Pages

Pages

Senin, 12 November 2012

Gerakan Indonesia Berkibar



MENGGALAKKAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY UNTUK KESEJAHTERAAN GURU SEKOLAH LUAR BIASA

“Rumput yang paling kuat tumbuhnya terdapat diatas tanah yang paling keras.”
(Galileo Galilei)

Kalimat bijak diatas mengingatkan saya pada seorang siswa di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kabupaten Pangkep. Suatu hari, ketika melakukan kunjungan ke salah satu Sekolah Luar Biasa Negeri yang ada di kabupaten tersebut, saya sempat berusaha berbincang dengan seorang siswa penderita tuna rungu yang bernama Ridwan. Pada saat itu, Ridwan adalah seorang siswa setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang duduk dibangku kelas dua. Dengan sedikit usaha, saya berhasil mengajak dia berbincang-bincang dengan keterbatasan kami masing-masing dengan modal sebuah buku catatan dan pulpen. Salah satu pertanyaan saya adalah bagaimana kesannya dengan fasilitas pendidikan dan guru-guru yang ada di sekolahnya selama ini. Dari jawabannya, dia merasa cukup puas dengan fasilitas yang ada walaupun dia merasa ada beberapa fasilitas sekolah yang sudah tidak layak pakai dan memerlukan renovasi, tetapi disamping itu ada satu kalimat yang menarik perhatian saya, dalam catatan jawabannya dia menambahkan “saya senang dengan guru-guru yang ada disini, tapi pemerintah kurang peduli dengan mereka”. Saat saya bertanya lebih jauh, dia menjelaskan bahwa kesejahteraan guru-guru mereka belum diprioritaskan oleh pemerintah padahal seorang guru SLB mempunyai beban tugas yang berat dan keahlian khusus yang belum tentu dapat dilakukan oleh guru-guru di sekolah-sekolah biasa pada umumnya.
Jawaban Ridwan tersebut membuat saya berusaha mencari fakta tentang tingkat kesejahteraan guru yang ada di sekolah tersebut. Hasilnya, saya menemukan kenyataan bahwa sekitar 50% guru di sekolah tersebut berstatus guru tidak tetap (GTT) dengan gaji sekitar Rp 50.000 - Rp 70.000 per hari. Salah seorang guru bernama Salmiah yang berumur 46 tahun, dengan begitu ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang semakin penasaran dengan kondisi guru-guru tidak tetap di sekolah tersebut. Dari percakapan itu, saya mengetahui bahwa beliau juga adalah seorang guru dengan status yang sama dengan gaji sekitar Rp 52.000,- per hari atau sekitar Rp 1.000.000,- per bulan dan itupun dibayarkan tidak setiap bulan tetapi dibayarkan sekitar tiga bulan sekali. Beliau telah mengabdi sebagai seorang guru yang mendidik siswa-siswi yang berkebutuhan khusus di sekolah tersebut selama lebih dari sepuluh tahun dan sampai saat ini belum terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan keempat orang anaknya beliau bersama suaminya harus membuka toko kelontong di rumahnya yang kecil.
Selain itu, jarak antara rumahnya dan sekolah SLB tempat beliau mengajar yang mencapai puluhan kilometer yang harus ditempuh dengan menggunakan angkutan umum juga menjadi salah satu penyebab gaji yang diterimanya tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi diujung percakapan kami, beliau mengaku tetap bersyukur dengan apa yang diterimanya selama ini. Apa yang telah dikerjakannya untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus itu beliau anggap sebagai bekal untuknya diakhirat nanti, sambil tersenyum beliau berkata “selama saya masih mampu, tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti” jawaban inilah yang membuat saya tertegun dan semakin menghargai beliau dan semua guru yang berjuang seperti beliau.
Pengalaman dengan Ridwan dan Ibu Salmiah itu kemudian membuat saya tertantang untuk mencari tahu apa yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini? Mengapa guru seperti Ibu Salmiah yang telah mengabdikan dirinya puluhan tahun kurang mendapat perhatian dari pemerintah?
Menurut Pasal 15 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, pendidikan terdiri dari beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003). Selain itu, pendidikan khusus atau pendidikan luar biasa adalah bagian terpadu dari sistem pendidikan nasional yang secara khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku.
Tanggung jawab pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah terletak ditangan pendidik, yaitu guru SLB. Guru Sekolah Luar Biasa merupakan salah satu komponen pendidikan yang secara langsung memengaruhi tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menempuh perkembangannya. Guru SLB dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi, kesehatan fisik dan mental yang baik dalam bekerja karena mereka melakukan tugas fungsional yaitu mengajar satu per satu sisiwanya dengan penuh kesabaran, melakukan tugas administrasi seperti membuat rapor, dan tugas struktural dalam organisasi sekolah. Oleh karena itu, kesejahteraan hidup seorang guru SLB sudah seharusnya dijamin oleh pemerintah agar mereka bisa fokus untuk melakukan pekerjaannya tersebut.
Namun eksistensi dan kesejahteraan guru SLB di Pangkep dan berbagai daerah lain faktanya masih dipandang sebelah mata oleh birokrasi yang mengurusi hak dan kewajiban kaum guru. Jika mata kanan pemerintah memperhatikan kewajiban dan mata kiri mengurusi hak guru SLB, maka kaca mata untuk mata kiri harus sudah dikoreksi dengan yang baru sehingga hak-hak menyangkut kesejahteraan guru SLB tidak termarginalkan.
Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan khusus yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus menuntut kinerja maksimal dari tenaga pendidik dalam memenuhi kebutuhan para peserta didiknya. Namun masih begitu banyak fakta yang mengungkapkan kondisi kesejahteraan guru SLB yang jauh dari mencukupi, sehingga mereka harus menjalani pekerjaan sampingan jadi tukang ojek, tukang becak, bahkan pemulung untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar (UUD), alokasi dana pendidikan di Indonesia ditetapkan sebesar 20% dari Anggaran Penegeluaran dan Belanja Negara (APBN). Pada APBN 2012 anggaran pendidikan dialokasikan Rp 286,56 triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun. Secara nominal, anggaran ini meningkat dari tahun 2011 yang anggaran pendidikannya mencapai Rp 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp 1.229,56 triliun. Dilihat dari postur anggaran, beberapa pos yang mendominasi di antaranya Dana Alokasi Khusus pendidikan yang mencapai Rp 10 triliun, Bantuan Operasional Sekolah yang mencapai Rp 23,6 triliun, dan untuk gaji dan tunjangan guru yang mencapai Rp 136,4 triliun. Kalau dilihat dari paparan diatas hampir setengah dari APBN yang dikucurkan pemerintah digunakan untuk gaji dan tunjangan untuk guru.
Namun gaji dan tunjangan guru yang diperuntukkan tersebut lebih memihak guru-guru PNS khususnya untuk kepentingan sertifikasi, sedangkan alokasi dana untuk guru non PNS khususnya guru SLB masih sangat timpang. Melihat beban kerja dan tanggungjawab guru SLB yang jauh lebih berat dari guru-guru di sekolah-sekolah pada umumnya sudah seharusnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan terhadap kesejahteraan guru SLB terkhusus bagi guru SLB Non PNS.
Salah satu gagasan yang patut untuk disosialisasikan adalah “Program CSR untuk Kesejahteraan Guru SLB”. Perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN di Indonesia seyogyanya ikut memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi sekolah luar biasa dengan menyisihkan dana CSR guna memajukan kesejahteraan pendidik anak berkebutuhan khusus.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social  Responsibility (CSR) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat.
Corporate Social Responsibility diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM).  Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa
setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”
 Juga dalam di UU PM Dalam pasal 15 huruf b disebutkan,
setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Sanksi-sanksi terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya, diantaranya:  (a) Peringatan tertulis; (b) pembatasan kegiatan usaha; (c) pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau (d) pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
Dengan menggalakkan Program CSR untuk Kesejahteraan Guru SLB diharapkan perbaikan kesejahteraan guru SLB mendapat perhatian yang luas, sehingga para guru SLB tidak lagi merasa diperlakukan tidak adil. Sudah selayaknya setiap elemen bangsa ini ikut andil dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Kalau bukan kita lalu siapa lagi yang harus peduli?

Minggu, 04 November 2012

Download Kumpulan Undang-Undang, Konvensi Wina, dan Penjelasannya


Postingan kali ini saya akan membagikan beberapa kumpulan Undang-Undang, yang butuh silahkan di download agan-agan, jangan lupa ninggalin jejak yah hehee :D

UUD 1945 Klik Disini
UU Nomor 18 Tahun1956 Klik Disini
UU Nomor 24 Tahun 2000 Klik Disini
Penjelasan UU Nomor 24 Tahun 2000 Klik Disini
UU Nomor 2 Tahun 2008 Klik Disini
UU Nomor 32 Tahun 2009 Klik Disini
UU Nomor 25 Tahun 2003 Klik Disini
UU TNI Klik Disini
UU Nomor 8 Tahun 2010 Klik Disini
UU Nomor 23 Tahun 1997 Klik Disini
UU Nomor 14 Tahun 2009 Klik Disini
Konvensi Wina 1969 Klik Disini
Terjemahan Konvensi Wina 1969 Klik Disini
Kumpulan UU TIPIKOR Klik Disini
UU Nomor 15 Tahun 2003 Klik Disini
UU Nomor 17 Tahun 2008 Klik Disini
UU Nomor 31 Tahun 2004 Klik Disini
UU Nomor 8 Tahun 1995 Klik Disini
UU Nomor 21 Tahun 2007 Klik Disini
UU Perlindungan Anak Klik Disini

Sabtu, 20 Oktober 2012

Masalah Lingkungan Hidup

Masalah Lingkungan Hidup

Apa sesungguhnya Masalah LH itu? Intinya adalah ketidakstabilan LH, yakni terganggunya proses siklus ekosistem disebabkan adanya satu atau lebih unsur dari komponen ekosistem yang tidak berfungsi secara normal (stabil dan dinamis), yang (secara langsung atau tidak langsung) menyebabkan terganggunya komponen sosiosistem, dan/atau sebaliknya yang menyebabkan degradasi pada dinamika dan stabilitas sosioekosistem sebagai suatu tatanan yang utuh. Dalam konteks ini, masalah LH dapat berupa masalah geologis, atau masalah antropogenik, atau gabungan dari keduanya (geologis dan antropologis secara berakumulasi).

   Kesepakatan tokoh hukum lingkungan UI-UGM-Unair dan Unpad + L.Woltgens dan Th.G. Drupsteen dari Amsterdam-Belanda, 12 Januari 1994, klasifikasi masalah LH tersebut cukup disinggung sepintas lalu pada S1, dan diharapkan diperluas pada program S2. Dalam hal ini Munadjat Danusaputro memberikan suatu pesan khusus, agar dosen hukum lingkungan berupaya memiliki/memahami: apa yang diajarkan; bagaimana cara mengajarkan; sumber; dalil/apa pendapat tentang yang diajarkan; dan apa manfaatnya (Penulis dengan jujur mengemukakan disini, bahwa pesan itu belum dapat dipenuhi, setidaknya sampai pada saat penulisan ini).

Guna keperluan praktis, pada garis besarnya kajian masalah LH dapat dibagi ke dalam: (1) Umum; dan (2) Indonesia.

(1) Masalah LH Secara Umum
Pembangunan, konkritnya kegiatan manusia dalam menjalani dan memperbaiki hidup dan kehidupannya senantiasa menggunakan unsur-unsur SDA dan LH , dan berlangsung pada LH tertentu. Kegiatan ini merupakan tuntutan hidup yang sangat manusiawi bahkan merupakan suatu kemutlakan bila manusia ingin tetap eksist dalam kehidupan berbudaya ini secara wajar yang tidak boleh dipertentangkan dengan tuntutan ekologi agar tetap stabil dan dinamis, dan bukan soal pilihan satu diantara keduanya. Di sinilah berakar masalah LH yang hakiki (Kusumaatmadja, 1975 & Emil Salim, 1988).

Pembangunan tersebut dalam dirinya mengandung "perubahan besar" seperti perubahan struktur ekonomi, struktur fisik wilayah; struktur pola konsumsi; dan tentunya struktur SDA dan LH, termasuk teknologi dan sistem nilai (KH, 1999:49). Dengan demikian, apabila perubahan-perubahan tersebut menimbulkan tekanan yang melampaui batas-batas keseimbangan/keserasian SDA dan LH, maka manusia telah menghadapi masalah LH. Sesaran sederhana dapat dikatakan sebagai degradasi atau mundurnya kualitas lingkungan (W&GD, 1992 & GD,1994). Kualitas lingkungan (LH) pada hakikatnya adalah nilai yang dimiliki lingkungan untuk kesehatan manusia, keamanan dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya serta lingkungan hidup itu sendiri (nilai intrinnsik).

Adapun wujud atau bentuk masalah LH dalam realitasnya dapat berupa pencemaran, atau perusakan, atau pencemaran dan perusakan LH secara bersamaan dan berakumulasi. Masalah LH ini dapat berupa pencemaran dan perusakan LH yang disebabkan oleh tindakan manusia (masalah LH "antropologeniK'), dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa alam (masalah LH "geologis"). Sebagai catatan, bahwa yang dapat dikendalikan oleh manusia, termasuk pengaturan dan penerapan hukumnya, hanyalah masalah LH anntropogenik, yakni mengendalikan kegiatan manusia yang berdimensi SDA/LH, dengan AMDAL, Penataan Ruang, Baku mutu, audit lingkungan misalnya. Adapun yang bersifat geologis, hanya dapat diupayakan agar akibatnya terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil, misalnya membuat tanggul penahan lahar seperti di lereng Merapi, dsb. Perkembangan hukum lingkungan sendiri merupakan akibat timbulnya kesadaran tentang. masalah lingkungan hidup dalam tahun-tahun tujuh puluhan (W&GD,1992)

Di sinilah antara lain letak pentingnya memahami (setidaknya mengenal) masalah LH ini dalam kajian/pelajaran hukum lingkungan, yang merupakan dasar dan akar tumbuh dan berkembangnya hukum lingkungan. "Hukum lingkungan, bermula dari masalah lingkungan hidup" (SS Rangkuti, 13-1-1994). Substansi dan dasar pemikiran hukum lingkungan dapat dihami secara lebih baik dengan adanya pemahaman (pengetahuan) pada akar-akarnya. Disini pulalah letak makna hukum lingkungan sebagai "hukum fungsional.

Kembali kepada masalah LH antropogenik, "semakin tinggi tingkat intentitas kegiatan manusia- yang umumnya sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi dan iptek/kebudayaan yang dicapai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pencemaran dan perusakan LH tersebut, baik secara yuridis terlebih-lebih secara ekologis (pencemaran atau perusakan LH secara yuridis menurut system hukum lingkungan Indonesia atau UUPLH, tidak identik dengan pencemaran atau perusakan LH secara ekologis atau fisik). Ini berarti bahwa masalah LH secara prinsipil tidaklah menurun, melainkan semakin meningkat sesuai dengan hukum termodinamika I & II serta asas-asas dalam kajian LH, kecuali dengan kesadaran dan tindakan manusia yang berwawasan LH diwujudkan secara berkelanjutan dengan belajar dari pengalaman dan sejarah pertumbuhan yang dicapai peradaban manusia. Contoh:

1. Kasus Smog Los Angeles: Tahun 1950 an, Los Angeles mengalami "smog", yakni asap yang menebal yang menyerupai kabut menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit misterius seperti yang menyerang ayam, sapi, dan domba mati. Keadaan inilah yang mengilhami terbitnya buku "The Silent Spring" (Musim Semi yang Sunyi).oleh Rachel Carson, 1962 yang menggambarkan betapa para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarganya, para dokter menyaksikan penyakit baru yang muncul pada pasiennya, dll. 

2. Kasus Minamata - Jepang (diulas secara mendalam oleh Harada Masazumi, "Tragedi Minamata", 2005), yakni timbulnya penyakit baru di Teluk Minamata Jepang, laporan 1955 dan 1956, yang menyerang manusia dan hewan, seperti tulang penderita menjadi "rapuh", yang kemudian (1968) diketahui, ternyata penyebabnya dari limbah industri, termasuk pupuk pertanian.

3. Global: Salah satu masalah LH secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia adalah "pemanasan global", yakni naiknya intensitas "Efek Rumah Kaca" ("Greenhouse Effect') yang disebabkan meningkatnya gas (C02) dalam atmosfir ("atmosphere") selimut bahan, gas berupa udara, yakni bahan udara di sekeliling bumi (yang merupakan bagian tak terpisahkan dengan "biosphere" dan "ecosphere" yang dapat menunjang kehidupan) yang juga disebut "gas rumah kaca" (GRK). Dampak rumah kaca ini pada prinsipnya diakibatkan pembakaran dalam berbagai kegiatan manusia (pabrik, transportasi, dll). Catatan: Secara filosofis, sumber masalah LH (al): Tidak tahu, tidak mampu, dan tidak peduli untuk mencegah/mengatasinya.

4. Negara maju dan Negara miskin: Meskipun secara ekologis bumi ini dipandang sebagai satu ekosistem besar, namun adanya perbedaan karakteristik Negara -bangsa-bangsa- antara Negara- maju dengan Negara ­miskin/berkembang membawa pula karakteristik pada masalah lingkungan hidup yang dihadapi masing-masing Negara yang bersangkutan. Negara "Maju": Masalah LH yang dominan dihadapi Dunia/Negara-negara maju adalah pencemaran !_H pada SDA tanah, air dan udara akibat kemajuan industri (dalam arti luas). Negara "Miskin":, Masalah LH yang dihadapi pada Dunia/Negara­-negara miskin atau berkembang didominasi oleh "perusakan" LH terutama pada lahan, hutan dsb, serta pencemaran LH dari limbah domestik (miskin biaya dan iptek). Jadi kemajuan dan keterbelakangan sama-sama menimbulkan masalah LH, meskipun dengan sumber penyebab dan karakteristik yang berbeda.

Selain akibat perbuatan manusia, masalah LH juga dapat terjadi karena peristiwa alam yang juga besar akibatnya pada kehidupan manusia (sosiosistem). Letusan gunung api, gempa bumi dan Tsunami (gelombang pasang) merupakan bagian dari peristiwa alam yang membawa masalah LH bahkan kemusnahan. Letusan Gunung Tambora 1816, mengakibatkan (>) 90.000 orang meninggal; Letusan Gunung Krakatau 1883; Letusan Gunung Merapi 1994; Tsunami NTT 1994; Bahorok Sumatera Utara 2003, dan Gempa/Tsunami Aceh/Tailand/Srilangka 2004 yang menyebabkan ratusan ribu jiwa meninggal, gempa bumi DIY dan beberapa daerah selatan Jawa 27 Mei 2006, dll merupakan sebagian kecil dari begitu banyak peristiwa alam yang membawa mala petaka bagi kehidupan manusia. Semburan/banjir Lumpur panas Sidoarjo Jatim akhir 2005-sekarang juga didominasi oleh faktor alam, meskipun terjadinya dengan campur tangan manusia.

"Banjir” yang sering terjadi akhir-akhir ini dan sangat merugikan kehidupan manusia (desa-kota). Banjir bandang yang melanda DKI Jakarta, Th. 2002 dan masih terus berlangsung, dan beberapa daerah lainnya (Depok, Bandung, Samarinda, dll) merupakan bagian kecil dari fenomena ini. Sepintas adalah peristiwa alam, tetapi sesungguhnya merupakan perpaduan (akumulasi) antara pengaruh aktivitas manusia dengan peristiwa alam, baik pada Negara maju maupun pada Negara berkembang/miskin. Penimbunan/bangunan pada situs kantong-kantong resapan air di daerah kota, dan semakin berkurangnya hutas secara kuantitas dan kualitas akibat kegiatan manusia, merupakan faktor penyebab fenomena ini.

(2) Masalah LH di Indonesia
Mengakhiri uraian ini, dikemukakan masalah LH yang aktual dihadapi dalam PLH Indonesia (Sumber utama Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 49-52). Masalah LH dalam PLH Indonesia timbul sebagai "pengaruh sampingan" dari aktivitas manusia yang berdimensi LH, yang membawa "perubahan" besar pada komponen LH, baik fisik maupun sosial budaya, dengan kemungkinan "risiko" LH yang timbul dan perubahan tersebut. Timbulnya masalah LH tersebut diakibatkan/ dipengaruhi oleh 4 faktor pokok, yaitu :

1. Perkembangan penduduk dan masyarakat;
       Ciri kependudukan Indonesia adalah:
a. Jumlahnya makin bertambah;
b. Sebagian besar berusia muda (63% < 30 th - data 1993);
c. Tidak tersebar merata (Jawa-Madura 840 jiwa/km2, Kalimantan 18, Irian/Papua 7,5 jiwa/km2).
d. Jadi ada yang jenuh, dan ada yang belum dimanfaatkan secara optimal; Sulawesi 69 jiwa/km2
e. Besarnya jumlah penduduk yang hidup/memperoleh pendapatan di sektor pertanian (52,2% hidup di pedesaan -1993);
f. Tingginya tingkat pengangguran (2,2 jt = 2,79% -1993) -sumber kerawanan sosial dan ekonomi.

2. Perkembangan SDA dan LH;
a. Permintaan akan SDA (tanah-lahan dan air) menghadapi tekanan yang cukup besar akibat kepadatan penduduk (Jawa-Madura), dan tingkat pendapatan (Y) yang rendah. Sementara itu, lading perpindah (chifting cultivation) di luar Jawa membawa 100.000 ha menjadi lahan kritis/tahun.
b. Kemiskinan dan keterbelakangan (penghayatan LH) mendesak keperluan untuk mencoba SDA secara tepat dan efisien, sehingga kurang memperhatikan factor (kelestarian fungsi) LH.
c. Kemampuan alam menahan air makin berkurang.

3. Perkembangan teknologi dan kebudayaan; dan
Negara maju mengembangkan teknologi padat modal dan hemat tenaga kerja sesuai dengan kondisi Negara yang bersangkutan, membawa pada penemuan teknologi baru, yang tidak/belum mampu dilakukan oleh Negara-­negara berkembang termasuk Indonesia. Teknologi membawa perubahan pada kemampuan pemanfaatan SDA dan LH, dan kebudayaan yang memerlukan proses penyesuaian bagi kebudayaan tertentu termasuk Indonesia.

4. Perkembangan ruang lingkup Internasional.
Dalam dunia Internasional, Negara maju sangat besar pengaruhnya di bidang teknologi, pandangan dsb terhadap Negara berkembang termasuk Indonesia. Negara maju tersebut menempatkan "kebebasan mekanisme pasar" sebagai prinsip pokok. Dalam mekanisme ini, "harga" merupakan pedoman bagi kegiatan produksi dan konsumsi. Masalahnya, "harga" berlaku terhadap barang yang dimiliki perorangan (manusia/badan hukum/orang). Udara, air, taut, danau, hutan, berikut isinya tidak dimiliki orang, dan tersedia secara gratis "tanpa harga"

Teknologi produksi dan pola konsumsi tumbuh berkembang tanpa memperhitungkan pengaruhnya terhadap LH, termasuk SDA yang belum memiliki atau belum diketahui manfaatnya, sehingga luput dari perhitungan ekonomi pembangunan. Kemusnahannya tidak dirasakan sebagai suatu kerugian

Sejalan dengan cars pandang tersebut, maka pengelolaan alam tidak disertai upaya pembaharuan. Sampah, kotoran, pencemaran, limbah sebagai hasil kegiatan industri tidak termasuk perhitungan biaya perusahaan, yang kesemuanya itu dibuang secara gratis di muka bumi ini.

Kondisi ini menyebabkan berlangsungnya pembangunan (ekonomi) yang merusak LH (bukan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan). Jadi pembangunan menghasilkan kemajuan (ekonomi) yang disertai dengan degradasi LH (pencemaran dan kerusakan LH) (Hardjasoemantri, 1999: 49-52). Fenomena demikian ini bertolak belakang dengan filosofi PLH sebagaimana diharapkan (Mochtar Kusumaatmadja, 1975 & Emil Salim 1988), yakni pembangunan untuk meningkatkan taraf hidup manusia secara sosial budaya yang sekaligus memelihara keseimbangan LH, sehingga tetap mampu mendukung kehidupan umat manusia pada setiap tahap kemajuan yang dicapai secara lintas generasi. Masalah LH muncul, justru karena diantara pembangunan ekonomi (dalam arti luas) dengan PLH bukan soal pilihan satu diantara dua. Sekiranya pilihan yang dijadikan dasar, maka masalah LH dalam arti dan pemahaman kekinian menjadi tidak ada, setidaknya tidak menjadi masalah yang penting dalam setiap aktivitas manusia.