Pages

Pages

Jumat, 19 Oktober 2012

“ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL SERTA PENERAPANNYA (PEMBAHASAN TEORI DAN TINDAK PIDANA INTERNASIONAL)”



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
  
Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti: Friederich Meili pada tahun 1910 (Swiss) Georg Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman); Gerhard Mueller pada tahun 1965 (Jerman); J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen  pada tahun 1979 (Belanda), kemudian diikuti oleh para pakar hukum dari Amaerika Serikat seperti: Edmund Wise pada tahun 1965 dan Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat)[1].

        Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri menunjukkan adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hokum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional[2]. Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional teramat luas dan bahkan mempunyai 6 (enam) pengertian. Romli Atmasasmita lebih lanjut menyebutkan keenam pengertian Hukum Pidana Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut: 

 (1) Hukum Pidana Internasional dalam arti lingkup territorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;
(2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan  internbasional yang terdapat di dalam hukum pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally priscribel municipal criminal law);  
(3) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law);
(4) Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations);
(5) Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);
(6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material sense of the word[3]).

          Asumsi di atas menegaskan bahwa Hukum Pidana Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan tetapi juga meliputi aspek internasional baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta hukum pidana internasional dalam arti materil.

         Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional. Tegasnya, karena ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya adalah nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain, sehingga nampak adanya dua atau lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya, tentu ada banyak faktor yang menyebabkan terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara lainnya, maka nampaknya sifatnya yang transnasional. Lalu bagaimana sebenarnya asas-asas hukum pidana internasional melihat kejahatan tersebut? Di dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh.

1.2 Rumusan Masalah
     Adapun rumusan masalah dalam karya ilmiah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan asas-asas hukum pidana internasional?
2. Bagaimanakah penerapan asas-asas hukum pidana internasional?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini, antara lain :
1. Menjelaskan tentang pengertian asas-asas hukum pidana internasional;
2. Menjelaskan tentang penerapan asas-asas hukum pidana internasional

1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini, antara lain : 
1. Dapat menjelaskan tentang pengertian asas-asas hukum pidana internasional;
2. Dapat menjelaskan tentang penerapan asas-asas hukum pidana internasional.

 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Pengertian Asas Hukum 

Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Dalam bahasa Inggris, kata " asas " diformatkan sebagai " principle ", sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga pengertian kata " asas": 1) hukum dasar, 2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat) dan 3) dasar cita- cita. peraturan konkret ( seperti undang- undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.
  
Tentang batasan pengertian asas hukum ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu:
-  Pendapat Bellefroid, asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan- aturan yang lebih umum.
-  Pendapat van Scholten, asas hukum adalah kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat- sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
- Pendapat van Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
-   Pendapat van der Velden, asas hukum adalah tipe putusan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku.
 
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Atau lebih ringkasnya, asas hukum merupakan latar belakang dari terbentuknya suatu hukum konkrit.

2.2    Pengertian Pidana Internasional

Schwaarzenberger memberikan enam pengertian tentang hukum pidana internasional. Keenam pengertian hukum pidana internasional tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional (International criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal law);


Hukum pidana internasional yang memiliki lingkup kejahatan-kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melaksanakan penangkapan, penahanan, dan peradilan atas pelaku-pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada jurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut.

2. Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally prescribed municipal criminal law);

 
Hukum pidana internasional yang menyangkut kejadian suatu negara yang terikat pada hukum internasional, berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan yang ditetapkan dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional (treaties) atau dari kewajiban negara-negara yang diatur dalam hukum kebiasaan internasional.
 
3. Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorized municipal criminal law);
 
Hukum pidana internasional adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional yang memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan atas tindak pidana tertentu dalam batas jurisdiksi kriminalnya, dan memberikan kewenangan untuk menerapkan jurisdiksi kriminal di luar batas teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional. Tindak pidana tertentu menurut hukum internasional ini adalah piracy dan war crimes.
 
4. Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam masyarakat bangsa yang beradab (international criminal law in the meaning of municipal criminal law common to civilized nations);
 
Hukum pidana internasional adalah ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan masyarakat internasional.
 
5. Hukum pidana internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);

Hukum pidana internasional adalah semua aktifitas atau kegiatan hukum pidana nasional yang memerlukan kerja sama antar negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.

6. Hukum pidana internasional dalam arti kata material (international criminal law in the material sense of the word);
 
Hukum pidana internasional adalah mengenai objek hukum pidana internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti piracy, agression, war crime, genocide, dan lalu lintas perdagangan narkotika.

Bassiouni menyatakan bahwa, “International criminal law is a product of the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are: the criminal law aspect of international law and the international aspect of national criminal law.” (Terjemahan bebasnya adalah: hukum pidana internasional adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari hukum internasional dan aspek-aspek internasional dari hukum pidana nasional). Bassiouni menegaskan bahwa aspek pidana di dalam hukum pidana internasional adalah aspek-aspek sistem hukum internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang dilakukan oleh perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau kolektif atau kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan pidana. 

Bassiouni selanjutnya mengatakan bahwa, “A study of the origins and development of the criminal aspect of international law reveals that it deals essentially with substantie international criminal law or international crimes.” (Terjemahan bebasnya: suatu studi mengenai asal mula dan perkembangan aspek-aspek pidana dari hukum internasional, pada hakikatnya mengungkapkan bahwa hal itu berkaitan dengan substansi hukum pidana internasional atau kejahatan-kejahatan internasional). Definisi pertama hukum pidana internasional di atas, menunjuk pada apa yang disebut komponen substantif hukum pidana internasional (substantive component of international law) atau yang disebut international crimes atau kejahatan internasional atau tindak pidana internasional. Sedangkan definisi yang kedua hukum pidana internasional menunjuk pada komponen prosedural atau procedural component yaitu metoda aplikasi hukum pidana internasional.

2.3 Pengertian Pengadilan Pidana Internasional 
 
Pengadilan pidana internasional atau dalam bahasa Inggris di sebut internasional criminal court (ICC) merupakan lembaga hukum independen dan permanen yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara internasional untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap bentuk kejahatan menurut hukum internasional diantaranya genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Pada tahun 1948, perserikatan bangsa-bangsa (PBB) telah menyadari perlunya untuk mendirikan suatu pengadilan internasional. Untuk menuntut kejahatan-kejahatan seperti permusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok (genocide atau genosida). Dalam resolusi 260 pada tanggal 9 december 1948, majlis umum PBB menyatakan sebagai berikut :
 
“recognizing that at all periods of history genocide has inflictad great losses on humanity, and being convinced that, in order to librate mankind from such an odius scourge, internasional cooperasion is requid”.
 
Setelah itu, suatu komite persiapan telah memulai kerjanya. Yang di mulai pada awal 1999. Untuk mempersiapkan usulan-usulan yang berkaitan dengan persiapan-persiapan praktis yang berkaitan dengan akan di mulai berlakunya statuta ketika telah 60 negara meratifikasinya dan untuk pendirian mahkamah tersebut. Suatu komisi mulai membahas materi-materi yang berkaitan dengan unsur-unsur kejahatan, aturan-aturan kejahatan, aturan prosedur dan pembuktian.
 
Sekitar 50 tahun setelah keluarnya resolusi tersebut Pada bulan Juli 1998 di Roma Italia konferensi diplomatis mengesahkan Statuta Roma tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21abstein). Statuta Roma menjelaskan apa yang dimaksud dengan kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja sama dengan ICC. Ratifikasi ke-60 yang diperlukan untuk membentuk ICC telah dilakukan pada tanggal 11 April 2002 dan Statuta mulai dilaksanakan yuridiksinya pada tanggal 1Juli 2002. Pada bulan Pebruari 2003, 18 hakim ICC pertama kali diangkat dan Jaksa Penuntut pertama dipilih pada bulan April 2003.

BAB 3
METODE PENULISAN

3.1  Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah penulisan yang bertumpu kepada studi kepustakaan. Menurut bentuknya, penulisan ini adalah penulisan prespkriptif, menurut tujuannya adalah pembahasan substantif share, sedangkan menurut penerapannya adalah penulisan berfokus masalah, dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah penelitian muonodisipliner.

3.2  Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penulisan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini.
Bab II : Tinjauan pustaka yang menyajikan pengertian dasar yang diperoleh dari literatur-literatur yang telah dikumpulkan.
Bab III : Metode penulisan disajikan dengan menggunakan teknik penulisan, sistematika penulisan, pengumpulan dan pengolahan data.
Bab IV : Pembahasan yang berisi analisis permasalahan berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan secara runtut.
Bab V : Penutup berisi kesimpulan dan saran sebagaimana akhir penulisan yang diselaraskan dengan kerangka pemikiran sebelumnya.

3.3   Jenis dan Sumber Data 

Jenis dan sumber data yang digunakan oleh penulis dibagi menjadi dua jenis yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Data Primer adalah data-data faktual yang diambil secara langsung oleh penulis dari berbagai pihak terkait dengan tema yang diangkat oleh penulis. Sedangkan Data Sekunder adalah data yang diambil dari beberapa referensi baik berupa artikel, karya ilmiah, buku dan sebagainya, yang merupakan sumber tambahan sebagai pelengkap ataupun penguat Data Primer.

3.4   Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode penelitian kepustakaan, buku-buku, jurnal ilmiah literature research, media massa serta situs internet yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Data diolah dengan teknik content analisis untuk menghasilkan kesimpulan.

3.5   Analisis Data

Data-data yang telah dikumpulkan oleh penulis kemudian dianalisa dari berbagai segi. Penganalisaan data dilakukan berdasarkan sinkronisasi data dengan tema yang diangkat oleh penulis, keobyektifan data, kefaktualan data,  kesesuaian data yang diambil dari berbagai sumber dan sebagainya. Tujuan penganalisaan data ini adalah agar data yang kemudian dimasukkan dalam karya tulis  ini memiliki landasan yang cukup kuat untuk dipertanggungjawabkan oleh penulis.
 
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Hukum Humaniter Internasional

Istilah hukum humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war). Dalam perkembangannya kata-kata perang (war) menimbulkan ketakutan yang mendalam, sehingga timbul istilah baru yaitu pertikaian bersenjata (arm conflict) untuk menggantikan istilah perang sekalipun perang masih terjadi di mana-mana. Sesudah perang dunia II dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Sikap tersebut berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict).
 
Dalam perkembangan selanjutnya yaitu permulaan abad ke-20 diusahakan untuk mengatur cara berperang yang dalam penyusunannya dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi asas kemanusiaan (humanity principle), yang pada akhirnya istilah laws of armed conflict mengalami pergeseran dengan istilah baru International Humanitarian Law Aplicable in Armed Conflict, yang kemudian sering disingkat dengan istilah international humanitarian law atau hukum humaniter internasional.

Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda yaitu hukum perang, hukum sengketa bersenjata, hukum perikemanusiaan internasional, Hukum Humaniter Internasional (HHI), tetapi semua istilah itu mempunyai arti yang sama yaitu mengatur tentang tata cara dan metode perang serta perlindungan terhadap korban-korban perang.

Adapun pengertian perang oleh Francois didefinisikan sebagai keadaan hukum antara negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Sedangkan Oppenheim mendefinisikan perang sebagai persengketaan antara dua negara dengan maksud menguasai lawan dan membangun kondisi perdamaian seperti yang diinginkan oleh yang menang[4]

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu:
a. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag)
b. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa)

Sedangkan Mochtar Kusumaadmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
a. Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan;
b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
- Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Disebut The Haag Laws.
- Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Disebut The Geneva Laws.

4.1.1   Pengertian Hukum Humaniter

Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation dan Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.

Berikut adalah beberapa pengertian hukum humaniter menurut :

a. Mochtar Kusumahadmadja
Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melaksanakan perang itu sendiri. Batasan Hukum Humaniter Internasional adalah hukum yang mengatur ketentuan yang memberi perlindungan terhadap korban perang, yang berbeda dengan hukum perang yang mengatur tentang perang tersebut.

b. International Committee Of The Red Cross (ICRC)
Hukum Humaniter Internasional sebagai ketentuan hukum internasional yang terdapat dalam perjanjian internasional maupun kebiasaan, yang dimaksudkan untuk mengatasi segala masalah kemanusiaan yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional atau non internasional. Ketentuan tersebut membatasi, atas dasar kemanusiaan, hak pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan senjata dan metode perang, dalam melindungi orang maupun harta benda yang terkena pertikaian bersenjata.

c. Geza Herczegh
International humanitarian law hanyalah terbatas pada Hukum Jenewa saja, karena konvensi inilah yang mempunyai sifat internasional dan humaniter.

d. Jean pictet
International humanitarian law in the wide sense is contitusional legal provition, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.

e. Esbjorn Rosendbland
Hukum humaniter internasional mengadakan pembedaan antara : the law of armed conflict, yang berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian, pendudukan wilayah lawan, hubungan pihak pertikaian dengan negara netral. Sedangkan law of warfare ini antara lain mencakup : metode dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, kombatan dan orang sipil.

f. Panitia Tetap Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.

g. Palang Merah Indonesia (Brosur PMI)
Hukum perikemanusiaan internasional atau juga dikenal dengan hukum humaniter internasional merupakan bagian dari hukum internasional publik yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata baik internasional maupun non internasional.

Dari semua definisi tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hukum Humaniter Internasional yaitu, ketentuan hukum yang berasal dari perjanjian internasional atau kebiasaan internasional yang mengatur tata cara dan metode berperang serta perlindungan terhadap korban perang, yang bertujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul karena pertikaian bersenjata baik yang bersifat internasional maupun yang bersifat non internasional.

4.1.2        Asas-Asas Hukum Humaniter

Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan[5]. HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut[6].

a. Asas kepentingan militer
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.

b. Asas Perikemanusiaan
Menurut asas ini pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.

c. Asas kesatriaan
Berdasarkan asas ini bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang.

Dalam situasi sengketa bersenjata pihak lawan diperbolehkan untuk menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan lawannya supaya kemenangan berada di pihaknya. Tetapi harus memperhatikan berbagai asas yang lain yaitu harus memperhatikan asas perikemanusiaan dan asas kesatriaan, yaitu perang harus dilaksanakan dengan jujur dan harus memperhatikan aspek kemanusiaan.

Menurut Rina Rusman, Legal Adviser pada ICRC, Jakarta, dalam HHI ada prinsip-prinsip HHI yang fundamental. Prinsip tersebut yaitu[7]:

a. Prinsip Kemanusiaan
Prinsip-Prinsip kemanusiaan ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metoda berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata.

Mahkamah Internasional PBB menafsirkan prinsip kemanusian sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia dimanapun ditemukan. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Prinsip ini bermanfaat untuk meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerjasama dan perdamaian yang berkelanjutan diantara semua rakyat sehingga tidak menciptakan diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas atau politik. Prinsip ini dimaksudkan untuk melepaskan penderitaan, memberikan prioritas kepada kasus-kasus-kasus keadaan susah yang paling mendesak.

b. Necessity ( keterpaksaan)
Walaupun HHI telah menetapkan bahwa yang dapat dijadikan sasaran serangan dalam pertempuran hanyalah sasaran militer atau obyek militer, terdapat pula ketentuan HHI yang memungkinkan suatu obyek sipil menjadi sararan militer apabila memenuhi persyaratan tertentu. Dengan demikian, prinsip keterpaksaan adalah ketentuan yang menetapkan bahwa suatu obyek sipil hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi persyaratan tertentu.

c. Proporsional (Proportionality)
Menurut prinsip proporsional, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa, luka-luka, ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan keuntungan militer yang diharapkan langsung dari serangan tersebut.

d. Distinction (pembedaan)
Semua pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata harus membedakan antara peserta tempur (kombatan) dengan orang sipil. Oleh karena itu, setiap kombatan harus membedakan dirinya dari orang sipil, karena orang sipil tidak boleh diserang dan tidak boleh ikut serta secara langsung dalam pertempuran. Tujuan dari prinsip pembedaan ini adalah untuk melindungi orang sipil.

e. Prohibition of causing unnecessary suffering (prinsip HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya).
Ketentuan HHI tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya, sering disebut sebagai principle of limitation (prinsip pembatasan). Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketentuan yang menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.

f. Pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello.
Pemberlakuan HHI sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para Pihak yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang tersebut.

Contoh tentang pemisahan ius ad bellum dengan ius in bello dapat dilihat dalam Keputusan Prosecutor of the International Crime tribunal for Yugoslavia (ICTY) tanggal 14 Mei 1999 berdasarkan Pasal 18 Statuta ICTY. Keputusan tersebut adalah tentang pembentukan suatu komite yang diberi mandat untuk memberikan advis kepada Prosecutor mengenai apakah ada dasar yang cukup untuk melakukan investigasi atas dugaan adanya pelanggaran HHI dalam serangan udara yang dilakukan NATO di Yugoslavia. Terlepas dari isi laporan komite tersebut, keputusan Prosecutor tersebut menunjukkan pengakuan tentang prinsip pemisahan antara ius ad bellum dengan ius in bello. Dalam hal ini terlihat bahwa walaupun penggunaan kekerasan oleh NATO mungkin dibenarkan berdasarkan Bab VIII Piagam PBB, tetapi tidak berarti bahwa HHI menjadi tidak berlaku.

g. Ketentuan minimal HHI.
HHI telah dilengkapi dengan ketentuan minimal yang harus diberlakukan dalam setiap situasi konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non internasional. Ketentuan minimal yang dimuat di Pasal 3 ketentuan yang sama dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (Pasal yang bunyinya dalam semua Konvensi Jenewa I s/d IV).

Masing-masing prinsip HHI ini bersumberkan tidak pada satu macam sumber HHI saja, melainkan dari bermacam sumber. Prinsip-prinsip tersebut, sebagai bagian dari suatu sistem HHI, satu sama lainnya bersifat saling melengkapi, menjelaskan dan membantu penafsirannya.

4.1.3   Tujuan Hukum Humaniter

Pertikaian bersenjata merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, oleh karena itu hukum humaniter tidak bermaksud menghalangi perang. HHI disusun untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Bedjaoui, bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiaakan perang. Di samping itu ada beberapa tujuan hukum humaniter yaitu[8]:

(1) Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
(2) Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh berhak diperlakukan sebagai tawanan perang dan harus dilakukan secara manusiawi;
(3 ) Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini yang penting adalah asas perikemanusiaan.

Jadi tujuan dari hukum humaniter internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada korban perang, menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) dan mencegah dilakukannya perang secara kejam. Hukum humaniter internasional lebih ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, yaitu mengurangi penderitaan setiap individu dalam situasi konflik bersenjata.

Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”. Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Salah satu pengadilan internasional yaitu  Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berwenang dibidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.

4.2 Hukum Pidana Internasional

Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional. Oleh karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum tersebut. Selain itu, Hukum Pidana dan hukum pidana internasional bersifat komplementaritas satu sama lain,sekalipun keduanya dapat dibedakan. Hukum pidana internasional telah mengatasi kelemahan-kelemahan hokum pidana yang merupakan hukum positif khususnya menghadapi kejahatan lintas batas territorial.
 
Para Ahli hukum memiliki perbedaan pandangan tentang definisi hukum pidana internasional dan tergantung dari latar belakang keahliannya[9]. Diantara beberapa definisi  tersebut Bassiouni telah mengemukakan satu definisi sebagai berikut:

“International Criminal Law is a product the convergence of two different legal disciplines which have emerged and developed along different paths to become complementary and coextensive. They are:the criminal law aspects of international law and the international aspects of national criminal law”.

Aspek hukum pidana nasional  terhadap hukum internasional merujuk kepada konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan[10]; aspek hukum internasional terhadap hukum pidana nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hokum pidana internasional[11].
 
Keterkaitan dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang sama menyebabkan Bassiouni mengatakan bahwa, hokum pidana internasional sebagai, “ a complex legal discipline” yang terdiri dari beberapa komponen yang terikat oleh hubungan fungsional masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai satu nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin hukum tersebut adalah, hukum internasional, hukum pidana nasional, perbandingan hukum dan prosedur, serta hokum humaniter internasional dan regional[12].

 Aspek pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan internasional  dan prinsip-prinsip umum hokum internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International Court of Justice (ICJ) termasuk:  kejahatan internasional; unsur-unsur pertanggungjawaban pidana internasional; aspek prosedur penegakan hukum langsung(direct enforcement system); dan aspek prosedur penegakan hukum tidak langsung (indirect enforcement system). Aspek internasional dari hukum pidana nasional meliputi: norma-norma yurisdiksi ekstrateritorial; konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara maupun antara negara dan badan-badan internasional dibawah naungan PBB; dan penegakan hukum tidak langsung[13].

Bassiouni mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana internasional maka disiplin hukum ini pada intinya merupakan cross fertilization  aspek pidana dari hokum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana nasional.  Remmelink mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Bassiouni dengan mengatakan sebagai berikut:

Karena dalam hal seperti ini ( pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi atau Straftaanwendingsrecht/Strafanwendungsrecht atau strafmachtsrecht) ..berurusan dengan pemberlakuan hukum  pada persoalan yang mengandung unsure asing, bagian hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional, sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial sebenarnya bagian dari hukum nasional. Hanya objek kajiannya yang bersifat internasional”[14].

Selain hukum pidana yang membahas soal yurisdiksi negara lain (unsure asing) juga ada bagian hukum pidana yang membahas implementasi sanksi norma-norma perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional atau bagian hukum pidana internasional substantive[15].
 
Pendapat Remmelink menegaskan bahwa hukum pidana internasional esensinya adalah hukum (pidana)nasional, bukan hukum internasional, dan sering diterjemahkan sebagai hokum antar bangsa antara lain dengan pembentukan Mahkamah Tribunal di Nuremberg dan Tokyo.
 
Bassiouni masih belum secara tegas mengatakan hokum pidana internasional adalah bagian dari hukum internasional atau dari hukum nasional melainkan menegaskan sebagai “cross fertilization” dari banyak komponen yang merupakan hubungan fungsional (functional relationship). Namun jika diteliti pendapat Bassiouni mengenai disiplin hukum terkait yang merupakan hokum pidana internasional: hukum internasional; hukum pidana nasional; perbandingan hukum pidana dan hukum acara pidana; dan hokum humaniter internasional dan regional; maka esensinya mencerminkan bahwa disiplin hukum internasional lebih dominan daripada hukum nasional. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bassiouni bahwa, aspek substantive dari hukum pidana internasional adalah mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan transnasional dan internasional.

4.2.1 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional

Hukum pidana internasional sendiri bersumber dari dua bidang hukum yaitu, hukum internasional mengenai masalah-masalah pidana dan hukum pidana nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional[16]. Oleh karena itu, maka asas-asas hukumnya pun juga bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum tersebut. Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan dibahas satu persatu dibawah ini dan selanjutnya akan dibahasa hubungan antar keduanya serta bagaimana perwujudannya dalam bentuk kaidah-kaidah hukum pidana internasional dasn akhirnya bagaimana seharusnya Negara-negara menyikapinya.

4.2.1.1 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional yang Berasal dari Hukum Pidan

Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan  kesamaan derajat Negara-negara. Selanjutnya dari asas-asas tersebut yang paling utama ini dapat diturunkan beberapa asas lainnya yang secara umum sudah diakui didalam teori maupun praktek hukum dan hubungan internasional. Masing-masing asas tersebut meliputi :

a.       Asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat negara-negara
Asas inilah yang menempatkan negara-negara di dunia ini tanpa memandang besar ataupun kecil, kuat ataupun lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan hukum internasional. Turunan asas-asas ini meliputi:
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai ,
- Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
- Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
- Dan lain-lain.

Dari asas-asas inilah selanjutnya dapat diturunkan kaidah-kaidah hukum internasional yang lebih konkrit dan positif yang mengikat dan diterapkan terhadap subyek-subyek hukum internasional pada umumnya dan Negara-negara pada khususnya yang terlibat dalam suatu peristiwa hukum internasional.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana internasional, kaidah hukum pidana internasional yang secara konkrit dapat dirumuskan adalah, berupa larangan bagi suatu Negara untuk melakukan penangkapan secara langsung atas seseorang yang sedang berada di wilayah Negara lain yang diduga telah melanggar hukum pidana nasionalnya, kecuali Negara yang bersangkutan menyetujuinya, sebab tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara. Salah satu contoh pelanggaran asas ini adalah tindakan Israel yang menculik Adolf Eichmann untuk membawa dan mengadili beliau di Israel.

b.      Asas non-intervensi
Menurut asas ini, suatu Negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri Negara lain, kecuali Negara itu menyetujuinya secara tegas. Jika suatu Negara, misalnya, dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang gerjadi didalam suatu Negara lain tanpa persetujuan Negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi. Contoh konkrit dari pelanggaran asas non-intervensi adalah tindakan Israel mengintervensi Libanon pada tahun 1984 dan tindakan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menyerbu Irak pada tahun 2004.

c.       Asas hidup berdampingan secara damai
Asas ini menekankan kepada Negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik secara internal maupun eksternal, supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secar damai, saling menghargai antara satu dengan yang lainnya. Apabila ada masalah atau sengketa yang timbul, antara dua atau lebih Negara, supaya diselsaikan secar damai. Wujud dari asas hidup berdampingan secara damai adalah dapat dilihat dari pengaturan masalah-masalah internasional baik dalam ruang lingkup global, regional, maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur masalah-masalah tertentu dalam perjanjian internasional.

d.      Asas penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
Asas ini membebani kewajiban kepada Negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara-negara atau seseorang tidka boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Contoh, sebuah Negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum pidana, seperti undang-undang anti terorisme, dan lain-lain. Tidak boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Hal ini sudah tertuang dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1987 atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Anti Penyiksaan, adalah salah satu contoh konvensi dalam bidang hukum pidana internasional yang secara langsung berkenaan dengan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

4.2.1.2 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional yang Berasal dari Hukum Pidana Nasional Negara-Negara 

Asas-asas hukum pidana nasional Negara-negara pada dasarnya tidak berbeda antara astu dengan yang lainnya. Dua asas utama dalam hukum pidana nasional Negara-negara adalah asas legalitas (asas nullum delictum dan asas culpabilitas. Dari kedua asas ini diturunkan beberapa asas lainnya dari hukum pidana nasional. Asas hukum pidana nasional yang diturunkan dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas ne bis in idem.

a.       Asas legalitas
Asas legalitas yang dikenal juga dengan nama asas nullum delictum noela poena sine lege……sebagai salah satu asas utama di dalam hukum pidana nasional Negara-negara, pada hakekatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu perundangan-undangan pidana nasional. Tegasnya, seseorang untuk dapat diadili dan atau dijatuhi hukuman atas perbuatannya jika terbukti bersalah ataupun dibebaskan dari tuntutan pidana jika tidak terbukti bersalah, haruslah didasarkan pada pada adanya undang-undang pidana yang ada dan berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.

b.      Asas non-retroactive
Asas non-retroactive ini merupakan turunan dari asas legalitas. Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah Negara menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. 

c.       Asas culpabilitas
Asas ini yang juga merupakan salah satu asas utama dari hukum pidana nasional Negara-negara menyatakan, bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas peraturan perundang-undangan pidana yang didakwakan kepadanya melalui proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu. Sebaliknya jika kesalahannya tidak berhasil dibuktikan, maka dia harus dibebaskan, dari tuntutan pidana.

d.      Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent)
Menurut asas ini, seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana harus diperlakukan sebagaimana layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, denagn segala hak asasi manusia yang melekat pada dirinya.

e.       Asas ne/non bis in idem
Asas ini menegaskan, bahwa orang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili dan atau diajtuhi putusan untuk yang kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut. Dengan perkataan lain, seseorang tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan yangdialkukannya. Adapun dasar pertimbangannya adalah, karena dia akan sangat dirugikan dan terhadapnya tidak diberikan jaminan kepastiqan hukum.

Perlu ditegaskan disini, bahwa putusan badan peradilan itu bisa saja berupa putusan penghukuman ataupun putusan pembebasan atau pelepasan terhadap dirinya. Jika dia sudah diputuskan dengan sanksi pidana tertentu dan sudah selesai dilaksanakan, maka sesudahnya dia akan kembali seperti orang biasa pada umumnya, dengan segala hak dan kewajibannya.

Kewajiban suatu Negara (termasuk badan peradilannya) untuk menghormati Negara lain (termasuk badan peradilan dan perutusannya), berdasarkan pada asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan, derajat Negara-negara. Seperti telah dikemukakan diatas. Tegasnya, setiap Negara wajib menghormati segala apa yang dilakukan oleh suatu Negara di dalam batas-batas wilayahnya. Termasuk dalam mengadili dan memutuskan suatu kasus yang dilakukan oleh badan peradilannya. Oleh karena itu, proses pemeriksaan suatu perkara dihadapan badan peradilan nasionalnya serta putusannya sendiri juga harus dihormati. Jika ini dilanggar, maka sama artinya dengan tidak menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara. 

4.2.1.3    Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Yang Benar-Benar Mandiri

Asas-asas Hukum Pidana Internasional yang benar-benar mandiri dihasilkan melalui kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah konvensi internasional, yakni perjanjian london 8 Agustus 1945 yang juga merupakan Piagam atau Charter dari Mahkamah Militer Internasional (International Military Tribunal) di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946 maupun yang menjiwai putusannya dalam kasus-kasus pengadilan atas penjahat perang pada waktu Perang Dunia II,  Ada tujuh prinsip atau asas yang ditetapkan dalam perjanjian ini. Pada kurun waktu tersebut perjanjian ini dipandang sebagai langkah progresif, dimana sebelumnya individu / orang perorangan tidak pernah dimintakan pertanggung jawaban secara internasional atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya berdasarkan hukum internasional (crimes under international law).

Prinsip atau asas hukum dalam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg kemudian diadopsi oleh Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) dalam sidang kedua tahun 1950, yang disampaikan kepada Majelis Umum PBB namun tidak ada tindak lanjut yang jelas tetapi kini telah diakui sebagai prinsip-prinsip atau asas-asas hukum pidana internasional.

Sejak berlakunya perjanjian London 1945 ini ditindak lanjuti dengan pembentukan Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan Tokyo 1946 serta putusan-putusan yang telah dikeluarkan, kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional secara de jure dan de facto dikukuhkan sebab dapat dimintakan pertanggung jawaban secara langsung pada tataran internasional melalui badan peradilan pidana internasional (Pengadilan Nurenberg dan Tokyo, dan diperkuat dengan pembentukan badan pengadilan internasional ad hoc, seperti Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex-Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, dan berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma 1998. Ketujuh prinsip atau asas hukum pidana internasional sebagaimana terdapat didalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 yang diformulasikan pada tahun 1950 yaitu :

Principle I :
Any person who commits an act which constitutes a crime under internasional law is responsible therefor and liable to punishment. (Setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional harus bertanggung jawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman).

Principle II :
The fact that internal law does not impose a penalty for an act which constitutes a crime under international law does not relieve the person who committed the act from responsibility under international law. (Suatu kenyataan bahwa hukum nasional atau domestik tidak memaksakan suatu hukuman terhadap suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan yang telah melakukan perbuatan tersebut dari pertanggung-jawabannya berdasarkan hukum internasional).

Principle III :
The fact that a person who committed an act which constitutes a crime under international law acted as a Head of State or responsible Government official does not relieve him from responsibility under international law. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional bertindak sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggung jawaban berdasarkan hukum internasional).

Principle IV :
The fact that a person acted persuant to order of his Government or of a superior does not relieve him from responsibility under international law, provided a moral choice was in fact possible to him. (suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perintah dari pemerintahnya atau dari kekuasaan yang lebih tinggi, tidaklah membebaskannya dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional, sepanjang masih ada perimbangan moral yang dapat dipilihnya).
Principle V :
Any person charged with a crime under international law has the right to a fair trial on the facts and law. (seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional mempunyai hak atas peradilan yang fair atau tidak memihak atas fakta-fakta dan hukumannya).

Priciple VI :
The crime hereinafter set out are punishable as crimes under international law (kejahatan-kejahatan dibawah ini yang dapat dihukum sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional, adalah) :

(a) Crimes againts peace (Kejahatan terhadap perdamaian) :
i.     Planning, preparation, initiation or waging of a war of aggression or a war in violation of international treaties, aggreements or assurances (Perencanaan, persiapan, berinisiatif, atau mengobarkan perang agresi atau perang yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian, persetujuan-persetujuan, atau penjaminan-penjaminan internasional);
ii.   Partisipation in a common plan or conspiracy for the accomplishment of any of the acts mentioned under (i) (berpartisipasi dalam perencanaan bersama atau berkonspirasi dalam perbuatan-perbuatan yang ditentukan dalam butir (i)) ;

(b)     War crimes (Kejahatan perang) :
Violations of the laws or customs of war which include, but are not limited to, murder, ill-treatment or deportation to slave labour or for any other purpose of civilian population of or in occupied terrirtory; murder or ill-treatment of prisoners of war, of persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private property, wanton destruction of cities, towns, or villages, or devastation not justified by military necessity.(Pelanggaran-pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan dalam perang, yang termasuk didalamnya, tetapi tidak terbatas pada pembunuhan, perlakuan sewenang-wenang atau pendeportasian terhadap tenaga kerja budak atau untuk tujuan lain dari penduduk sipil dari atau di wilayah pendudukan, pembunuhan atau perlakuan sewenang-wenang terhadap tawanan perang, orang-orang yang sedang berlayar dilaut, membunuh sandera, pengrusakan atas properti milik pribadi ataupun umum, perusakan brutal atas kota-kota besar maupun kecil, desa-desa, atau tindakan pengrusakan yang tidak dibenarkan berdasarkan kebutuhan militer) ;

(c)      Crimes againts humanity (Kejahatan terhadap kemanusiaan) :
Murder, extermination, enslavement, deportation and other inhuman acts done againts any civilian population, or persecutions on political, racial or religious grounds, when such acts are done or such persecutions are carried on in execution of or in connexion with any crime againts peace or any war crimes. (Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pendeportasian, dan perbuatan perbuatan lain yang tidak berprikemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil, atau penyiksaan atas dasar alasan politik, ras atau agama, apabila perbuatan atau penyiksaan itu dilakukan dalam hubungan dengan suatu kejahatan terhadap perdamaian atau suatu kejahatan perang).

Priciple VII :
Complicity in the commission of a crime againts peace, a war crime, or a crime againts humanity as set forth in principle VI is a crime under international law (Keterlibatan dalam suatu perbuatan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditentukan dalam Prinsip VI adalah merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional).

Prinsip I
Di dalam Prinsip I secara tegas dinyatakan beberapa butir penting yang perlu ditelaah secara lebih mendalam, yaitu :
a) Orang atau individu sebagai pelaku kejahatan;
b) Kejahatan yang dilakukannya tergolong sebagai kejahatan berdasarkan hokum internasional;
c) Individu si pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional itu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya;
d) Sebagai individu yang harus bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukannya, maka individu tersebut dapat dikenakan hukuman.

Mengenai orang atau individu, adalah setiap orang atau individu, tanpa memandang apapun kedudukannya. Dia bisa seorang kepala negara, kepala pemerintahan, ataupun pejabat tinggi sipil maupun militer, bahkan orang-perorangan biasapun juga termasuk. Semuanya bisa saja melakukan kejahatan baik secara sendiri-sendiri, secara bersama-sama, ataupun yang satu sebagai pelaku utama, yang lain sebagai turut serta, ataupun sebagai pembantu saja.

Kejahatan-kejahatan berdasarkan hukum internasional (Prinsip VI) adalah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika kejahatan yang dilakukannya tidak termasuk dalam hukum internasional maka sepenuhnya tunduk pada hukum pidana nasional.

Pertanggungjawaban atas kejahatan atau perbuatan yang dilakukannya berdasarkan hukum internasional adalah tanggung jawab pidana (kriminal), prosedurnya dengan mengajukannya sebagai terdakwa dihadapan badan peradilan pidana internasional. Tetapi jika atas perbuatannya (kejahatan berdasarkan hukum internasional) itu sudah diatur didalam hukum pidana nasional negara-negara, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas perbuatannya itu dan juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk menerapkan hukum pidana nasionalnya, dapat mengadili sendiri berdasarkan hukum pidana nasionalnya.

Setelah orang atau individu bersangkutan dimintakan pertanggung jawaban dihadapan badan peradilan (nasional ataupun internasional) melalui proses peradilan yang adil, fair, dan tidak memihak, maka sebagai konsekuensinya jika ia terbukti bersalah maka dijatuhi hukuman, jika tidak terbukti bersalah maka dia akan dibebaskan dari tuntutan hukum. Adapun tempat menjalani hukuman jika yang mengadili adalah badan peradilan pidana nasional suatu negara maka dinegara itulah ia menjalani hukuman, sedangkan jika yang mengadili adalah badan peradilan pidana internasional maka badan peradilan itulah yang menentukan dinegara mana ia harus menjalani hukuman.

Prinsip II
Substansi dari Prinsip II ini menekankan pada usaha untuk menghindari impunitas (impunity) bagi sipelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional. Ada kemungkinan seseorang pelaku kejahatan, termasuk pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, menghindar dari tuntutan hukum dari negara yang memiliki yurisdiksi dengan jalan meninggalkan wilayah negara tersebut dan bersembunyi diwilayah negara lain. Atau negara yang memiliki yurisdiksi ternyata tidak mengatur perbuatan yang merupkan kejahatan berdasarkan hukum internasional itu didalam hukum pidana nasionalnya, atau jika negara itu sudah mengaturnya tetapi negara itu tidak mampu dan atau tidak mau mengadili orang yang bersangkutan, bahkan melindunginya.

Prinsip II ini menegaskan, jika hukum nasional tidak mengancam dengan sanksi pidana (hukuman pidana) atas kejahatan berdasarkan hukum internasional hal ini tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan dari tanggung-jawabnya atas perbuatannya. Pertanggung-jawaban yang harus dihadapinya adalah pertanggung-jawaban menurut hukum internasional.

Prinsip III
Prinsip III ini berkenaan dengan kejahatan berdasarkan hukum internasional yang dilakukan oleh seseorang dalam kedudukannya sebagai kepala negara atau pejabat pemerintah yang bertanggung jawab. Dalam hubungan keluar, negaranya melalui pemerintahnyalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatan kepala negara, kepala pemerintah ataupun pejabat negara bersangkutan. Jika negaranya sudah mempertanggung jawabkan perbuatannya itu yang mungkin merugikan salah satu pihak atau lebih (negara, organisasi internasional, ataupun subjek-subjek hukum internasional lainnya), maka sudah selesailah masalahnya.

Jika perbuatan dari kepala negara, kepala pemerintah, ataupun pejabat negara yang berwenang itu merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana berdasarkan hukum internasional (crimes under international law) maka tidak bisa menghindarkan diri dari pertanggungjawaban berdasarkan hukum internasional dengan berlindung dibalik jabatannya maupun negaranya, dia tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dihadapan badan peradilan pidana internasional, dengan asalan ia sebagai individu yang melakukan kejahatan tersebut (meskipun dengan mengatasnamakan jabatan atau negaranya).

Prinsip IV
Berkenaan dengan perintah atasan terhadap bawahannya untuk melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional, seorang pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional tidak boleh berlindung atau berdalih untuk menghindarkan diri dari pertanggung jawaban atas perbuatannya, dengan alasan ia melakukan perbuatan tersebut disebabkan karena adanya perintah dari pemerintahnya sendiri atau dari kekuasaan yang lebih tinggi kedudukannya dari dirinya.

Berdasarkan Prinsip IV apapun alasannya untuk menghindari tanggung jawab atas perbuatannya, alasan itu tidak dapat digunakan. Artinya dia harus mempertanggung jawabkan kejahatan yang telah dilakukannya berdasarkan hukum internasional, meskipun ia melakukannya karena perintah dari pemerintah maupun dari atasannya.

Prinsip V
Merupakan pengakuan atas hak-hak dari individu atau orang yang didakwa sebagai pelaku kejahatan berdasarkan hukum internasional, yaitu hak atas peradilan yang fair baik atas masalah hukum maupun fakta-fakta didalam proses persidanganya, dan hak lainnya seperti hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak dianggap bersalah (presumption of innocent), hak untuk tidak dikenakan hukum secara berlaku surut, dan lain-lain yang sudah umum berlaku didalam proses peradilan negara-negara demokrasi didunia.

Prinsip VI
Berkenaan dengan kejahatan apa saja yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional (crimes under international law), yaitu :
a)      Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace);
b)      Kejahatan perang (war crimes), dan
c)      Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

Kejahatan inilah yang dapat dituduhkan terhadap siapapun yang didakwa melakukan kejahatan berdasarkan hukum internasional oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1945 dan di Tokyo 1946, dan yang diadopsi dan diterapkan oleh Mahkamah Kejahatan Perang dalam kasus ex.Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994, serta Mahkamah Pidana Internasional yang termuat dalam Pasal 5 ayat 1 statuta Roma 1998.

Prinsip VII
Prinsip ini memperluas subjek-subjek hukum, tidak saja mereka yang melakukannya tetapi juga mereka yang terlibat didalamnya, sejauh mana seseorang dapat dipandang terlibat atau melibatkan diri dalam suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional (kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan) masalah ini ditentukan secara kasus demi kasus.

4.2.1.4 Asas-Asas Hukum Pidana Nasional Negara-Negara dan Instrumen-Instrumen Hukum Internasional tentang Hak Asasi manusia.

Asas-asas hukum pidana nasional yang sudah dipaparkan secara singkat diatas, hampir keseluruhannya dapat dijumpai didalam instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia, seperti didalam Universal Declaration of Human Rights 1948; International Convenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights 1966; International Convenant on Civil and Political Rights 1966; maupun didalam instrumen-instrumen hukum internasional tentang hak asasi manusia yang regional, seperti dalam European Convention on Human Rights and Fundamental Freedoms 1950; American Convention on Human Rights 1969; dan African Charter on Human and People’s Rights 1981.

Asas-asas hukum pidana nasional itu sendiri dapat dikatakan adalah juga merupakan asas-asas dari hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum (kebiasaan) internasional.

4.2.1.5 Asas-Asas Hukum Pidana Internasional Merupakan Perpaduan Antara Asas-Asas Hukum Internasional dan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional Negara-Negara.

Asas-asas hukum internasional menjadi landasan bagi negara-negara didalam melakukan hubungan-hubungan internasional, misalnya dalam membuat perjanjian-perjanjian internasional tersebut tidak bertentangan antara satu dengan lainnya, bahkan dapat saling mengisi atau saling melengkapi yang semuanya terjalin dalam satu sistem yang terintegrasi serta tampaklah keterpaduannya.

Dalam praktek penerapan hukum pidana nasionalnya masing-masing, terutama dalam menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional, negara-negara berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas hukum internasional tersebut. Sehingga suatu negara tidak akan melanggar asas kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merupakan campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, ataupun tindakan tidak bersahabat yang lainnya, yang bertentangan dengan asas hidup berdampingan secara damai, dan lain sebagainya.

Asas-asas hukum pidana nasional negara-negara tersebut sudah merupakan hukum kebiasaan internasional, adanya kesadaran atau perasaan hukum yang sama yang tampak berupa perilaku atau tindakan yang secara sama atau terus menerus, berulang-ulang, secara luas dan konsisten, menunjukan bahwa perilaku atau tindakan itu sudah merupakan hukum kebiasaan internasional. Penerapan asas-asas hukum internasional pada umumnya tetap harus menghormati asas-asas hukum pidana nasional negara-negara. Asas-asas dari hukum pidana internasional yang berasal dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut (hukum internasional dan hukum nasional negara-negara) tidak dapat dipandang secara terpisah ataupun berdiri sendiri, melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terintegrasi atau terpadu, yakni sebagai asas-asas dari hukum pidana internasional.

4.2.2 Kaidah-Kaidah Hukum Pidana Internasional

Kaidah-kaidah hukum pidana internasional meliputi semua ketentuan-ketentuan dalam konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral, mengenai kejahatan internasional dan ketentuan-ketentuan lain yang mungkin ada sepanjang mengenai tindak pidana internasional.

4.2.3 Proses dan Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional
 
Proses dan instrumen penegakan hukum pidana internasional meliputi ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai prosedur penegakan hukum pidana internasional dan institusi penegak hukumnya, seperti INTERPOL dan Mahkamah Pidana Internasional. Prosedur penegakan hukum pidana internasional dapat dibedakan dalam dua cara yaitu : 

a. Direct enforcement system (sistem penegakan secara langsung), adalah penegakan hukum pidana internasional dengan mengajukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court. Sedangkan kejahatan yang merupakan jurisdiksi kriminil mahkamah pidana internasional terdapat dalam Pasal 5 Ayat 1 Rome statute of the international criminal court 1998. Yaitu:
 
“The jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The court has jurisdiction in accordance with this statue with respect to the following crimes :
(a) The crime of genocide;
(b) Crimes against humanity;
(c) War crimes;
(d) The crime of aggression.” 

(Terjemahan bebas: jurisdiksi pengadilan ini dibatasi oleh kejahatan yang sangat serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Pengadilan mempunyai jurisdiksi seperti dalam statuta ini yang berkenaan dengan kejahatan berikut:
(a) Kejahatan genosida;
(b) Kejahatan melanggar kemanusiaan;
(c) Kejahatan perang;
(d) Kejahatan agresi.)

b. Indirect enforcement system (sistem penegakan tidak langsung), adalah penegakan hukum pidana internasional dengan suatu upaya mengajukan tuntutan dan peradilan terhadap para pelaku tindak pidana internasional melalui undang-undang nasional. Selain itu dapat dilakukan melalui kerja sama internasional antara dua negara atau lebih. 

4.2.4 Objek Hukum Pidana Internasional.
 
Objek hukum pidana internasional adalah tindak pidana internasional yang telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional dan merupakan masalah sentral serta merupakan kajian utama hukum pidana internasional.

4.3 Pengadilan Pidana Internasional

Mahkamah pidana internasional dalam Statuta Roma merupakan lembaga parlemen yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan yuridikasinya terhadap pelaku tindak pidana internasional yang paling serius sebagaimana diatur dalam statuta roma. Tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, adalah termasuk :
 
-          meningkatkan keadilan distributif;
-          memfasilitasi aksi dari korban;
-          pencatatan sejarah;
-          pemaksaan pentaatan nilai-nilai internasional;
-          memperkuat resistensi individual;
-          pendidikan untuk generasi sekarang dan di masa yang akan datang;
-          mencegah penindasan berkelanjutan atas HAM.
 
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Mahkamah Pidana Internasional harus melaksanakan tugasnya dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip predictability, consistency, dan keterbukaan serta kejujuran.
Dalam kurun waktu 50 tahun negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa melihat adanya perkembangankebutuhan untuk mengendalikan kejahatan internasional dengan membentuk 4 (empat) Pengadilan Ad-Hoc, dan 5 (lima) Komisi Penyidik. Keempat pengadilan Ad-hoc tersebut adalah:

  1. Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) dengan tempat kedudukan di Nuremberg (1945);
  2. Mahkamah Militer Internasional untuk Timur Jauh (The International Military Tribunal for the Far East) dengan tempat kedudukan di Tokyo (1946);
  3. Mahkamah Pidana Internasional Ad-Hoc untuk bekas jajahan Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY) dengan tempat kedudukan di Hague (1996); dan
  4. Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR) – 1998 dengan tempat kedudukan di Arusha.

Pembentukan kedua Mahkamah Internasional tersebut diatas (butir (3) dan (4)) bersifat Ad-Hoc, disebabkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  • Mahkamah Pidana Internasional yang bersifat Permanen atau ICC sampai saat terjadinya kejahatan internasional di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda belum terbentuk dan berjalan efektif, sekalipun Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Internasional sudah diadopsi pada tahun 1998.
  • Kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di bekas jajahan Yugoslavia dan Rwanda
  • telah menjadi tuntutan masyarakat internasional untuk memulai langkahlangkah
  • konkrit dalam skema perlindungan HAM Universal.
  • Kebutuhan mendesak untuk mencegah korban yang lebih luas dan melindungi penduduk di kedua daerah tersebut dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan yang lebih besar lagi;
  • Ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma sudah sebagian besar disetujui oleh negara peserta sehingga implementasi ketentuan Statuta Roma tersebut merupakan uji coba seberapa jauh Statuta tersebut dapat diwujudkan dalam kenyataan;
  • Konflik bersenjata yang terus menerus di kedua daerah tersebut dan perangkat hukum yang berjalan tidak efektif untuk menyidik dan mengadili kejahatankejahatan internasional yang terjadi, memerlukan penanganan yang cepat dan terkendali serta diharapkan dapat segera mengakhiri meluasnya kejahatan internasional tersebut.

Kelima Komisi Penyidik Internasional yang telah dibentuk adalah :
  1. Komisi yang bertanggung jawab atas bencana perang dan penjatuhan pidana, penyidikan selama Perang Dunia I (1919);
  2. Komisi Kejahatan Perang PBB (1943) yang menyidik penjahat perang Jerman selama Perang Dunia II;
  3. Komisi Timur Jauh (1946) yang menyidik penjahat perang Jepang selama Perang dunia II;
  4. Komisi Ahli yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 780, untuk menyidik pelanggaran atas Hukum Humaniternasional di bekas jajahan Yugoslavia;
  5. Komisi Ahli Independen yang dibentuk sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan 935, Komisi Rwanda untuk menyidik pelanggaran-pelanggaran selama perang sipil di Rwanda.

Pengadilan nasional akan selalu mempunyai yuridiksi atas sejumlah kejahatan. Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil tindakan.

Contoh:
Pemerintah mungkin tidak ingin menjatuhkan hukuman atas warga negaranya terlebih jika orang tersebut adalah orang yang berpengaruh atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut. Pengadilan mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika:
  • Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma.
  • Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
  • Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut;
  • Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.

Yuridikasi dari mahkamah terbatas pada tindak pidana yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling serius, mahkamah memiliki yuridikasi terhadap tindak pidana sebagai berikut:
  1. Tindak pidana genosida
  2. Tindak pidana terhadap perang/kejahatan perang
  3. Tindak pidana terhadap kemanusiaan
  4. Agresi

Mahkamah memberlakukan yuridiaksi terhadap tindak pidana agresi pada suatu saat ketentuan di sahka tentang definisi tindakann sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang definisi tindak pidana dan kondisi-kondisi di mana mahkamah dapat memberlakukan yuridikasi terhadap tindak pidana ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai dengan ketentuan dalam piagam perserikatan bangsa-bangsa Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan. kemudian yang memutuskan kasus-kasus yang harus diputuskan Pengadilan yaitu:

  • Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Pengadilan:
  • Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber,termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut.
  • Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi.
  • Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.

Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan negara atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan Berdasarkan investigasi tersebut, pemutusan hukuman tergantung pada keputusan hukum.
peran banyak negara dianggap penting untuk meratifikasi Statuta Roma, Jaksa Penuntut hanya akan dapat memulai investigasi ketika kejahatan telah dilakukan di wilayah suatu negara anggota Statuta atau si tertuduh adalah warga negara negara anggota Statuta, kecuali Dewan Keamanan mengajukan situasi tersebut ke Pengadilan.

Keengganan Dewan Keamanan untuk menetapkan peradilan ad hoc kejahatan internasional untuk situasi-siatuasi di luar yang terjadi dibekas Yugoslavia dan Rwanda menyatakan sepertinya tidak banyak situasi dapat diajukan ke Pengadilan. Oleh karena itu, untuk alasan ini, efektivitas pengadilan akan dilihat dari banyaknya negara yang meratifikasi Statuta. ICC akan mampu bertindak ketika pengadilan negara di mana kejahatan terjadi atau negara yang warganya menjadi tersangka tidak mampu atau tidak mau membawa mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan. Ketika Jaksa Penuntut ICC mendapatkan ijinuntuk melakukan penyelidikan, berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga, LSM, organisasi kepemerintahan seperti PBB, dan negara. para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.

Meskipun anggara tahunan ICC mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena ICC bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka ICC jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.

Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya untuk kepentingan keadilan, bukan politik. Meskipun Dewan Keamanan PBB dan negara dapat merujuk kepada Jaksa Penuntut ICC, keputusan untuk melaksanakan penyelidikan diserahkan kepada Jaksa Penuntut. Namun, Jaksa Penuntut tidak akan bergantung pada Dewan Keamanan atau rujukan negara, melainkan akan membuka penyelidikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Jaksa Penuntut haruslah bermoral tinggi dan mempunyai kemampuan di dibangnya serta memiliki pengalaman praktik yang mendalam dalam hal penuntutan atau pengadilan atas kasus-kasus pidana. Jaksa Penuntut tersebut harus bertindak secara mandiri. Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara. Prinsip-prinsip hukum terpenting adalah sebagai berikut:

Prinsip Komplementaritas atau Complementarily Principle Prinsip ini dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma (1998), sebagai berikut: 
“An International Criminal Court shall be a permanent institution and shall have the power to exercise its jurisdiction over persons for the most serious crimes of international concern, … shall be complementary to nationalcriminal jurisdiction.” 

 Pengertian “complementary” atau komplementaritas sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Statuta Roma tersebut, adalah bahwa telah disepakati secara bulat oleh seluruh peserta, bahwa jurisdiksi (pengadilan) nasional memiliki tanggung jawab utama untuk melaksanakan penyidikan dan penuntutan setiap kejahatan internasional yang menjadi wewenang Mahkamah Pidana Internasional. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:

  • bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
  • bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan ataustandards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :

Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
  • Kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
  • Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
  • Terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
·         
 Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

4.4   Penerapan Asas-Asas Hukum Pidana Internasional 

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai pemberlakuan asas-asas pidana Internasional telah banyak disetujui oleh subyek hukum dan telah dibawa dalam tataran aplikasi di berbagai penyelesaian kasus kejahatan internasional. Namun, banyak pula dari penyelesaian kasus tindak pidana internasional yang tidak mematuhi kaidah/asas hukum pidana internasional yang telah ditentukan tersebut. Beberapa contoh aplikasi asas hukum pidana internasional adalah sebagai berikut.

4.4.1 Asas Retroaktif Dalam Instrumen Hukum Internasional
 
Pada saat ini larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights 1966/ICCPR, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court (1998) yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.

Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka. Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan. Ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang rumusannya sama persis. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat kita lihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
 
Dari praktek hukum pidana internasional, dapat dilihat bahwa asas retroaktif ini diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg 1946 dan Tokyo 1948 yang mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif. Pelanggaran terhadap asas non-retroaktif tersebut merupakan momentum penting, merupakan “benchmark” dalam perkembangan politik hukum pidana pasca Perang Dunia Kedua, sekalipun telah menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli hukum pidana di seluruh dunia.

4.3.2 Asas Non-Intervensi Pada Kasus Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Berada di Negara Lain

Tindak pidana korupsi merupakan  salah  satu  bagian  dari  hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi  tertentu  yang  berbeda  dengan  hukum  pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)[17] mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.

Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa:

1. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official):  
    a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”)
     b. Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”).
     c. Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).

2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya[18]. Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan  Romli Atmasasmita, bahwa: 

 “Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia[19].

Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes  sehingga diperlukan  penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinar enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia. Oleh karena korupsi kejahatan yang bersifat transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut.

Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu tidak adanya intervensi hukum antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini disebabkan, oleh karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hokum ekstradisi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnya disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada Negara korban.

Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk memulangkan koruptor beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh karena yang memutus adalah Mahkamah Internasional yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.

Berhubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum pidana internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Pada asasnya, Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul  Sieghart[20] secara global  HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes  sehingga diperlukan  penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hokum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.

4.3.3 Asas Universalitas 

Suatu kenyataan, bahwa hampir semua negara di dunia mempunyai pandangan yang sama tentang berbagai perbuatan manusia yang dipandang sebagai perbuatan yang harus diberantas (seperti tindak pidana internasional tersebut). Dengan Prinsip universal itulah, maka setiap negara berkewajiban untuk memelihara keamanan dan ketertiban dunia bersama negara-negara lain. Dalam hal ini, Prinsip universal akan membantu manusia dalam memberantas hal tersebut, dengan syarat hal tersebut harus dimasukkan dalam hukum pidana (undang-undang pidana) di negaranya masing-masing sebagai tindak pidana. Dengan demikian, setiap pelaku dapat dikenai ketentuan pidana yang berlaku di negara masing-masing tanpa membedakan kebangsaan si pelaku dan tempat melakukan perbuatan.

Di Indonesia, prinsip universal ini juga dianut dalam hukum pidana Indonesia (walau sangat terbatas, yaitu dalam KUHP Indonesia (terjemahan Wetboek van Strafrecht), pasal 438, 444, juga pasal 4 angka 2 dan 4 sepanjang kepentingan-kepentingan negara lain dilindungi ketentuan-ketentuan pidana tersebut.
Pasal 438 dan 444 KUHP, mengancam siapa saja telah  bersalah melakukan pembajakan di laut dengan segala akibatnya. Sedangkan pasal 4 angka 2 mengancam siapa saja, kapan saja, dan di mana saj, yang memalsukan mata uang atau uang kertas dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

4.3.4 Berbagai Pelanggaran Asas Hukum Pidana Internasional Lainnya

Sekalipun baik treaties maupun hukum kebiasaan internasional telah mempertimbangkan bahwa pengadilan nasional/domestik merupakan ‘primary arena’ untuk mengadili atas dasar pertanggungjawaban individual, namun ternyata bahwa variasi yang luas dirumuskan dalam pelbagai perjanjian internasional dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lain. Ada yang mengharuskan tetapi ada juga yang hanya mengijinkan.

Contoh pertama adalah masalah genosida (genocide). Sekalipun Genocide Convention bermaksud memikirkan keberadaan pengadilan internasional untuk mengadili genosida, hampir semua negara peserta mengantisipasi bahwa pengadilan nasional merupakan ‘the primary fora’. Sehubungan dengan itu, Article VI mewajibkan (requires)  para pihak untuk memidana perbuatan genosida yang dilakukan dalam teritorinya. Dalam hal ini ‘extra-territorial jurisdiction’ tidak memperoleh penegasan. Kemungkinan penerapan jurisdiksi territorial didasarkan atas asas nasionalitas dan asas personalitas pasif.

Bisa dicatat bahwa sekalipun  dalam konvensi tidak secara tegas diatur tentang ‘universal jurisdiction’ (extraterritorial jurisdiction), namun atas dasar ‘customary international law’ hal ini terjadi atas dasar ‘erga omnes nature of the ban on genocide’. Contohnya adalah  Eichmann  and Demanjuk cases’,  yang menegaskan penerapan jurisdiksi universal terhadap genosida.

Contoh kedua berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).      Pelbagai Tribunal internasional  yang dibentuk setelah PD II untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (IMT dan IMTFE) acap kali mendasarkan pada asas  jurisdiksi universal. Namun demikian dalam beberapa pengadilan yang digelar juga mendasarkan pada asas territorial dan asas nasionalitas. Sebagaimana genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan juga tunduk pada jurisdiksi universal. Sehubungan dengan kejahatan perang (war crimes), setiap negara  boleh mengadili pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa dan Protocol I;  Konvensi mewajibkan setiap negara  untuk menetapkan sanksi pidana yang efektif (to provide effective penal sanctions) kepada setiap orang yang melakukan ‘grave breaches’, menemukan pelakunya dan menuntut atau mengekstradisikannya.

Sampai dengan tahun 1990-an, tidak nampak adanya penuntutan terhadap kejahatan perang atas dasar instrumen ini murni atas dasar asas universalitas. Terhadap  pelanggaran terhadap bagian lain Konvensi dan Protokol, termasuk ‘Common Article 3 ‘ atau Protocol II, nampaknya  tidak ada perintah atau kewajiban penuntutan atau ekstradisi, atau  ketentuan tentang jurisdiksi universal. Meskipun demikian, hokum kebiasaan cenderung mengakui jurisdiksi universal atas jangkauan yang lebih luas dari kejahatan perang daripada yang masuk kategori ‘grave breaches’ dari Konvensi dan Protocol I. Sebagai contoh adalah Konvensi The Haque 1954  tentang ‘The Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict’, mewajibkan negara-negara untuk mengambil segenap langkah-langkah yang diperlukan untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi disiplin terhadap siapa saja, apapun kewarganegaraannya yang melakukan atau memerintahkan terjadinya pelanggaran terhadap konvensi. Hal ini (jurisdiksi universal) bersifat perintah (mandatory), sekalipun konvensi tidak memuat ketentuan pidana yang lain.

Contoh yang lain adalah ketentuan yang berkaitan dengan ‘Slavery and Forced Labour’. Di bawah Slavery Convention (1956), negara-negara peserta harus melakukan kriminalisasi terhadap  perbudakan dan perdagangan budak, tanpa mempertimbangkan dimana perbuatan terjadi. Bahkan, ‘slave trade’ harus dipidana seberat-beratnya. Dalam hal ini tidak jelas apakah hukum kebiasaan internasional mewajibkan semua negara untuk menerapkan jurisdiksi universal terhadap perbudakan, sekalipun mengenai perbudakan  paling tidak negara-negara  mengaturnya secara ‘permissive’ atas dasar hukum kebiasaan internasional. Sepanjang mengenai kerja paksa (forced labour), Konvensi 1930 mewajibkan negara-negara untuk memidananya sebagai tindak pidana, sedang  Convention on Forced Prostitution’ mewajibkan negaranegara untuk memidana setiap orang yang berperan serta, namun tidak memuat kewajiban untuk melakukan ekstradisi.

Contoh selanjutnya adalah berkaitan dengan penyiksaan (torture). Konvensi tentang Penyiksaan  secara jelas mewajibkan negara-negara untuk menjamin agar penyiksaan, percobaan untuk melakukannya dan penyertaan (complicity) untuk melakukan penyiksaan merupakan tindak pidana (dikriminalisasikan)  dan memidananya secara patut sesuai dengan beratnya. Selanjutnya negara-negara wajib mengatur untuk memidana  penyiksaan yang terjadi di wilayah teritorinya, oleh warganegaranya, dan apabila dipandang perlu, terhadap warganegaranya  (korban), juga segala keadaan yang lain di mana negara tersebut memilih untuk tidak mengekstradisikan si pelaku. Melebihi ketentuan konvensi, hukum kebiasaan internasional mengijinkan negara-negara untuk menerapkan jurisdiksi universal terhadap penyiksaan.

Contoh berikutnya mengenai ‘Apartheid’. Konvensi Apartheid mengijinkan bahkan memerintahkan negaranegara peserta  untuk menentukan  dan menerapkan kriminalisasi  yang dilakukan dimana pun juga (committed anywhere). Tribunal internasional juga dipertimbangkan dan mewajibkan negara-negara untuk mengekstradisikan pelaku sesuai dengan perundang-undangan yang ada.

Contoh terakhir berkaitan dengan kejahatan Penghilangan Paksa (Forced Disappearances). Terlepas dari kejahatan terhadap kemanusiaan asas jurisdiksi dalam hal ini juga mengalami perkembangan. Pada tahun 1992, Resolusi Sidang Umum PBB menyerukan kepada negara-negara anggota untuk mengkriminalisasikan ‘apartheid’ sebagai kejahatan berat dan mewajibkan  negara-negara untuk mengekstradisikannya atau menuntut pelakunya, dan menyerukan pengaturan daluwarsa yang panjang.   
 
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
      1.      Dalam kepustakaan hukum internasional, istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini baru lahir sekitar tahun 1970-an yang ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Selanjutnya pada tahun 1974, 1975, 1976 dan 1977 diadakan Diplomatic Conference on the Reaffirmation dan Development of International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict.

      2. Asas hukum atau prinsip hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan[21]. HHI disusun dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut
a.       Asas kepentingan militer
b.      Asas Perikemanusiaan
     c.       Asas kesatriaan

3. Asas-asas dari hukum internasional yang paling utama dalam hukum pidana internasional adalah asas kemerdekaan, kedaulatan, dan  kesamaan derajat Negara-negara. Turunan asas-asas ini meliputi:
- Asas non intervensi,
- Asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat Negara-negara,
- Asas hidup berdampingan secara damai ,
- Asas penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia,
-Asas bahwa suatu Negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan didalam wilayah Negara lainnya,
- Dan lain-lain.

4. Pada dasarnya ketentuan-ketentuan mengenai pemberlakuan asas-asas pidana Internasional telah banyak disetujui oleh subyek hukum dan telah dibawa dalam tataran aplikasi di berbagai penyelesaian kasus kejahatan internasional. Namun, banyak pula dari penyelesaian kasus tindak pidana internasional yang tidak mematuhi kaidah/asas hukum pidana internasional yang telah ditentukan tersebut.



[1] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 19
[2] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional, Penerbit CV Yrama Widya, Bandung, 2006, hlm. 31
[3] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana ...., Op. Cit, hlm. 21
[4] Haryomataram, 1994, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta.
[5] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 34
[6] Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of the Red Cross, Jakarta.hlm.11
[7] Rina Rusman. 2005, Sejarah, Sumber & Prinsip Hukum Humaniter Internasional, Makalah Kursus Hukum Humaniter Internasional untuk Dosen PTN dan PTS yang diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Gajah Mada dengan International Committee of the Red Cross (ICRC). Yogyakarta tanggal 19-24 Desember 2005.
[8] Arlina Permanasari, dkk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe of the Red Cross, Jakarta, hlm.12
[9] Kajian teoritik mengenai perkembangan hukum pidana internasional menemukan 6(enam) definisi tentang pengertian hukum pidana internasional. Satu diantara definisi tersebut yang cocok dengan perkembangan hukum internasional masa kini adalah dari Bassiouni(lihat buku Romli Atmasasmita, Bab II).
[10] Bassiouni meneliti dan menemukan kurang lebih 22 (dua puluh dua)Konvensi internasional yang memuat tentang kejahatan2 transnasional dan kejahatan internasional.
[11] Bassiouni membedakan antara “direct enforcement system” dan “indirect enforcement system”.
[12] M.Cheriff  Bassiouni, “Introduction to International Criminal Law”;Transnational Publisher Inc.,New York; 2003, p. 4-7
[13] Bassiouni, ibid
[14] Jan Remmelink; “Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia; Gramedia tahun 2003, halaman 368
[15] Ibid, halaman 369
[16] Eddy O.S. Hiariej, 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Erlangga
[17] dikutif dari: Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan PemberantasanKorupsi Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006, hlm. 1 dan Romli Atmasasmita, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia:Membentuk Ius Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006, halaman. 1.
[18] Romli Atmasasmita, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan …., Ibid, halaman 1
[19] Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 25
[20] Paul Sieghart, The Lawful Rights Of Mankind, An Introduction To The International Legal Code Of Human Rights,  Oxford University Press, 1986,  halaman 107
[21] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 34

10 komentar:

  1. Sangat berguna, semoga banyak memberikan manfaat utk lebih berguna bagi orang banyak
    Trima ksh.

    BalasHapus

Silahkan Komentar Disini..