SLB”. Perusahaan-perusahaan
besar maupun BUMN di Indonesia
seyogyanya ikut memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi sekolah luar biasa dengan menyisihkan dana CSR guna memajukan kesejahteraan pendidik anak berkebutuhan
khusus.
Tanggung
jawab sosial perusahaan atau Corporate
Social
Responsibility
(CSR) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai
kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap
sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk
tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian
beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum,
sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna
untuk masyarakat.
Corporate Social Responsibility
diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Pasal 74 UU PT yang menyebutkan
bahwa
“setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”
Juga dalam di UU PM
Dalam pasal 15 huruf b disebutkan,
“setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan. Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan
yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi
administratif dan sanksi lainnya, diantaranya: (a) Peringatan tertulis;
(b) pembatasan kegiatan usaha; (c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal; atau (d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas
penanaman modal.”
Dengan menggalakkan Program CSR untuk Kesejahteraan Guru
SLB diharapkan perbaikan kesejahteraan guru SLB mendapat perhatian yang luas, sehingga para guru SLB tidak lagi merasa diperlakukan tidak
adil. Sudah selayaknya setiap elemen bangsa ini
ikut andil dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Kalau bukan kita lalu
siapa lagi yang harus peduli?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini..