Pages

Kamis, 31 Januari 2013

Karya Tulis Gula Nasional



PEMBANGUNAN GULA NASIONAL BERBASIS PENDEKATAN LOCAL CULTURE DI INDONESIA
Oleh : Muhammad Nur
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar

Pendahuluan
Gula merupakan salah satu kebutuhan pangan yang karena perannya dalam memenuhi kelengkapan kebutuhan pangan, ditetapkan oleh negara sebagai salah satu komoditas strategis. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang komoditas pangan strategis dan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004, pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan. 
Industri pergulaan nasional menarik untuk dikaji mengingat bahwa komoditas gula menyangkut kebutuhan pokok hidup masyarakat dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang terletak di kawasan tropis. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi negara yang memiliki keunggulan komparatif sebagai penghasil gula tebu. Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 1930 yang menjadi tahun pertama dimasa penjajahan, Belanda mulai membangun industri gula di Indonesia. Pada saat itu produksi tebu mencapai hampir 26 juta ton dengan luas tanam hampir 200 ribu hektar atau kira-kira 130,63 ton per hektar pertahun (PSE, 2005). Namun dengan berjalannya waktu, jumlah produksi gula di Indonesia mengalami penurunan dan penurunan ini tampak lebih signifikan pada era pasca nasionalisasi perusahaan-perusahaan gula milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. 
Berbagai usaha telah banyak dilakukan oleh pemerintah setelah kemerdekaan dalam usaha meningkatkan produktivitas industri gula di Indonesia melalui beberapa kebijakan terkait pengembangan industri gula nasional, namun produksi nasional selama ini tidak beranjak meningkat dan justru menurun baik secara kualitas maupun kuantitas. Banyaknya  kebijakan-kebijakan yang selama ini dirasakan oleh pelaku industry pergulaan, baik di tingkat petani tebu, pabrik gula, distribusi, dan perdagangan gula yang saling tumpang tindih tidak terkoordinasi dengan baik, dan justru menimbulkan situasi yang kontra produktif bagi pengembangan industri pergulaan nasional.
Peluang terbesar pengembangan industri gula Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Permintaan gula secara nasional, baik gula putih (white sugar) maupun gula mentah (raw sugar), dipastikan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri pengolahan makanan dan minuman. Dengan populasi penduduk 250 juta jiwa dan pertumbuhan 1,25 persen per tahun, serta pendapatan Rp 27 juta per kapita per tahun (BPS, 2011), total konsumsi gula Indonesia terus melonjak dari 4,15 juta ton tahun 2005 menjadi 5,35 juta ton tahun 2012 (sugaronline.com, 2012). Dengan pertumbuhan konsumsi 4-5 persen per tahun, maka konsumsi gula diperkirakan dapat menembus angka 7 juta ton pada tahun 2020.
Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut, produksi gula dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 2,5 juta ton atau sekitar 50 persen, sedangkan sisanya dipenuhi dari gula impor. Impor gula tahun 2012 mencapai 2,53 juta ton, meningkat dari 2,43 juta ton tahun 2011, dan diperkirakan menjadi 2,7 juta ton tahun 2013 dan 3,7 juta ton pada tahun 2020 (FAO, 2011).
Sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap gula impor pemerintah mencanangkan program Swasembada Gula 2009-2014. Dalam peta jalan (roadmap) 2009-2014, Kementerian Pertanian menetapkan target swasembada gula pada tahun 2014 sebesar 5,7 juta ton, terdiri atas 2,96 juta gula kristal putih (GKP) dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi (GKR). Sasaran swasembada gula sebesar 5,7 juta ton tersebut akan diperoleh dari pabrik gula (PG) yang ada sebesar 3,57 juta ton, yaitu 2,32 juta ton dari PG BUMN dan 1,25 juta ton PG BUMS. Selain itu, juga harus ada tambahan gula dari pembangunan 10-25 PG baru sebanyak 2,13 juta ton. Akan tetapi, pada September 2012 Kementerian Pertanian terpaksa merevisi target swasembada gula tahun 2014 menjadi hanya 3,1 juta ton. Hal ini berarti terjadi pemangkasan sebanyak 2,6 juta ton atau 45,6 persen dari target yang ditetapkan sebelumnya. Penyebabnya adalah tambahan lahan tebu yang direncanakan seluas 300-500 ribu ha hanya tercapai 5.000–6.000 ha, sedangkan revitalisasi dan pembangunan sejumlah PG baru tidak berjalan. Dengan demikian dapat diduga bahwa industri gula yang ada sekarang tidak mungkin lagi dapat memenuhi kebutuhan gula nasional yang terus meningkat pesat dari tahun ke tahun.
Dibalik berbagai sumber persoalan tersebut, kemudian muncul pertanyaan, mengapa negara agraris sebesar Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan gula dalam negerinya sendiri? Mengapa kemandirian gula nasional begitu sulit tercapai? Setelah penulis amati berbagai fakta dalam tataran pelaksanaan target pemerintah selama ini di lapangan ternyata ada sumber persoalan dasar yang kurang disadari oleh pemerintah dan berbagai stake holder terkait pembangunan produksi gula nasional selama ini, yaitu berkaitan dengan pendekatan yang digunakan kepada masyarakat khususnya petani tebu sebagai tombak dari kebijakan tersebut.
Konsep “pembangunan-isme” yang digulirkan secara intensif pada era setelah Perang Dunia kedua, selama ini lebih condong menggunakan paradigma dan pendekatan ekonomi yang terlalu berlebihan, dimana keberhasilan pembangunan diukur atas indikator-indikator fisik ekonomi belaka. Dari sisi sosiologi, dapat dikatakan bahwa pendekatan pembangunan tersebut terlalu didominasi oleh “pendekatan material”, dimana perubahan struktur ekonomi pedesaan menjadi panduan utama dalam strategi tersebut.
Secara umum, di Indonesia saat ini, aspek kebudayaan masih belum mewarnai manajemen pembangunan. Sejumlah agenda dan isu seperti swasembada gula, masih bergerak di tatarannya yang pragmatis, belum dihadirkan sebagai sebuah gagasan tentang kesadaran. Dengan kata lain, pendekatan budaya masih berada di wilayahnya yang marjinal dibanding dominannya pendekatan ekonomi dan politik.
Budaya Lokal (Local Culture) di Indonesia
Budaya lokal (local culture) biasanya didefinisikan sebagai budaya asli dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Kemajemukan budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan adat istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, seperti suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku memiliki adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menyebabkan penduduk setiap pulau mengembangkan pola hidup dan adat istiadat yang berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan adat istiadat antara suku bangsa Gayo-Alas di daerah pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang tinggal di pesisir pantai Aceh.
Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka budaya lokal (local culture) berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk yang dapat digunakan untuk menghadapi dunia nyata, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan sehari-hari.
Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap budaya lokal merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap daerah. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung budaya tersebut yang dinamakan sebagai ”pandangan hidup” (world view). Yang kedua adalah yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung budaya tersebut yang dinamakan ”etos” atau ”ethos”.
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya, maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya.
Budaya Gotong Royong adalah kearifan lokal yang paling Indonesia. budaya ini adalah ciri khas utama bangsa ini yang melekat di hampir semua elemen budaya lokal bangsa indonesia. Manifestasinya terjabarkan dalam acara-acara yang akan dilaksanakan oleh masyarakat. Misalnya dalam acara pernikahan, pembangunan perlengkapan umum seperti tempat ibadah, jalan ataupun gotong royong di sawah. Kearifan lokal lain yang menjadi karakteristik paling Indonesia adalah Musyawarah Mufakat. Budaya ini adalah budaya klasik yang sudah sangat lama diterapkan oleh bangsa ini, bahkan sejak zaman kerajaan di nusantara, musyawarah mufakat digunakan oleh kerajaan untuk menetapkan keputusan kerajaan misalnya jadwal tanam padi dan sebagainya. Dalam perkembangannya digunakan sampai kepada penyelesaian masalah yang krusial dan penentuan keputusan yang strategis untuk diimplementasikan.
Pendekatan Budaya Lokal (Local Culture Approach) dalam Pembangunan
Untuk membangun kehidupan bernegara dengan tingkat keragaman masyarakat dan karakteristik geografis yang unik, pemerintah telah menyusun Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terpadu, menyeluruh, sistematik, yang tanggap terhadap perkembangan jaman, yang ditetapkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah.
Kemudian dalam pasal 2 dinyatakan pula bahwa tujuan SPPN adalah:
1. Mendukung kondisi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antar perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Pendekatan budaya lokal (local cultural approach) dalam pembangunan merupakan salah satu pendekatan alternatif sebagai bentuk revisi dari pendekatan pembangunan yang ekonomistis selama ini. Di Indonesia, pendekatan ini relatif baru, dan sampai saat ini belum menemukan bentuknya. Strategi pembangunan dengan pendekatan ekonomi selama ini, secara sepihak hanya melahirkan mesin produksi ekonomi. Akibatnya, eksistensi manusia kerap hanya dieksploitasi sebagai penghasil uang karena dianggap sebagai “mesin produksi”. Karena itu, kebijakan pembangunan perlu menggunakan pendekatan kebudayaan. Strategi pembangunan melalui pendekatan kebudayaan tidak sekadar melahirkan manusia mesin penghasil uang, tetapi membangun manusia sebagai sebuah entitas yang utuh dengan seluruh dimensinya.
Sejak 1970-an telah timbul diskusi untuk memadukan antara culture dengan development, yang juga menjadi agenda UNESCO. Kesadaran ini datang dari kenyataan bahwa model pembangunan yang diciptakan banyak menghasilkan ketidakpuasan, terutama karena terlalu sempitnya mendefiniskan pembangunan hanya kepada sesuatu yang visual, yaitu pembangunan irigasi, pabrik, rumah, serta produksi makanan dan minuman. Kebudayaan memang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, namun mensyaratkan perlunya menggeser paradigma dari statis culture yang memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang statis menuju ke progressive culture.
Pembangunan dapat pula dipandang sebagai sebuah strategi kebudayaan. Disini dilakukan pengembangan budaya melalui berbagai institusi yang ada pada level Negara dan masyarakat. Pendidikan merupakan kunci dalam implementasinya. Pembangunan dengan menggunakan strategi kebudayaan dapat dimaknai sebagai “… that set of capacities that allows groups, communities and nations to define their futures in an integrated manner”
Soedjatmoko (1983) pernah membahas, bahwa pembangunan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah kebudayaan (economic development as cultural problem). Disini kebudayaan diartikan sebagai pertautan etika kerja dan nilai-nilai kerjasama. Menjadikan kebudayaan sebagai kerangka acuan pembangunan ekonomi telah dibahas mendalam dalam ilmu sejarah, antorpologi, dan sosiologi. Misalnya Gunnar Myrdal (1972) yang pada tahun 1960-an membandingkan antara “negara lembek” dengan “negara keras”. Negara lembek adalah negara yang kaya sumberdaya alam namun gagal dalam pembangunan, seperti Brazil dan Indonesia. Sedangkan negara keras adalah negara posisinya tidak strategis dan juga miskin sumberdaya alam namun sukses, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Urgensi pendekatan kultural dalam pembangunan bidang pertanian terlihat dari penempatan aspek kultural sebagai bagian penting dalam pembangunan bidang pertanian khususnya perkebunan tebu. Pendekatan ini sudah selayaknya diterapkan sebagai konsep pembangunan di bidang apapun di negeri ini mengingat kemajemukan penduduk Indonesia yang masih kental menjunjung kebudayaannya masing-masing. Memahami budaya lokal penduduk di setiap daerah akan membuka peluang pendekatan yang lebih emosional dalam rangka pembangunan dalam skala nasional. Isu gula selama ini hanya dibawa ke tataran isu nasional yang memberi kesan menjadi tanggungjawab pemerintah saja sehingga kurang mendapat respon dari masyarakat. Melalui pendekatan budaya lokal maka isu gula ini kemudian diperhadapkan kepada masyarakat sebagai isu lokal yang dihadapi di setiap daerah sehingga pada akhirnya akan menciptakan kesadaran kolektif masyarakat untuk melakukan langkah partisipatif dalam penyelesaian masalah gula setidaknya untuk pemenuhan kebutuhan lokal di daerahnya.
Rencana Pembangunan Gula Nasional Berbasis Pendekatan Budaya Lokal
Rencana pembangunan gula nasional berbasis pendekatan lokal kultur merupakan pendekatan yang unik, karena semua pihak dituntut untuk bekerja secara kreatif dengan komunitas menurut alam mereka, dalam permasalahan mereka, melalui praktek-praktek kebudayaan lokal mereka. Akan terjalin kolaborasi secara setara antara pemerintah dan petani lokal (cultural workers) dengan komunitas, yang mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah dan yang dimiliki oleh masyarakat lokal serta daerah tersebut. Dalam tataran rencana pembangunan gula nasional (national sugar development plan) yang menggunakan pendekatan budaya lokal, dibutuhkan sebuah alur perencanaan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan tersebut yang dimulai dari pendekatan emosional antara pihak pemerintah dengan masyarakat lokal yang diwujudkan dengan membentuk “Rumah Tebu Rakyat berkala” hingga ke lingkup tataran pelaksanaan dan evaluasi pencapaian. Fokus rencana ini adalah membawa isu gula nasional menjadi isu lokal sehingga menciptakan kesadaran internal di setiap individu dalam masyarakat yang kemudian dipecahkan secara kolektif dengan pendekatan budaya lokal di masing-masing daerah.
       Membentuk Rumah Tebu Rakyat
Melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik lewat dialog publik, public hearing, atau pertemuan dengan kelompok masyarakat merupakan wadah untuk mewujudkan pemerintahan yang partisipatif. Tindakan ini bukanlah pertemuan yang hanya sifatnya seremonial belaka untuk “gugur kewajiban”, dimana seolah tampak bahwa masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Namun dalam praktiknya selalu saja pendapat masyarakat yang dibuat dalam dialog publik, masih saja tidak dihiraukan ketika pendapat itu menjadi sebuah kebijakan. Dalam pemerintahan partisipatif, maka masyarakat dan pemerintah harus membuat sebuah konsensus atau kata lain kontrak, untuk menjamin suara masyarakat diakomodir oleh pemerintah.
Dengan dialog ini, pemerintah akan mendapatkan kemudahkan terhadap kebutuhan masyarakat dan apa yang harus dituangkan nantinya dalam kebijakan terkait isu gula nasional, dan kebijakan yang nantinya diformulasi pun akan mampu dinilai sebagai kebijakan yang memang pro-rakyat. Untuk melaksanakan dialog seperti itu tentunya diperlukan suatu wadah atau tempat yang mampu memberikan karakter bagi pendekatan itu sendiri. Maka dari itu gagasan pembentukan “Rumah Tebu Rakyat” sebagai tempat yang mampu menyatukan pemerintah dan masyarakat setempat dan setiap stakeholder untuk saling berdiskusi mengembangkan komunikasi dua arah merupakan suatu gagasan yang tepat. Hal ini sesuai dengan kultur lokal di hampir semua kebudayaan yang ada di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi berbagai bentuk dialog, diskusi dan musyawarah untuk membicarakan dan memutuskan berbagai hal yang dianggap penting. Adapun tujuan pembentukan Rumah Tebu Rakyat ini, antara lain :
   1.  Menciptakan hubungan emosional antara pemerintah dan masyarakat lokal sehingga masyarakat bisa proaktif dalam pencapaian tujuan, serta menghilangkan paradigma bahwa masyarakat hanyalah obyek dari suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
2.   Melemparkan isu tentang permasalahan gula nasional ke setiap daerah sehingga isu tersebut menjadi isu lokal yang membutuhkan pemecahan masalah di masing-masing daerah;
3.   Mencari informasi-informasi yang terkait dengan rencana pembangunan perkebunan tebu di masing-masing daerah;
4.   Memudahkan pendataan potensi perkebunan tebu di setiap daerah;
5.   Mendata masyarakat yang berminat untuk berkebun tebu tetapi belum memiliki lahan;
6.   Wadah diskusi dan pemecahan masalah bagi pemerintah dan masyarakat khusunya petani tebu;
7.   Mempermudah kontrol dan evaluasi atas pelaksanaan dan hasil pembangunan perkebunan tebu dan pengolahannya di setiap daerah.
Pelaksanaan Rumah Tebu Rakyat ini sendiri harus dilakukan secara berkala dengan penentuan waktu sesuai kesepakatan semua pihak di masing-masing daerah. Hal ini diperlukan agar pemerintah dan stakeholder lainnya memperoleh informasi mengenai permasalahan atau perkembangan terkait rencana pembangunan gula nasional yang terjadi di setiap daerah dari waktu ke waktu, sehingga proses monitoring pencapaian tetap terus berjalan.
Pendidikan dan Pelatihan Petani Tebu
Dalam pemberdayaan petani diperlukan suatu strategi dan kebijakan sehingga mampu menciptakan berbagai keunggulan kompetitif yang menjadi syarat mutlak dalam mengarungi era global. Dalam rangka mencapai keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing, maka pada diri masing-masing petani harus mampu membentuk pribadinya dengan :
1. Memiliki motivasi berprestasi tinggi
2. Memiliki jiwa dan semangat wirausaha unggul (Sub Sistem ke Komersial ; Farmer ke Peasant);
3. Memiliki jiwa kemandirian
4. Memiliki pengetahuan yang baik bertanam tebu (input berkebun dengan kaidah-kaidah biologi tanaman tebu);
5. Meyakini dan menghargai apresiasi rendemen per lori secara tegas dan beda;
6. Memiliki sikap tanggap menghadapi dinamika perubahan;
7. Memiliki sikap tangguh menghadapi berbagai permasalahan;
8. Memiliki sikap tangguh dalam memperjuangkan tercapainya tujuan untuk keberhasilan usaha.
Untuk mencapai hal di atas diperlukan strategi pemberdayaan yang mampu menghidupkan gairah petani tebu dan para pelaku ekonomi lainnya untuk berusaha. Kebijakan yang bersifat komando, pengaturan yang kaku atau penekanan-penekanan kepada petani hanya akan menghasilkan dampak yang negatif. Oleh karena itu, dalam era globalisasi ini kebijakan yang perlu dikembangkan adalah kebijakan yang dapat membangkitkan kemampuan adaptasi atau menyesuaikan diri dan dapat merangsang tumbuhnya daya inovasi dari petani dan masyarakat secara keseluruhan. Sasaran utama dari kebijakan tersebut adalah berkembangnya efisiensi, daya saing dan proses kreatifitas secara berkesinambungan.
Salah satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan daya inovasi dan daya adaptasi ini adalah kehadiran lembaga riset, pendidikan dan pelatihan yang memadai. Dewasa ini di Indonesia lembaga riset ditangani oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), sedangkan pendidikan perkebunan ditangani oleh Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) yang berpusat di Jogjakarta. Namun kedua lembaga tersebut masih lebih banyak melayani perusahaan perkebunan dari pada melayani petani. Bahkan kerangka berpikir yang mencerminkan salah satu unsur budaya masih menggambarkan kerangka pemikiran yang belum menyatu dengan kepentingan petani. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa bagian terbesar dari areal perkebunan kecuali kelapa sawit, merupakan kebun petani. Oleh karena itu perlu dilakukan reorientasi dan restrukturisasi pengembangan kelembagaan riset, pendidikan dan pelatihan yang berbasis pada petani dan budaya lokal setempat yang tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali tetapi sebaiknya dilakukan secara berkala dengan pelaksanaan monitoring dan pencapaian hasil dari pendidikan dan pelatihan yang telah diberikan dalam prakteknya di lapangan. Pengembangan kelembagaan riset, pendidikan dan pelatihan tersebut dapat diawali dengan memanfaatkan Rumah Tebu Rakyat sebagai wadah untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan masyarakat, sehingga model kelembagaan yang dibentuk dan diberikan sesuai dengan realitas dan kebutuhan masyarakat, khususnya petani tebu di masing-masing daerah.
Pendataan dan Pemanfaatan Lahan Tidur
Lahan tidur adalah lahan yang dalam kurun waktu tertentu tidak digunakan sebagai lahan produksi pertanian maupun perkebunan karena alasan-alasan tertentu. Menurut Siswomartono (1994), beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya lahan tidur antara lain:
1. Status lahan jelas, maksudnya bahwa areal tersebut secara yuridis formal memiliki kekuatan hukum yang sah yaitu Hak Guna Usaha (HGU), sertifikat kepemilikan dan sebagainya namun kenyataannya lahan-lahan tersebut terlantar begitu saja
2. Sistem penguasaan lahan yang tidak jelas, dalam hal ini masyarakat, oknum atau kelompok yang mengusai lahan yang tidak memiliki dasar hukum yang sah.
3. Kemampuan pengelolaan lahan yang kurang.
Pengelolaan lahan yang tidak terencana dengan baik oleh masyarakat setempat menyebabkan banyaknya lahan tidur karena hanya sebagian kecil saja dari luas lahan tersebut yang dikelola atau dijadikan lahan perkebunan dan pertanian. Sedangkan sebagian besarnya lagi lahan tersebut dibiarkan begitu saja sehingga tidak memberikan hasil yang maksimal dalam membantu perekonomian masyarakat setempat. Departemen Pertanian mencatat, lahan tidur di Indonesia mencapai lebih dari 7,13 juta hektar sedangkan jumlah kebutuhan lahan tebu mencapai seluas 300.000 sampai 500.000 hektare. Melihat luasnya lahan tidur di Indonesia, maka potensi pemenuhan kebutuhan lahan tebu sangat besar jika pemerintah mau melakukan aksi nyata dalam pemanfaatan lahan tersebut untuk perkebunan tebu.
Menyikapi potensi tersebut, maka informasi yang cepat dan andal untuk mengetahui lokasi, dan sumber daya yang ada di setiap daerah mutlak diperlukan. Salah satu cara untuk memperoleh informasi tersebut adalah dengan menggunakan peta (Anonim, 1991). Peta merupakan alat yang sangat penting sebagai bahan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, diperlukan peta dengan skala besar yang mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Dengan dimikian peran serta masyarakat lokal di setiap daerah sangat penting dimana hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan pembuatan peta secara bersama atau dikenal dengan pelatihan pemetaan partisipatif, sehingga masyarakat dapat membuat dan memiliki peta sendiri dengan skala standar yang mudah mereka mengerti. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan distribusi lahan tidur melalui kegiatan pemetaan partisipatif sebagai dasar penetapan alternatif perencanaan tata guna lahan (land use), serta mengintegrasikan data tersebut ke dalam Sistem Informasi Geografi.
Hasil pemetaan lahan tidur tersebut kemudian dijadikan rujukan untuk pemanfaatan lahan tidur yang ada di masing-masing daerah yang cocok untuk perkebunan tebu. Ada dua jenis lahan tidur yang dijadikan fokus untuk dimanfaatkan. Yang pertama adalah lahan tidur milik warga. Karena kepemilikan atas lahan ini masih menjadi milik warga, maka yang harus dilakukan adalah melakukan pendekatan secara persuasif kepada pemilik lahan agar mau mengelola atau mengijinkan lahannya dikelola untuk perkebunan tebu. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja dibutuhkan rangsangan dan pemahaman kepada setiap pemilik lahan tentang pentingnya pemanfaatan lahan yang dimilikinya untuk tujuan pemenuhan kebutuhan gula masyarakat. Yang kedua lahan tidur milik pemerintah. Pada dasarnya banyak warga di berbagai daerah yang memiliki minat dan mampu untuk mengelola perkebunan tebu tetapi belum memiliki lahan. Warga seperti inilah yang harus didata dan diberikan kesempatan untuk mengelola lahan tidur milik pemerintah. Pemberian hak pakai untuk lahan tidur tersebut terlebih dahulu harus menjadi kebijakan serius dari pemerintah. Setelah kebijakan tersebut dikeluarkan selanjutnya dimusyawarahkan dengan masyarakat lokal terkait ketentuan pemberian hak dan luasan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan tebu. Hal ini dilakukan agar terjadi konsensus diantara masyarakat dan pemerintah dalam pemanfaatan lahan tidur tersebut.
Dengan mengelola lahan tidur menjadi perkebunan produktif, kita bisa optimis swasembada gula dapat tercapai. Kebijakan ini dapat terealisir selagi ada keinginan dari pemerintah untuk memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki negara ini untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Penyediaan Sarana dan Perlengkapan
Peningkatan produksi dan mutu produk merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk dapat meningkatkan daya saing gula di dalam negeri. Namun kenyataannya produksi gula dalam negeri kalah bersaing dengan gula import yang banyak beredar di tengah masyarakat. Penyebabnya adalah introduksi teknologi sebagai komponen utama di dalam peningkatan daya saing selama ini belum berjalan optimal. Kebutuhan yang sangat penting yaitu penyediaan prasarana, sarana dan perlengkapan perkebunan pra maupun pasca panen berjalan lambat, akibatnya mutu produk yang diperoleh petani tidak sesuai dengan standar yang diinginkan.
Di dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan dinyatakan sebagai berikut :
(1) Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota bersama pelaku usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : 
a. memfasilitasi sumber pembiayaan/permodalan;
b. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memfasilitasi pelaksanaan ekspor hasil perkebunan;
d. mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baru industri;
e. mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau
f. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.
Namun kenyataannya, kemudahan aksesibilitas sarana dan perlengkapan perkebunan tebu di setiap daerah belum mampu terpenuhi. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa biaya produksi gula lokal lebih tinggi dibandingkan gula import. Sangat banyak sarana dan perlengkapan yang dibutuhkan oleh petani tebu tetapi sulit didapatkan di daerahnya sendiri sehingga mereka harus pergi keluar daerahnya hingga ke kota besar untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah langkah konkret untuk mengatasi masalah aksesibilitas sarana dan perlengkapan perkebunan tebu ini.
Untuk jangka pendek, hal sederhana yang dapat dilakukan adalah kembali memanfaatkan Rumah Tebu Rakyat yang telah dibentuk untuk menampung kebutuhan sarana dan perlengkapan masing-masing petani tebu. Pemerintah harus dapat menjalankan fungsi fasilitator untuk memenuhi kebutuhan petani tersebut, bahkan jika memungkinkan Pemerintah dapat memberikan subsidi ataupun membagikan secara cuma-cuma perlengkapan-perlengkapan sederhana yang dibutuhkan untuk perkebunan tebu kepada mereka. Hal-hal seperti ini memang terbilang tindakan sederhana tetapi jika dilakukan secara terpadu disetiap daerah akan sangat berpengaruh untuk menekan biaya produksi gula. Kemudian untuk jangka panjang, tentu saja pemerintah harus mengusahakan ketersediaan perlengkapaan dasar dan umum yang dibutuhkan dalam perkebunan tebu di setiap wilayah yang aksesnya mudah dijangkau oleh petani tebu.
Selain itu, pada proses pembuatan gula tebu, kegiatan utama pasca panen adalah tahapan tebang angkut. Setelah ditebang tebu akan mengalami kerusakan yang disebabkan oleh enzyme, bahan kimia dan mikroba. Enzim invertase yang terdapat pada tebu akan mengkonversi sukrosa menjadi gula reduksi (glukosa dan fruktosa) sehingga kemurnian dari nira berkurang. Oleh karena itu untuk mengurangi kehilangan gula selama tebang angkut, hendaknya proses tebang angkut dilakukan secara efisien sehingga tebu setelah ditebang dapat digiling secepatnya.Kriteria keberhasilan pelaksanaan tebang dan angkut diukur dari kemampuan kotinuitas pasokan bahanbaku sesuai kapasitas giling dan mutu tebang yang layak giling. Mutu tebang sangat dipengaruhi oleh kesiapan prasarana, sarana angkutan, sumber daya tenaga tebang, kondisi lingkungan, kelancaran giling pabrik dan sistem pengupahan tenaga tebang dan angkutan.
Kondisi saat ini tenaga kerja untuk tebang angkut semakin langka, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan tebang angkut belum memadai. sehingga menimbulkan biaya tebang angkut yang tinggi serta membutuhkan tenaga tebang yang cukup banyak. Keterbatasan tenaga kerja tebang angkut pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap efisiensi dan produksi Gula, Upah tenaga kerja tebang angkut yang tinggi menimbulkan penurunan SHU petani dan tidak efisien bagi perkembangan tanaman tebu.
Untuk itu diperlukan dukungan sarana pasca panen tebang dengan menggunakan alat tebang tebu, alat ini juga bertujuan untuk menekan biaya tebang, menaikkan jumlah pasok tebu dan mengantisipasi tenaga tebang yang semakin sulit didapat. Tenaga kerja manusia membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga perlu di siapkan alat kerja baru yang berfungsi untuk menggantikan tenaga tebang angkut dan lebih efisien dan menguntungkan petani.
Monitoring dan Evaluasi Berkala
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Pengendalian dan Evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006, disebutkan bahwa monitoring merupakan suatu kegiatan mengamati secara seksama suatu keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau kegiatan tertentu, dengan tujuan agar semua data masukan atau informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan tindakan selanjutnya yang diperlukan. Tindakan tersebut diperlukan seandainya hasil pengamatan menunjukkan adanya hal atau kondisi yang tidak sesuai dengan yang direncanakan semula. Tujuan Monitoring untuk mengamati/mengetahui  perkembangan dan kemajuan, identifikasi dan permasalahan serta antisipasinya/upaya pemecahannya.
Evaluasi merupakan proses menentukan nilai atau pentingnya suatu kegiatan, kebijakan, atau program (OECD). Evaluasi merupakan sebuah penilaian yang seobyektif dan sesistematik mungkin terhadap sebuah intervensi yang direncanakan, sedang berlangsung atau pun yang telah diselesaikan. Hal-hal yang harus dievaluasi yaitu proyek, program, kebijakan, organisasi, sector, tematik, dan bantuan Negara. Kegunaan Evaluasi, adalah untuk:

a. Memberikan informasi yg valid ttg kinerja kebijakan, program & kegiatan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai & kesempatan telah dapat dicapai;
b. Memberikan sumbangan pada klarifikasi & kritik thd nilai2 yg mendasari pemilihan tujuan & target;
c. Melihat peluang adanya alternatif kebijakan, program, kegiatan yang lebih tepat, layak, efektif, efisien
d. Memberikan umpan balik terhadap kebijakan, program dan proyek;
e. Menjadikan kebijakan, program dan proyek mampu mempertanggungjawabkan penggunaan dana publik;
f. Mambantu pemangku kepentingan belajar lebih banyak mengenai kebijakan, program dan proyek;
g. Dilaksanakan berdasarkan kebutuhan pengguna utama yang dituju oleh evaluasi
h. Negosiasi antara evaluator and pengguna utama yang dituju oleh evaluasi 

Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Evaluasi merupakan merupakan kegiatan yang menilai hasil yang diperoleh selama kegiatan pemantauan berlangsung. Lebih dari itu, evaluasi juga menilai hasil atau produk yang telah dihasilkan dari suatu rangkaian program sebagai dasar mengambil keputusan tentang tingkat keberhasilan yang telah dicapai dan tindakan selanjutnya yang diperlukan.
Sistem monitoring dan evaluasi pembangunan gula seperti ini sudah seharusnya dilaksanakan dan berkelanjutan untuk menjamin keberhasilan program pembangunan yang diharapkan. Selain terjun langsung ke lapangan, model monitoring dan evaluasi dapat memanfaatkan Rumah Tebu Rakyat untuk mendapatkan informasi seputar perkembangan perkebunan tebu secara langsung dari petani tebu.
Peranan PTPN X dalam Mewujudkan Rencana Pembangunan Gula Nasional Berbasis Pendekatan Budaya Lokal
Tujuan dibentuknya PT. Perkebunan Nusantara seperti tercantum dalam Anggaran Dasar No. 47 tanggal 13 Agustus 2008 adalah melakukan usaha di bidang Agrobisnis dan Agroindustri serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perseroan untuk menghasilkan barang dan/jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, dan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perseroan dengan menerapkan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Dengan kata lain, bahwa PTPN X merupakan aktor pelaksana resmi pemerintah untuk mewujudkan kebijakan swasembada gula. Sebagai aktor pelaksana dan kepanjangan tangan dari pemerintah, berinteraksi langsung dengan masyarakat di setiap daerah merupakan suatu keharusan dalam kinerjanya. Berbagai rencana pembangunan gula nasional yang telah dipaparkan sebelumnya, sangat mungkin untuk diwujudkan oleh PTPN X sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Misalnya pendirian Rumah Tebu Rakyat, inisiasi dan pendekatan awal dapat dilakukan oleh PTPN X yang sedikit banyak telah mengerti kondisi budaya lokal setempat sehingga proses komunikasi dengan masyarakat dapat berjalan sesuai budaya lokal di daerah tersebut.
Selanjutnya, sebagai fungsi pelaksana, PTPN X telah memiliki banyak pengalaman terhadap proses perkebunan tebu maka pengalaman-pengalaman yang dimiliki selema ini dapat ditransfer melalui pendidikan dan pelatihan perkebunan tebu untuk masyarakat lokal. Dan begitu pula dengan pelaksanaan rencana-rencana lainnya, fungsi dan keberadaan PTPN X yang dekat dengan masyarakat sangat dibutuhkan dalam mewujudkan berbagai rencana yang telah dipaparkan sebelumnya.







DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Komoditas Pangan Strategis
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sumber Lain
Abe, Alexander,. 2001. Perencanaan daerah memperkuat prakarsa rakyat dalam otonomi daerah. Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
 Anonim, 1991. Tata Cara Kerja Pemetaan Penggunaan Tanah Detail. NPN. Jakarta.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (terjemahan). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 
Sawit, Husein, Erwidodo, Tonny K., Hermanto S., 2003. Penyelematan dan Penyehatan Industri Gula Nasional : Suatu Kajian Akademisi. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Siswomartono,D. 1994. Peranan Lembaga Keuangan Pada Pemanfaatan Lahan Tidur Untuk Agroforestry. Balai Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) dan Asia Pasifik Agroforestry Network (APAN). Bogor.
Utomo, Broto, 2003. Kebijakan Agribisnis Gula di Thailand. Kertas Kerja Perwakilan RI di Bangkok untuk disampaikan pada Pertemuan Konsultasi: Komparasi Kebijakan Produsen/Eksportir dan Importir Utama Dunia, 25-26 Juli 2003, Bangkok, Thailand.
________. Pemberdayaan Petani: Memiliki Pengetahuan Yang Baik Bertanam Tebu. Tabloid Sinar Tani. Edisi tahun 2012.
Rachmat Sujianto. 2012. Swasembada Gula 2014 Terancam Gagal. Artikel dimuat dalam http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2013/01/swasembada-gula-terancam-gagal/
Sutawi. 2013. Prospek Industri Gula Nasional: Peluang Manis diantara Tantangan Pahit. Artikel yang dimuat dalam http://sutawi.staff.umm.ac.id/?p=238