Masalah Lingkungan Hidup
Apa sesungguhnya Masalah LH itu? Intinya adalah ketidakstabilan LH, yakni terganggunya proses siklus ekosistem disebabkan adanya satu atau lebih unsur dari komponen ekosistem yang tidak
berfungsi secara normal (stabil dan dinamis), yang (secara langsung atau tidak langsung) menyebabkan terganggunya
komponen sosiosistem, dan/atau sebaliknya
yang menyebabkan degradasi pada dinamika dan stabilitas sosioekosistem sebagai suatu tatanan yang utuh. Dalam konteks ini, masalah LH dapat berupa masalah geologis, atau masalah antropogenik, atau gabungan dari keduanya (geologis dan antropologis secara
berakumulasi).
Kesepakatan tokoh hukum lingkungan
UI-UGM-Unair dan Unpad + L.Woltgens dan Th.G. Drupsteen dari
Amsterdam-Belanda, 12 Januari 1994,
klasifikasi masalah LH tersebut cukup disinggung sepintas lalu pada S1, dan diharapkan diperluas pada program S2. Dalam hal ini Munadjat Danusaputro memberikan suatu
pesan khusus, agar dosen hukum lingkungan berupaya memiliki/memahami: apa yang diajarkan; bagaimana cara mengajarkan; sumber;
dalil/apa pendapat tentang yang diajarkan; dan apa manfaatnya (Penulis dengan jujur mengemukakan disini, bahwa pesan itu belum dapat
dipenuhi, setidaknya sampai pada saat penulisan ini).
Guna keperluan praktis, pada garis besarnya kajian
masalah LH dapat dibagi ke dalam: (1) Umum; dan (2)
Indonesia.
(1) Masalah LH Secara Umum
Pembangunan, konkritnya
kegiatan manusia dalam menjalani dan memperbaiki hidup dan kehidupannya senantiasa
menggunakan unsur-unsur SDA dan LH , dan berlangsung pada LH tertentu. Kegiatan ini merupakan
tuntutan hidup yang sangat manusiawi bahkan merupakan suatu kemutlakan bila manusia
ingin tetap
eksist dalam kehidupan berbudaya ini secara wajar yang tidak boleh dipertentangkan
dengan tuntutan ekologi agar tetap stabil dan dinamis, dan bukan soal pilihan satu
diantara keduanya. Di sinilah berakar masalah LH yang hakiki (Kusumaatmadja,
1975 & Emil Salim, 1988).
Pembangunan tersebut dalam dirinya mengandung "perubahan besar" seperti perubahan struktur ekonomi,
struktur fisik wilayah; struktur pola konsumsi; dan tentunya struktur SDA dan LH, termasuk teknologi dan sistem nilai (KH, 1999:49). Dengan demikian, apabila perubahan-perubahan tersebut menimbulkan tekanan yang melampaui batas-batas keseimbangan/keserasian SDA dan LH, maka manusia telah menghadapi masalah LH. Sesaran
sederhana dapat dikatakan sebagai degradasi atau mundurnya
kualitas lingkungan (W&GD, 1992 & GD,1994). Kualitas lingkungan (LH) pada hakikatnya adalah nilai yang dimiliki
lingkungan untuk kesehatan manusia, keamanan
dan bentuk-bentuk penggunaan lainnya serta lingkungan hidup itu sendiri (nilai intrinnsik).
Adapun wujud atau bentuk masalah LH
dalam realitasnya dapat berupa pencemaran, atau perusakan, atau pencemaran dan perusakan LH secara bersamaan dan berakumulasi. Masalah LH ini dapat berupa pencemaran dan perusakan LH yang disebabkan oleh
tindakan manusia (masalah LH "antropologeniK'), dan juga dapat disebabkan oleh peristiwa alam
(masalah LH "geologis").
Sebagai catatan, bahwa yang dapat
dikendalikan oleh manusia, termasuk pengaturan dan penerapan hukumnya, hanyalah
masalah LH anntropogenik, yakni mengendalikan kegiatan manusia
yang berdimensi SDA/LH, dengan AMDAL, Penataan Ruang, Baku mutu, audit
lingkungan misalnya. Adapun yang
bersifat geologis, hanya dapat diupayakan agar akibatnya terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil, misalnya
membuat tanggul penahan lahar seperti di
lereng Merapi, dsb. Perkembangan hukum lingkungan
sendiri merupakan akibat timbulnya kesadaran tentang.
masalah lingkungan hidup dalam tahun-tahun tujuh puluhan (W&GD,1992)
Di sinilah antara lain letak pentingnya memahami (setidaknya mengenal) masalah LH ini dalam kajian/pelajaran hukum lingkungan,
yang merupakan dasar dan akar tumbuh dan berkembangnya
hukum lingkungan. "Hukum
lingkungan, bermula dari masalah lingkungan hidup" (SS Rangkuti, 13-1-1994). Substansi dan dasar pemikiran hukum lingkungan dapat
dihami secara lebih baik dengan adanya pemahaman (pengetahuan) pada akar-akarnya. Disini pulalah letak makna hukum
lingkungan sebagai "hukum fungsional.
Kembali kepada masalah LH
antropogenik, "semakin tinggi tingkat intentitas kegiatan manusia- yang umumnya
sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi dan iptek/kebudayaan yang dicapai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pencemaran dan perusakan LH tersebut, baik secara yuridis terlebih-lebih
secara ekologis (pencemaran atau perusakan LH secara yuridis menurut
system hukum lingkungan Indonesia atau UUPLH, tidak identik dengan
pencemaran atau perusakan LH secara ekologis atau fisik). Ini berarti
bahwa masalah LH secara prinsipil tidaklah menurun, melainkan semakin meningkat sesuai dengan hukum termodinamika I
& II serta asas-asas dalam kajian LH, kecuali dengan
kesadaran dan tindakan manusia yang berwawasan LH diwujudkan secara
berkelanjutan dengan belajar dari pengalaman dan sejarah pertumbuhan
yang dicapai peradaban manusia. Contoh:
1. Kasus Smog Los Angeles: Tahun 1950 an, Los Angeles mengalami "smog", yakni asap yang menebal yang
menyerupai kabut menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit misterius seperti yang
menyerang ayam, sapi, dan domba mati. Keadaan inilah yang mengilhami terbitnya buku "The Silent Spring" (Musim Semi
yang Sunyi).oleh Rachel Carson, 1962 yang menggambarkan betapa para petani
berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarganya, para dokter menyaksikan
penyakit baru yang muncul pada pasiennya, dll.
2. Kasus Minamata - Jepang (diulas secara
mendalam oleh Harada Masazumi, "Tragedi Minamata", 2005), yakni
timbulnya penyakit baru di Teluk Minamata Jepang, laporan 1955 dan 1956, yang menyerang manusia dan
hewan, seperti tulang penderita menjadi "rapuh", yang kemudian (1968) diketahui,
ternyata penyebabnya dari limbah industri, termasuk pupuk pertanian.
3. Global: Salah satu masalah
LH secara global yang dapat mengancam kehidupan umat manusia adalah "pemanasan
global", yakni naiknya intensitas "Efek Rumah Kaca" ("Greenhouse
Effect') yang disebabkan meningkatnya gas (C02) dalam atmosfir ("atmosphere") selimut bahan,
gas berupa udara, yakni bahan udara di sekeliling bumi (yang merupakan bagian tak
terpisahkan dengan "biosphere" dan "ecosphere" yang dapat
menunjang kehidupan) yang juga disebut "gas rumah kaca" (GRK). Dampak rumah kaca ini
pada prinsipnya diakibatkan pembakaran dalam berbagai kegiatan manusia (pabrik,
transportasi, dll). Catatan: Secara filosofis, sumber masalah LH (al): Tidak tahu, tidak
mampu, dan tidak peduli untuk mencegah/mengatasinya.
4. Negara maju dan Negara miskin: Meskipun secara ekologis
bumi ini dipandang sebagai satu ekosistem besar, namun adanya perbedaan karakteristik Negara -bangsa-bangsa- antara Negara- maju dengan Negara miskin/berkembang membawa pula karakteristik pada masalah lingkungan
hidup yang dihadapi masing-masing Negara yang bersangkutan. Negara "Maju": Masalah LH
yang dominan dihadapi Dunia/Negara-negara maju adalah pencemaran !_H pada SDA tanah, air dan udara akibat kemajuan
industri (dalam arti luas). Negara
"Miskin":, Masalah
LH yang dihadapi pada Dunia/Negara-negara
miskin atau berkembang didominasi oleh "perusakan" LH terutama pada lahan, hutan dsb, serta pencemaran LH dari limbah
domestik (miskin biaya dan iptek).
Jadi kemajuan dan keterbelakangan sama-sama menimbulkan masalah LH, meskipun dengan sumber penyebab dan karakteristik
yang berbeda.
Selain akibat perbuatan manusia, masalah LH juga dapat terjadi karena peristiwa alam
yang juga besar akibatnya pada kehidupan manusia (sosiosistem). Letusan gunung
api, gempa bumi dan Tsunami (gelombang pasang) merupakan bagian dari
peristiwa alam yang membawa masalah LH bahkan kemusnahan. Letusan Gunung
Tambora 1816, mengakibatkan (>) 90.000 orang meninggal; Letusan Gunung
Krakatau 1883; Letusan Gunung Merapi 1994; Tsunami NTT 1994; Bahorok
Sumatera Utara 2003, dan Gempa/Tsunami Aceh/Tailand/Srilangka 2004 yang
menyebabkan ratusan ribu jiwa meninggal, gempa bumi DIY dan beberapa daerah
selatan Jawa 27 Mei 2006, dll merupakan sebagian kecil dari begitu banyak
peristiwa alam yang membawa mala petaka bagi kehidupan manusia.
Semburan/banjir Lumpur panas Sidoarjo Jatim akhir 2005-sekarang juga
didominasi oleh faktor alam, meskipun terjadinya dengan campur tangan
manusia.
"Banjir” yang
sering terjadi akhir-akhir ini dan sangat merugikan kehidupan manusia
(desa-kota). Banjir bandang yang melanda DKI
Jakarta, Th. 2002 dan masih terus berlangsung, dan beberapa daerah lainnya (Depok, Bandung, Samarinda, dll)
merupakan bagian kecil dari fenomena ini. Sepintas adalah peristiwa alam, tetapi
sesungguhnya merupakan perpaduan (akumulasi) antara pengaruh aktivitas manusia dengan peristiwa alam, baik pada Negara maju maupun pada Negara berkembang/miskin. Penimbunan/bangunan pada situs kantong-kantong resapan air di daerah kota, dan semakin berkurangnya hutas secara
kuantitas dan kualitas akibat kegiatan manusia, merupakan
faktor penyebab fenomena ini.
(2) Masalah LH di
Indonesia
Mengakhiri uraian ini, dikemukakan
masalah LH yang aktual dihadapi dalam PLH Indonesia (Sumber utama Koesnadi
Hardjasoemantri, 1999: 49-52). Masalah LH dalam PLH Indonesia timbul
sebagai "pengaruh sampingan" dari aktivitas
manusia yang berdimensi LH, yang membawa "perubahan" besar pada komponen LH, baik fisik maupun sosial budaya, dengan kemungkinan "risiko"
LH yang timbul dan perubahan tersebut. Timbulnya masalah LH tersebut diakibatkan/ dipengaruhi oleh
4 faktor pokok, yaitu :
1. Perkembangan penduduk dan masyarakat;
Ciri
kependudukan Indonesia
adalah:
a. Jumlahnya makin bertambah;
b. Sebagian besar berusia muda (63% < 30 th - data 1993);
c. Tidak tersebar merata (Jawa-Madura 840 jiwa/km2, Kalimantan 18, Irian/Papua
7,5 jiwa/km2).
d. Jadi
ada yang jenuh, dan ada yang belum dimanfaatkan secara optimal; Sulawesi 69 jiwa/km2
e. Besarnya jumlah penduduk yang hidup/memperoleh pendapatan
di sektor pertanian (52,2% hidup di pedesaan -1993);
f. Tingginya tingkat pengangguran (2,2 jt = 2,79% -1993)
-sumber kerawanan sosial dan ekonomi.
2. Perkembangan SDA dan LH;
a. Permintaan akan
SDA (tanah-lahan dan air) menghadapi tekanan yang cukup besar akibat kepadatan penduduk (Jawa-Madura), dan tingkat pendapatan (Y)
yang rendah.
Sementara itu, lading perpindah (chifting
cultivation) di luar Jawa membawa 100.000 ha menjadi lahan
kritis/tahun.
b. Kemiskinan dan
keterbelakangan (penghayatan LH) mendesak keperluan untuk mencoba SDA secara tepat dan
efisien, sehingga kurang memperhatikan factor (kelestarian fungsi) LH.
c. Kemampuan alam menahan air
makin berkurang.
3. Perkembangan teknologi dan
kebudayaan; dan
Negara maju mengembangkan teknologi padat modal dan hemat tenaga
kerja sesuai dengan kondisi Negara yang bersangkutan, membawa pada penemuan teknologi baru, yang tidak/belum mampu dilakukan oleh Negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Teknologi membawa perubahan pada kemampuan
pemanfaatan SDA dan LH, dan kebudayaan yang memerlukan proses
penyesuaian bagi kebudayaan tertentu termasuk
Indonesia.
4. Perkembangan
ruang lingkup Internasional.
Dalam dunia Internasional, Negara maju
sangat besar pengaruhnya di bidang teknologi, pandangan dsb terhadap Negara
berkembang termasuk Indonesia. Negara maju
tersebut menempatkan "kebebasan mekanisme pasar" sebagai prinsip
pokok. Dalam mekanisme ini, "harga" merupakan
pedoman bagi kegiatan produksi dan konsumsi.
Masalahnya, "harga" berlaku terhadap barang yang dimiliki perorangan (manusia/badan hukum/orang). Udara, air, taut,
danau, hutan, berikut isinya tidak dimiliki orang, dan
tersedia secara gratis "tanpa harga"
Teknologi
produksi dan pola konsumsi tumbuh berkembang tanpa memperhitungkan pengaruhnya terhadap LH, termasuk SDA
yang belum memiliki atau belum diketahui manfaatnya,
sehingga luput dari perhitungan ekonomi pembangunan. Kemusnahannya
tidak dirasakan sebagai suatu kerugian
Sejalan dengan cars pandang
tersebut, maka pengelolaan alam tidak disertai upaya pembaharuan. Sampah, kotoran, pencemaran, limbah sebagai hasil kegiatan industri tidak termasuk perhitungan biaya perusahaan, yang
kesemuanya itu dibuang secara gratis di muka
bumi ini.
Kondisi ini menyebabkan berlangsungnya pembangunan
(ekonomi) yang merusak LH (bukan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan). Jadi pembangunan
menghasilkan kemajuan (ekonomi) yang disertai dengan degradasi LH (pencemaran
dan kerusakan LH) (Hardjasoemantri, 1999: 49-52). Fenomena demikian ini
bertolak belakang dengan filosofi PLH sebagaimana diharapkan (Mochtar
Kusumaatmadja, 1975 & Emil Salim 1988), yakni pembangunan untuk meningkatkan taraf
hidup manusia secara sosial budaya yang sekaligus memelihara
keseimbangan LH, sehingga tetap mampu mendukung kehidupan umat manusia pada
setiap tahap kemajuan yang dicapai secara lintas generasi. Masalah LH muncul,
justru karena diantara pembangunan ekonomi (dalam arti luas) dengan PLH bukan
soal pilihan satu diantara dua. Sekiranya pilihan yang dijadikan dasar, maka
masalah LH dalam arti dan pemahaman kekinian menjadi tidak ada,
setidaknya tidak menjadi masalah yang penting dalam setiap aktivitas manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini..