Pages

Pages

Rabu, 04 Desember 2013

PEMBENTUKAN BANK BUMN SYARIAH SEBAGAI SOLUSI PENGEMBANGAN EKONOMI RIIL

PEMBENTUKAN BANK BUMN SYARIAH SEBAGAI SOLUSI PENGEMBANGAN EKONOMI RIIL
Oleh : Muh. Afif Mahfud dan Muhammad Nur

Sistem Perekonomian di Indonesia
Negara Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang kuat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara makro pada triwulan III 2013 mencapai 5,62 persen. Namun, sayangnya pertumbuhan ekonomi makro berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi secara mikro yang masih sangat memprihatinkan. Data BPS menunjukkan tingkat pengangguran per Februari 2013 adalah 7,17 juta orang (5,92 persen) dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang, sedangkan tingkat kemiskinan bulan Maret 2013 mencapai 11,37 persen.
Kebijakan pemerintah yang masih kurang menyentuh aspek ekonomi mikro menjadi catatan penting dalam pembahasan tingkat pertumbuhan perekonomian di negeri ini. Kebijakan ekonomi secara mikro penting menjadi perhatian. Karena berdampak pada kesenjangan ekonomi yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ekonomi seharusnya tidak hanya berfokus secara makro tetapi harus membumi hingga pada lapisan masyarakat kecil. Keadaan ini banyak memunculkan kritikan dari masyarakat yang melihat adanya sistem ekonomi kapitalis yang makin berkembang.
Bangsa ini sesungguhnya sudah mempunyai konsep demokrasi ekonomi yang berpihak dan membangun kemakmuran rakyat. Hal ini sangat jelas dinyatakan dalam pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh karena itu, seluruh sendi-sendi perekonomian kapitalis termasuk di bidang perbankan harus segera diakhiri karena bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi. Penggunaan sistem bunga, merupakan salah satu akar penyebab kapitalisme dalam dunia perbankan konvensional selama ini. Sistem perekonomian dengan sistem bunga ini perlu diganti atau dicari solusinya karena sistem bunga memengaruhi pembentukan sistem ekonomi mikro yang menyebabkan pelemahan pada sektor riil. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh pengusaha kecil karena mereka tidak punya cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil. Bila gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar kembali pinjaman berikut bunganya dan akhirnya harus bangkrut. Hal ini terjadi terutama pada para petani. Jadi,  bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk keseimbangan pendapatan.
Reformasi sistem perekonomian dibidang perbankan merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi atau penyalur dana dari unit surplus ke unit defisit seharusnya menjadi katalisator dalam pencapaian kesejahteraan umum. Tujuan utama reformasi perbankan adalah penyesuaian sistem perbankan dengan asas perbankan yang menghendaki dilaksanakannya demokrasi ekonomi untuk mewujudkan pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Sistem Ekonomi Syariah Sebagai Solusi
Mewujudkan pemerataan ekonomi yang berkeadilan memang bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah penerapan perbankan syariah dalam perekonomian nasional. Perbankan syariah pada dasarnya sangat potensial di Indonesia. Salah satu faktor pendukung perkembangan bank syariah di Indonesia adalah jumlah penduduk muslim Indonesia yang mencapai 85,1% dari 240.271.522 orang. Jumlah penduduk ini merupakan pasar yang sangat potensial bagi perbankan syariah. Selain itu, perbankan syariah secara ideologis sejalan dengan substansi Pancasila khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini tampak dalam pembagian resiko yang adil antara perbankan dan nasabah serta sistem bagi hasil yang transparan. Kemudian, nilai maslahah atau kemanfaatan dalam perbankan syariah juga selaras dengan tujuan bangsa Indonesia yang ingin menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Aplikasi ekonomi syariah bukanlah untuk kepentingan umat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi umat Islam saja, tetapi bersifat inklusif.
Dalam perkembangannya perbankan syariah di Indonesia terus membukukan pertumbuhan pembiayaan yang tinggi. Namun, pertumbuhan pesat ini belum secara optimal menyentuh sektor ekonomi riil di tanah air. Hal itu terlihat dari data statistik perbankan syariah Bank Indonesia (BI) di kuartal I tahun 2013. Pada data tersebut, bank umum syariah dan unit usaha syariah membukukan pembiayaan sebesar Rp161,08 triliun.
Total pembiayaan tersebut tumbuh 47,62% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni Rp109,655 triliun. Tingginya penyaluran pembiayaan itu mendorong rasio pembiayaan terhadap simpanan atau finance deposit ratio (FDR) meningkat tajam dari 87,13% menjadi 102,62%. Perbankan syariah rela menggerus modalnya untuk meningkatkan pembiayaan. Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) turun dari 15,33% menjadi 14,3%.
Akan tetapi, mayoritas pembiayaan itu justru dialokasikan pada sektor konsumsi. Total pembiayaan konsumsi hingga kuartal I 2013 sebesar Rp72,932 triliun atau tumbuh 58,59% namun pembiayaan modal kerja hanya tumbuh 35,7% menjadi Rp59,306 triliun. Pembiayaan investasi tumbuh 48,47% menjadi Rp28,843 triliun. Menurut penulis, salah satu penyebab pertumbuhan perbankan syariah khususnya dalam hal pembiayaan sektor ekonomi riil masih belum optimal adalah adanya kelemahan dual banking system yang diterapkan selama ini.
Kelemahan dual banking system dalam hal pembiayaan sektor riil tersebut adalah adanya kesatuan managemen antara bank syariah dan bank konvensional yang menyebabkan pihak bank akan susah berfokus pada pengembangan perbankan syariah dalam sektor riil. Sistem perbankan konvensional juga rentan terhadap krisis, sehingga dampak krisis tersebut juga akan mempengaruhi perbankan syariah yang ada pada bank tersebut.
Konsolidasi Bank Syariah Menjadi Bank BUMN
Guna mengembangkan peran perbankan syariah pada sektor riil maka penulis mengusulkan agar perbankan syariah yang ada pada bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melaksanakan dual bank system dikonsolidasi atau digabungkan menjadi satu bank syariah Badan Usaha Milik Negara. Alasan konsolidasi bank-bank syariah tersebut menjadi satu bank BUMN karena pada dasarnya bentuk BUMN memiliki berbagai keunggulan diantaranya; menguasai sektor yang vital bagi kehidupan rakyat banyak, mendapat jaminan dari dukungan negara, permodalannya sudah pasti karena mendapat pendanaan dari negara, kelangsungan hidup terjamin dan sebagai sumber pendapatan negara.
Penggabungan tersebut sangat dimungkinkan karena bank-bank tersebut merupakan bagian-bagian dari bank konvensional BUMN yang selama ini menerapkan dual banking system. Bank-bank yang akan digabungkan juga berprinsip syariah sehingga sangat mungkin untuk digabungkan karena kesamaan nilai, masing-masing bank syariah tersebut juga memiliki kemiripan fokus bisnis. Dalam tataran operasional, bank syariah BUMN akan bekerjasama dengan kementerian-kementerian yang bertanggung jawab dalam pengembangan sektor ekonomi riil. Kementerian tersebut adalah Kementerian Pertanian dan Kementerian Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama dengan dua kementerian ini dipilih karena kementerian tersebut sangat berkaitan dengan pengembangan sektor riil bagi masyarakat menengah kebawah.
Mekanisme Implementasi
Setelah Bank BUMN Syariah tersebut terbentuk, tahapan untuk mengimplementasikan pemberian dana kepada sektor riil melalui Bank BUMN Syariah adalah :
  1. Bank BUMN Syariah mengadakan kerjasama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Usaha Kecil dan Menengah untuk menyalurkan pembiayaan kepada sektor ekonomi riil. Dalam hal ini, pihak kementerian dapat menyalurkan modal bantuan kepada Bank BUMN Syariah kemudian Bank BUMN Syariah menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pembiayaan lunak kepada sektor ekonomi riil. Penyaluran dana bantuan dari kementerian kepada sektor ekonomi riil melalui bank syariah dapat dipandang pula sebagai penyelesaian permasalahan dana pihak ketiga yang selama ini menjadi salah satu penyebab ekonomi syariah tidak dapat maksimal dalam melakukan pembiayaan. Dana dari kementerian inilah yang nantinya dapat dipandang sebagai dana pihak ketiga dan penyalurannya khusus kepada sektor ekonomi riil.
  2. Kementerian terkait dalam hal ini kementerian usaha kecil menengah mendata petani dan pengusaha-pengusaha yang berhak untuk mendapatkan pembiayaan syariah. Kriteria yang digunakan mengacu pada prospek usaha tersebut dan nilainya mengacu pada banyaknya dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha tersebut.
  3. Bank BUMN Syariah dan kementerian terkait kemudian mengadakan sosialisasi mengenai pembiayaan yang akan dikembangkan kepada para petani dan usaha kecil menengah
  4. Bank BUMN Syariah kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman lunak kepada para petani serta pengusaha mikro, kecil dan menengah.
Skema yang dapat digunakan dalam penyaluran pembiayaan ini adalah dengan menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Akad mudharabah adalah akad yang berdasarkan kepercayaan. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pemberi dana sedangkan petani atau pengusaha bertindak sebagai pengelola dana.
Selain itu, mekanisme lain yang digunakan dalam menyalurkan dana kepada petani dan pengusaha kecil dan menengah adalah dengan menggunakan akad musyarakah. Akad musyarakah adalah akad kerjasama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama.
Adapun penjelasan skema tersebut adalah pihak bank memasukan modal serta pihak nasabah (petani serta pengusaha mikro, kecil dan menengah) memasukan modal dan skill. Kemudian, diadakan suatu proyek yang akan dikelola oleh nasabah (petani/pengusaha mikro, kecil dan menengah). Kemudian proyek tersebut akan menghasilkan keuntungan yang akan dibagi berdasarkan proporsi yang telah disepakati.
  1. Setelah pembiayaan tersebut dilakukan maka pihak kementerian terkait bersama-sama akan mengadakan penyuluhan kepada petani/usaha kecil dan menengah. Pihak kementerian akan mengadakan penyuluhan tentang cara untuk meningkatkan produksi dan kreativitasnya sedangkan pihak perbankan akan memberikan penyuluhan tentang cara mengelola keuangan dalam pengembangan usaha tersebut. Penyuluhan ini akan diadakan secara berkala sehingga petani serta pengusaha mikro, kecil dan menengah mendapatkan pendampingan dalam setiap proses pengembangan usahanya. Selain itu, dalam prosespendampingan/penyuluhan ini, pihak perbankan dan kementerian terkait dapat memantau atau mengawasi perkembangan usaha tersebut
  2. Setelah berlangsung, usaha tersebut mendapatkan keuntungan maka pihak pengelola akan mengembalikan dana beserta keuntungan yang telah dibagi sesuai perjanjian kepada bank. Keuntungan tersebut sebagian akan diambil sebagai biaya jasa oleh pihak bank dan sisanya akan disalurkan kembali menjadi dana bergulir
Keuntungan
  1. Konsep ini akan memberdayakan sektor usaha kecil dan menengah yang selama ini kekurangan modal dalam mengembangkan usahanya
  2. Konsolidasi bank-bank syariah yang selama ini ada di bawah bank konvensional BUMN menjadi BUMN tersendiri akan memudahkan pengawasan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam bank BUMN syariah.

Senin, 08 April 2013

MAKALAH KEUANGAN NEGARA

KONSEP DAN IMPLEMENTASI POLA PENGELOLAAN KEUANGAN 
BADAN LAYANAN UMUM (BLU)



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latarbelakang
Dengan mengacu pada praktek yang dilaksanakan di Eropa, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan konsep pembagian peran pemerintah dan swasta dengan jelas. Begitu pula, sesuai dengan pemikiran pada masa itu, dengan pembedaan barang dan jasa publik, semi publik, dan barang jasa swasta.

Dari kacamata Ilmu Hukum Keuangan Negara, keberadaan IBW (Indische Bedrijven Wet) yang menaungi perusahaan-perusahaan pemerintah pada era Hindia Belanda dari segi hukum, pada hakekatnya, merupakan pengakuan bahwa pemerintah bukan hanya memiliki peran sebatas sebagai otoritas, tetapi juga sebagai individu. Di lain pihak, adanya perusahaan-perusahaan yang tunduk pada ketentuan ICW (Indische Comptabiliteits Wet) memberikan gambaran tentang barang-barang dan jasa semi publik yang harus dikelola pemerintah dengan memperhatikan berbagai aspek, khususnya aspek kelembagaan dan anggaran negara.

Dengan berbekal pada kenyataan tersebut di atas, gelombang perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia setelah berakhirnya Perang Dunia ke II di bidang pengelolaan keuangan negara tidak menimbulkan gejolak yang signifikan di Indonesia.

Lahirnya Undang-undang Bidang Keuangan Negara, khususnya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-undang Perbendaharaan Negara merupakan bukti adaptasi berbagai pemikiran yang selama ini ada beserta perkembangannya. Dan lahirnya Undang-undang Perbendaharaan Negara, secara formal, menandai lahirnya suatu lembaga khusus yang kemudian dikenal dengan nama Badan Layanan Umum (BLU).

Hingga tahun 2012 pelaksanaan badan layanan umum telah tersebar di berbagai daerah dan berbagai macam instansi, termasuk instansi yang mengurusi masalah kesehatan masyarakat yaitu Rumah Sakit. Anggaran besar pun dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, pelaksanaan BLU sudah seharusnya memiliki konsep yang matang sebelum diterapkan di setiap instansi yang memiliki fokus kerja yang berbeda-beda, khususnya di rumah sakit. Hal inilah yang melatarbelakangi menulis untuk mengkaji konsep dan implementasi pelaksanaan BLU di salah satu rumah sakit yang ada di Jakarta yang hasilnya kemudian dituangkan dalam makalah ini yang berjudul “Konsep dan Implementasi Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta”

1.2 Rumusan Masalah
     Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
  1. Bagaimanakah Konsep Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum di Indonesia?
  2. Bagaimanakah Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini, antara lain :
1.    Menjelaskan tentang Konsep Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum di Indonesia;
2.    Menjelaskan tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.
 
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini, antara lain :
1.    Dapat menjelaskan tentang Konsep Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum di Indonesia;
2.    Dapat menjelaskan tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.


BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum di Indonesia
PPK-BLU merupakan tuntutan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana terjadi pergeseran dari sistem penganggaran tradisional ke sistem penganggaran berbasis kinerja, dan pembiayaan tidak hanya membiayai masukan (inputs) atau proses tetapi sudah diarahkan pada pembiayaan yang membiayai hasil (outputs). Sedangkan ketentuan tentang PPK-BLU tercantum dalam Bab XII Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang terdiri dari pasal 68 dan pasal 69 Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang secara lengkapnya berbunyi sebagai berikut : 

Pasal 68
(1) Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2) Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyeleng-garakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
(3) Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan. 

Pasal  69
(1) Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.
(2) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai begian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/ Pemerintah Daerah.
(3) Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah.
(4) Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan negara/Daerah.
(5) Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum diatur dalam peraturan pemerintah.

Peraturan pemerintah sesuai dengan tuntutan pasal 69 ayat (7) tersebut di atas adalah Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (selanjutnya disebut PP nomor 23 tahun 2005).  

Ketentuan Umum dalam PP nomor 23 tahun 2005 pasal 1 mendefinisikan BLU sebagai berikut :
(1) Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
(2) Pola Pengelolaan Keuangan BLU, yang selanjutnya disebut PPK-BLU, adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
(3) Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau daerah.
(4) Instansi pemerintah adalah setiap kantor atau satuan kerja yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang. 

2.1.1. Tujuan dan Asas Badan Layanan Umum
Tujuan BLU tercantum dalam pasal 2 PP nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU, yaitu “BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan  penerapan praktek bisnis yang sehat”.  Selain itu BLU juga bertujuan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat serta pengamanan aset negara yang dikelola oleh instansi terkait (penjelasan Pasal 2 PP nomor 23 tahun 2005). 

Pengertian praktek bisnis yang sehat tersebut di atas didefinisikan dalam pasal 1 ayat (12) PP nomor 23 tahun 2005 yaitu “Praktek bisnis yang sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan”. 

Asas-asas BLU sesuai dengan pasal 3 PP nomor 23 tahun 2005, adalah sebagai berikut :
(1) BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.
(2) BLU merupakan bagian dari perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
(3) Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikan-nya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.
(4) Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/bupati/walikota.
(5) BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
(6) Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah.
(7) BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat. 

2.1.2. Kriteria-Kriteria Badan Layanan Umum
Satuan kerja dalam suatu instansi pemerintah dapat menjadi BLU setelah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. 

Kriteria tersebut terbagi menjadi tiga jenis yaitu substantif, teknis, dan adminis-tratif. Kriteria substantif tercantum dalam ayat (2) pasal 2 PP nomor 23 tersebut di atas, yang berbunyi :
(2) Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan :
a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
b. Pengelolaan wilayah atau kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.

Bidang layanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dengan pola pengelolaan keuangan BLU meliputi kegiatan pemerintah yang bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa (quasi public goods). Contoh instansi yang menyelenggarakan penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum adalah pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah, penyelenggara pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian. Contoh instansi yang melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah atau kawasan secara otonom adalah otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Contoh instansi yang melaksanakan pengelolaan dana adalah pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah, pengelola penerusan pinjaman, dan pengelola tabungan perumahan. 

Kriteria teknis yang harus dipenuhi suatu instansi untuk menjadi BLU diatur dalam ayat (3) pasal 4 PP nomor 23 tersebut di atas, yang berbunyi :
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila :
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh Menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD[1] sesuai dengan kewenangannya; dan
b. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU. 

Jenis kriteria terakhir yaitu persyaratan teknis diatur dalam ayat (4) pasal 4 PP nomor 23 tersebut, yang berbunyi :
(4) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut :
a. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. Pola tata kelola;
c. Rencana strategis bisnis;
d. Laporan keuangan pokok;
e. Standar pelayanan minimum; dan
f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

(5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk mendapatkan persetujuan sebelum disampaikan kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota. 

Pernyataan kesanggupan dibuat oleh pimpinan instansi yang mengajukan usulan sebagai BLU dan diketahui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. Sedangkan pola tata kelola adalah pola tata kelola (corporate governance) BLU yang dimaksud adalah peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan transparansi.  

Dokumen yang menyangkut rencana strategi bisnis harus meliputi antara lain pernyataan visi, misi, program strategis, dan pengukuran pencapaian kinerja. Sedangkan laporan keuangan pokok yang dimaksud disini adalah laporan keuangan yang berlaku bagi instansi tersebut, termasuk laporan realisasi anggaran/laporan operasional keuangan, laporan posisi keuangan, laporan arus kas (dalam hal berlaku), dan catatan atas laporan keuangan, serta neraca/prognosa neraca. 

Badan Layanan Umum adalah instansi pemerintah yang menyelenggarakan layanan umum maka persyaratan administratif juga mewajibkan adanya standar pelayanan minimum yang harus dipenuhi oleh instansi tersebut sesuai berlaku pada sektor masing-masing. Standar pelayanan minimum yang dimaksud adalah prognosa standar pelayanan minimum BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. 

Standar layanan diatur dalam pasal 8 PP nomor 23 tentang PK BLU, yang berbunyi :
(1)  Instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2)  Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU.
(3)  Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. 

Standar pelayanan minimum bertujuan untuk memberikan batasan layanan minimum yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah. Agar fungsi standar pelayanan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka standar layanan BLU semestinya memenuhi persyaratan SMART (Specific, Measureable, Attainable, Reliable, and Timely), yaitu :
a. Fokus pada layanan;
b. Dapat diukur;
c. Dapat dicapai;
d. Relevan dan dapat diandalkan; dan
e. Tepat waktu. 

Selain standar layanan minimum, tarif layanan juga merupakan hal penting yang harus diatur oleh pemerintah. Hal ini tertuang dalam pasal 9 PP nomor 23 tentang PK BLU, dimana dinyatakan bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Tarif yang ditetapkan ini, termasuk imbal hasil (return) yang wajar dari investasi dana, bertujuan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya per unit layanan. Tarif layanan dalam ketentuan ini dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis layanan BLU yang bersangkutan.

Tarif layanan harus mempertimbangkan :
a. kontinuitas dan pengembangan layanan;
b. daya beli masyarakat;
c. asas keadilan dan kepatutan; dan
d. kompetisi yang sehat. 

Tarif layanan diusulkan oleh BLU yang bersangkutan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. 

2.1.3.  Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
PP nomor 23 tahun 2005 tentang PK BLU mengatur mengenai pola pengelolaan keuangan BLU, yang antara lain mencakup : 
a. Perencanaan dan Penganggaran.
b. Pendapatan dan Belanja.
c. Pengelolaan Kas.
d. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan.
e. Akuntabilitas Kinerja.
f. Surplus dan Defisit. 

2.1.3.1 Perencanaan dan Penganggaran
Perencanaan dan Penganggaran PPK-BLU diatur dalam pasal 10 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) BLU menyusun rencana strategi bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
(2) BLU menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) tahunan dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan basis kinerja dan penghitungan akuntansi biaya menurut jenis layanan.
(4) RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD. 

RBA memuat antara lain kondisi kinerja BLU tahun berjalan, asumsi makro dan mikro, target kinerja (output yang terukur), analisis dan perkiraan biaya per output dan agregat, perkiraan harga, anggaran, serta prognosa laporan keuangan. RBA juga memuat prakiraan maju (forward estimate) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. RBA tersebut disusun dengan menganut pola anggaran fleksibel (flexible budget) dengan suatu prosentase ambang batas tertentu. RBA dimaksud merupakan refleksi program dan kegiatan dari kementerian negara/ lembaga/SKPD/ pemerintah daerah. 

Pengajuan RBA oleh BLU dilakukan secara berjenjang dengan terlebih dahulu diajukan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari Renstra-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD. RBA tersebut dilampiri dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran (output) yang akan dihasilkan. 

RBA yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD tersebut diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD[2] untuk dikaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan Renstra-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD. Kemudian, BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.  

2.1.3.2. Pendapatan dan Belanja
Pendapatan PPK-BLU diatur dalam pasal 14 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU.
(2) Pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU.
(3) Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan.
(4) Hasil kerjasama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya merupakan pendapatan bagi BLU.
(5) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dapat dikelola langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA sebagaimana dimaksud dalam pasal 11.
(6) Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah. 

Belanja PPK-BLU diatur dalam pasal 15 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif.
(2) Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat.
(3) Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA.
(4) Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/ bupati/walikota atas usulan menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
(5) Dalam hal terjadi kekurangan anggaran, BLU dapat mengajukan usulan tambahan anggaran dari APBN/APBD kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
(6) Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/ lembaga/SKPD/ pemerintah daerah. 

Bahwa pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel maksudnya adalah bahwa belanja BLU dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang setidaknya secara proporsional (flexible budget). Penetapan besaran ambang batas belanja ditentukan dengan mempertim-bangkan fluktuasi kegiatan operasional. 

2.1.3.3. Pengelolaan Kas
Pengelolaan Kas PPK-BLU diatur dalam pasal 16 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) Dalam rangka pengelolaan kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut :
a. merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas;
b. melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan;
c. menyimpan kas dan mengelola rekening bank;
d. melakukan pembayaran;
e. mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan
f. memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
(2) Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat.
(3) Penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Rekening bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibuka oleh pimpinan BLU pada bank umum.
(5) Pemanfaatan surplus kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan sebagai investasi jangka pendek pada instrumen keuangan dengan risiko rendah.  

2.1.3.4. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan
Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan diatur dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 PP nomor 23 tahun 2005, berbunyi sebagai berikut :
Pasal  25
BLU menerapkan sistem informasi manajemen keuangan sesuai dengan kebutuhan dan praktek bisnis yang sehat.
Pasal  26
(1) Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib.
(2) Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntan Indonesia.
(3) Dalam hal tidak terdapat standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), BLU dapat menerapkan standar akuntansi industri yang spesifik setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
(4) BLU mengembangkan dan menerapkan sistem akuntnasi dengan mengacu pada standar akuntansi yang berlaku sesuai dengan jenis layanannya dan ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 27
(1) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja.
(2) Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh BLU dikonsolidasikan dalan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Lembar muka laporan keuangan unit-unit usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat sebagai lampiran laporan keuangan BLU.
(4) Laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara berkala kepada menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, untuk dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementrian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(5) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD serta kepada Menteri Keuangan/ gubernur/bupati/ walikota, sesuai dengan kewenangannya, paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan terakhir.
(6) Laporan keuangan BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pertanggungjawaban keuangan kementrian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
(7) Penggabungan laporan keuangan BLU pada laporan keuangan kementrian negara/lembaga/ SKPD/pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
(8) Laporan pertanggungjawaban keuangan BLU diaudit oleh pemeriksa esktern sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.  

2.1.3.5. Akuntabilitas Kinerja
Akuntabilitas kinerja PPK-BLU diatur dalam pasal 28 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) Pimpinan BLU bertanggung jawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA.
(2) Pimpinan BLU mengikhtisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1). 

Penilaian kinerja terbagi dalam tiga kategori yaitu kinerja keuangan, kinerja operasional, dan kinerja mutu pelayanan dan manfaat bagi masyarakat. Indikator kinerja dari masing-masing kategori tersebut akan berbeda sesuai dengan industri dari masing-masing badan layanan umum tersebut. 

2.1.3.6. Surplus dan Defisit
Surplus dan Defisit PPK-BLU diatur dalam pasal 29 dan pasal 30 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
Pasal 29
Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU.
Pasal 30
(1) Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan/PPKD melalui menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya.
(2) Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBN/APBD tahun anggaran berikutnya.
Surplus anggaran BLU dimaksud adalah selisih lebih antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran. Surplus tersebut diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikut untuk disetujui penggunaannya. Defisit anggaran BLU dimaksud adalah selisih kurang antara pendapatan dengan belanja BLU yang dihitung berdasarkan laporan keuangan operasional berbasis akrual pada suatu periode anggaran.  

2.1.4. Tata Kelola Badan Layanan Umum
2.1.4.1. Struktur Organisasi
Pasal 32 ayat (1) sampai (4) PP 23 tahun 2005 mengatur mengenai Struktur Organisasi, yang bunyi keseluruhan pasal tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Pejabat pengelola BLU terdiri atas :
a. Pemimpin ;
b. Pejabat keuangan; dan
c. Pejabat teknis.
(2) Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban :
a. menyiapkan rencana srtategis bisnis BLU;
b. menyiapkan RBA tahunan;
c. mengusulkan calon pejabat keuangan dan pejabat teknis sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
d. menyampaikan pertanggungjawaban kinerja operasional dan keuangan BLU.
(3) Pejabat keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban :
a. mengkoordinasikan penyusunan RBA;
b. menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU;
c. melakukan pengelolaan pendapatan dan belanja;
d. menyelenggarakan pengelolaan kas;
e. melakukan pengelolaan utang-piutang;
f. menyusuan kebijakan pengelolaan barang, aset tetap. Dan investasi BLU;
g. menyusun sistem informasi manajemen keuangan; dan
h. menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
(4) Pejabat teknis BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban : 
a. menyusun perencanaan kegiatan teknis di bidangnya;
b. melaksanakan kegiatan teknis sesuai menurut RBA; dan mempertanggung-jawabkan kinerja opersional di bidangnya.
Sebutan pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada instansi pemerintah yang bersangkutan.  

2.1.4.2. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan Pengawasan PPK-BLU diatur dalam pasal 34 dan 35 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
Pasal 34
(5) Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait.
(6) Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan/PPKD sesuai kewenangannya.
(7) Dalam pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk dewan pengawas.
(8) Pembentukan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku hanya pada BLU yang memiliki realisasi nilai omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran atau nilai aset menurut neraca yang memenuhi syarat minimum yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(9) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.
(10) Dewan pengawas BLU di lingkungan pemerintah daerah dibentuk dengan keputusan gubernur/bupati/walikota atas usulan kepala SKPD.
Pasal 35
(1) Pemeriksaan intern BLU dilaksanakan oleh satuan pemeriksaan intern yang merupakan unit kerja yang berkedudukan langsung di bawah pimpinan BLU.
(2) Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilaksanakan oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

2.1.4.3. Remunerasi
Remunerasi PPK-BLU diatur dalam pasal 36 PP nomor 23 tahun 2005, yang berbunyi :
(1) Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.
(2) Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan peraturan Meneteri Keuangan/Gubernur/bupati/walikota atas usulan menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD, sesuai dengan kewenangannya. 
Remunerasi dimaksud adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan atau pensiun. Penetapan remunerasi harus mempertimbangkan prinsip proporsionalitas, kesetaraan, dan kepatutan. 

2.2. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
2.2.1. Gambaran Umum
2.2.1.1.  Sejarah Singkat dan Landasan Hukum 
Awalnya RSUP Fatmawati direncanakan sebagai rumah sakit TBC khusus anak-anak oleh Yayasan Ibu Soekarno, tetapi karena proses kegiatan fisiknya mengalami kesulitan dana dan pengelolaan, maka pada tahun 1961 diserahkan kepada Departemen Kesehatan RI. RSUP Fatmawati sebagai unit teknis Departemen Kesehatan RI, berkembang dan mengalami beberapa perubahan seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah dalam bidang pelayanan kesehatan. Pada tahun 1984 melalui surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 294/Menkes/SK/V/1984 dan surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1306/Menkes/SK/III/1988 RSUP Fatmawati dinyatakan sebagai Rumah Sakit Umum Pusat Kelas B Pendidikan dan sebagai Pusat Rujukan Wilayah Jakarta Selatan.

Tahun 1992 RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Rumah Sakit Unit Swadana Bersyarat dan dua tahun kemudian menjadi Rumah Sakit Unit Swadana Penuh. Tahun 1997 dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka RSUP Fatmawati berubah menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tahun 2000 berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 117 tahun 2000, RSUP Fatmawati ditetapkan sebagai Rumah Sakit Perusahaan Jawatan. Tahun 2005 melalui surat Menteri Kesehatan nomor 861/Menkes/VI/2005 dan surat keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1243/Menkes/VIII/2005, RSUP Fatmawati menjadi unit pelaksana teknis Departemen Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum berdasarkan Peraturan Pemerintah RI nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Perubahan menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum memberikan legalitas untuk melaksanakan pelayanan kesehatan secara strategis dan komprehensif, pengelolaan keuangan yang mandiri dan masih mendapat bantuan atau subsidi untuk tenaga pegawai negeri dan subsidi modal, memberikan tantangan bagi manajemen untuk melakukan inovasi dan memperluas pangsa pasar serta image bagi rumah sakit yang tidak hanya melayani golongan menengah ke bawah, tetapi juga golongan menengah atas.

2.2.1.2.  Kegiatan RSUP Fatmawati 
RSUP Fatmawati menyelenggarakan fungsi sebagai berikut :
1. Pelayanan Kesehatan
2. Pelayanan penunjang medis dan non medis
3. Pelayanan dan asuhan keperawatan
4. Pengelolaan sumber daya manusia rumah sakit
5. Pelayanan rujukan
6. Pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan
7. Penelitian dan pengembangan
8. Administrasi umum dan keuangan

Kegiatan pelayanan kesehatan terdiri dari :
1. Pelayanan Kegawatdaruratan, meliputi : Instalasi Rawat Darurat,  Laboratorium 24 jam, Radiologi 24 Jam, Ambulance 24 jam, Pelayanan Farmasi 24 jam.
2. Pelayanan Rawat Jalan, meliputi : 
a. Pelayanan Medis Spesialistik Unggulan : Bedah Tulang dan Rehabilitasi Medik;
b. Pelayanan Medis Spesialistik Dasar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, kebidanan dan penyakit kandungan, dan bedah;
c. Pelayanan Medis Spesialistik Lain: bedah saraf, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit mata, penyakit telinga hidung tenggorokan, penyakit kulit kelamin, penyakit jiwa, penyakit gigi mulut, aenestesi, dan akupunktur; 
d. Pelayanan Medis Unggulan Terpadu yaitu Perinatal Resiko Tinggi, Klinik Wijaya Kusuma (konseling HIV/AIDS), Klinik Kesehatan Remaja (KKR), Klinik Tumbuh Kembang (KTK), Pusat Penanggulangan Kanker Terpadu (PPKT);
e. Pelayanan Eksekutif Griya Husada
3. Pelayanan Rawat Inap, meliputi :
a. Paviliun Anggrek (VIP) dan Stroke Unit;
b. Rawat Inap A (Ruang Bersalin, Perawatan Kebidanan, Penyakit Kandungan, Perawatan Bayi dan Anak);
c. Rawat Inap B (perawatan penyakit dalam, bedah, THT, mata, gigi, jantung, paru, saraf, dan bedah saraf);
d. Rawat Inap C (perawatan bedah orthopaedi dan rehabilitasi medis).
4. Pelayanan Rawat Intensif, meliputi : Ruang ICU (Intensive Care Unit), Ruang CEU (Cardiac Emergency Unit), Ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit), Ruang PICU (Perinatal Intensive Care Unit)
5. Pelayanan Kamar Operasi, meliputi : Pelayanan Operasi Elektif, Operasi Cito, Operasi Minor, dan One Day Care (ODC).
6. Pelayanan Penunjang, meliputi : Laboratorium klinik, patologi anatomi, radiology dan kedokteran nuklir, pemeriksaan canggih, farmasi, pelayanan gizi, sterilisasi sentral dan binatu, forensic dan perawatan jenazah, dan Unit Bank Jaringan.
7. Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan, meliputi : Medical Check-up dan Klub Kesehatan (Klub Stroke, Klub Asma, Klub Diabetes Mellitus, Klub Kanker, Klub Jantung, Klub osteoporosis, klub terapi wicara anak, klub terapi afasia, dan  paguyuban Geriarti).

2.2.2. Tata Kelola RSUP Fatmawati
2.2.2.1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi RSUP Fatmawati ditetapkan berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan nomor 1332/Menkes/SK/XII/2001 adalah sebagai berikut :
Susunan Dewan Direksi :
Direktur Utama                                       : dr.Kemas M.Akib Aman,Sp.Rad,   MARS
Direktur Medis dan Keperawatan           : dr. Chairul R. Nasution, Sp.PD, MKes
Direktur Umum, SDM, dan Pendidikan   : dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An
Direktur Keuangan                                  : dr. Tini Sekartini, MM 

Dewan Direksi membawahi beberapa direktorat baik yang bersifat fungsional, yaitu Direktorat Medik dan Keperawatan, maupun direktorat penunjang, yaitu Direktorat Keuangan dan Direktorat Umum, Sumber Daya Manusia dan Pendidikan.
Komite-komite yang ada di RSUP Fatmawati yaitu Komite Medik, Komite Etik dan Hukum, Komite Pengembangan dan Unggulan, serta Komite Keperawatan, dibentuk sebagai salah satu unsur tata kelola yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen, transaparansi serta akuntabilitas manajemen terhadap stakeholders terkait. Bagan struktur organisasi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati dapat dilihat pada gambar dibawah :
Gambar 3.1.
truktur Organisasi RSUP Fatmawati



Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa selain Dewan Direksi, ada pula Dewan Pengawas, selain dipersyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan, juga menunjukkan suatu bentuk tata kelola perusahaan (corporate governance) yang mendukung transparansi dan akuntabilitas yang efektif. 
 
Demikian juga dengan adanya Satuan Pengawas Intern yang merupakan salah bentuk wujud tanggung jawab kepada para pemegang kepentingan (stakeholders) terkait. Susunan Dewan Pengawas adalah sebagai berikut :
Ketua             :  Prof. DR. Prijono Tjiptoherijanto
Sekretaris      :  Drs. Amak Rochmat, MPA
Anggota         :  Dra. Zurmiati, Apt
Tasdik Kinanto, SH
DR. Sahala Lumban Gaol
dr. Deddy Ruswendi, MPH

2.2.2.2. Visi dan Misi 
Visi RSUP Fatmawati adalah: “Menjadi rumah sakit terkemuka yang memberikan pelayanan yang melampaui harapan pelanggan”
Visi tersebut mengandung pandangan ke masa depan akan adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi atas jasa pelayanan kesehatan, kebijakan pemerintah terhadap pasien dalam strata tertentu, serta adanya peluang yang belum dioptimalkan. Sedangkan pengertian rumah sakit terkemuka adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan prima, efisien, dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, melakukan perbaikan berkesinambungan, proaktif-kreatif serta selalu berorientasi kepada para pelanggan.
Misi RSUP Fatmawati adalah :
1. Memberikan pelayanan medis yang sesuai dengan standard pelayanan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dengan unggulan pelayanan orthopedik dan rehabilitasi medik.
2. Memfasilitasi dan meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan penelitian untuk pengembangan sumber daya manusia dan pelayanan.
3. Menyelenggarakan administrasi dan penata kelolaan rumah sakit yang efisien, efektif, dan akuntabel.
4. Melaksanakan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, fleksibel berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat.
5. Mengutamakan keselamatan pasien dan menciptakan lingkungan yang sehat.
6. Meningkatkan semangat persatuan dan kesejahteraan sumber daya menusia rumah sakit. 

2.2.2.3. Maksud dan Tujuan 
RSUP Fatmawati, sebagai salah satu unit teknis fungsional Departemen Kesehatan, didirikan untuk menunjang program Departemen Kesehatan dalam melayani masyarakat di bidang kesehatan dengan manajemen yang profesional. Di samping itu, maksud dan tujuan didirikannya RSUP Fatmawati adalah :
1. Mewujudkan pelayanan yang melampaui harapan pelanggan dan bertumpu pada keselamatan pasien (patient safety).
2. Mewujudkan pelayanan rumah sakit yang bermutu tinggi dengan tarif yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
3. Mewujudkan pengembangan berkesinambungan dan akuntabilitas bagi pelayanan dan pendidikan.
4. Mewujudkan sumber daya manusia yang profesional yang berorientasi kepada pelayanan pelanggan.
5. Mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh karyawan. 

2.2.3. Perencanaan dan Penganggaran
RSUP Fatmawati sebagai unit pelaksana teknis Departemen Kesehatan RI yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), maka RSUP Fatmawati berubah status dan format struktur organisasinya. Adanya perubahan tersebut mengharuskan RSUP Fatmawati membuat Rencana Strategi Pengembangan (selanjutnya disebut Renstra) yaitu untuk tahun 2006-2010 yang kemudian dalam pelaksanaan tahunannya dituangkan dalam dokumen kerja Rencana Bisnis dan Anggaran (selanjutnya disebut RBA). Renstra dan RBA yang dibuat oleh RSUP Fatmawati tidak terlepas dari Renstra induknya yaitu Departemen Kesehatan RI. RSUP Fatmawati menyusun RBA tahunan dengan mengacu pada analisa dan evaluasi kinerja tahun berjalan dan memproyeksikan kinerja tahun anggaran berikutnya. Evaluasi kinerja tahun berjalan dilakukan dengan memperhitungkan kondisi internal dan eksternal RSUP Fatmawati, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tahun berjalan. RSUP Fatmawati menggunakan analisa SWOT untuk mengetahui posisi RSUP Fatmawati dengan melihat kekuatan (Strengths), kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threaths). Diketahuinya posisi RSUP dalam koordinat SWOT akan memberikan arahan strategi yang dapat dilakukan pada tahun anggaran berikutnya.

Hasil analisis SWOT tahun 2009 sebagai dasar pembuatan RBA tahun anggaran 2010, adalah sebagai berikut :
Sumbu X : Kekuatan - Kelemahan = (3,005 – 2,85)  =  0,155
Sumbu Y : Peluang - Ancaman    = (3,25  -  2,45 )  =  0,80
Maka posisi RSUP Fatmawati ada di kuadran I (Growth/Aggressive), dimana terdapat kecendrungan mengarah ke kuadran II. Strategi yang dikembangkan oleh RSUP Fatmawati berdasarkan kondisi tersebut adalah memperkuat kekuatan dan menangkap peluang-peluang yang ada guna mewujudkan pelayanan yang bermutu, terjangkau dan melampaui harapan pelanggan sesuai dengan visi dan misi RSUP Fatmawati. Strategi-strategi tersebut diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung optimalisasi sumber daya melalui program kegiatan pengem-bangan layanan di semua satuan kerja.  

Penetapan strategi yang dilakukan berdasarkan hasil analisa SWOT dan juga analisis internal dan eksternal RSUP dijabarkan secara lebih detail ke masing-masing unit/satuan kerja, dengan menggunakan asumsi-asumsi mikro dan makro. Asumsi makro yang digunakan adalah tingkat inflasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, tingkat bunga pinjaman dan simpanan. Sedangkan asumsi mikro yang dipertimbangkan antara lain :
- Kebijakan akuntansi sesuai dengan standar akuntansi,
- Subsidi masih diterima dari Pemerintah untuk belanja modal, belanja pegawai, 
- Subsidi pasien tidak mampu melalui PT Askes dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta,
- Asumsi penyesuaian tarif  5 - 10%. Pelaksanaan RBA ini merupakan mata rantai yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus sebagai tolok ukur pencapaian kinerja yang senantiasa dikawal dengan kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan secara konsisten. 

2.2.4. Pendapatan dan Belanja
Pendapatan RSUP Fatmawati terbagi atas :
1) Pendapatan Operasional 
Pendapatan Operasional diperoleh atas :
a. Penghasilan Operasional Rawat Jalan
b. Penghasilan Operasional Rawat Inap
c. Penghasilan Operasional Sarana Penunjang
d. Penghasilan Fungsional Lainnya 

2) Sumbangan Tidak Terikat 
Sumbangan Tidak Terikat adalah Dana APBN yang diterima dari Pemerintah dan sumbangan dari pihak ketiga. Dana APBN dalam RBA tahun 2009 adalah sebesar Rp 40.647.735.000,00, sedangkan untuk RBA tahun 2010 adalah sebesar Rp 87.617.637.000,00. Dana tersebut digunakan sebagai belanja modal/barang dan belanja pegawai, dan dilaporkan dalam Laporan Aktivitas RSUP Fatmawati. Pada tahun 2009 RSUP Fatmawati menerima sumbangan tidak terikat dari berbagai pihak sebesar Rp 130.913.827.517,00. 

3) Pendapatan Non Operasional
Pendapatan Non Operasional yang dilaporkan dalam Laporan Aktivitas RSUP Fatmawati adalah Penghasilan Jasa Keuangan dan Penghasilan Sewa.
Belanja yang dilaporkan RSUP Fatmawati adalah Beban dan Kerugian yang terdiri dari Beban Pelayanan dan Beban Manajemen dan Umum. Dimana dalam Beban Pelayanan dan Beban Manajemen dan Umum antara lain terdapat Beban Gaji Pegawai (yang dibiayai oleh Dana APBN), beban pemakaian barang farmasi, beban pemeliharaan, beban pengobatan orang miskin, dan beban utilitas.

Selisih antara Penghasilan dan Sumbangan Tidak Terikat dengan Beban dan Kerugian adalah Kenaikan atau Penurunan Aktiva Bersih.  

2.2.5. Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan
RSUP Fatmawati menggunakan Pedoman Akuntansi Rumah Sakit berdasarkan surat keputusan Menteri Keuangan RI nomor 156/Menkes/SK/I/2003 tanggal 23 Januari 2003 tentang Pedoman Akuntansi Rumah Sakit dan juga surat keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik nomor HK.00.06.1.3.2491 tentang Bagan Perkiraan Standar dan Ilustrasi Penerapan Pedoman Akuntansi Rumah Sakit. 

Pedoman Akuntansi Rumah Sakit yang dikeluarkan Depertemen Kesehatan ini didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Dasar penyusunan laporan keuangan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut :
1)  Laporan Keuangan disajikan dalam rupiah penuh dan disusun atas dasar akrual dengan prinsip konsep biaya historis.
2) Laporan arus kas disusun atas dasar kas dengan metode langsung. Dan memperhitungkan deposito berjangka yang jatuh temponya tidak lebih dari tiga bulan dari tanggal perolehannya sebagai setara kas.
3) Periode akuntansi RSUP Fatmawati adalah dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang bersangkutan yang dalam hal ini sesuai dengan tahun anggaran pemerintah. RSUP Fatmawati dalam pelaporan keuangannya menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba, dimana hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur oleh Menteri Kesehatan yaitu Pedoman Akuntansi Rumah Sakit yang telah disebutkan di atas. Laporan Keuangan RSUP Fatmawati adalah Neraca, Laporan Aktivitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, serta Laporan Kinerja (Terlampir Neraca Laporan Aktivitas dan Laporan Arus Kas untuk periode Januari s.d. Desember 2009 dan Semester I tahun 2010).  

Laporan Keuangan RSUP Fatmawati diaudit oleh auditor eksternal yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Di samping itu juga dilakukan pengawasan dan pembinaan oleh instansi terkait yaitu Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan sebagai pembina teknis dan Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan, sebagai pembina keuangan. Laporan keuangan RSUP Fatmawati diserahkan kepada  Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan untuk dikonsolidasikan dengan laporan keuangan atau laporan realisasi anggaran Departemen Kesehatan, karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan departemen tersebut sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.  

2.2.6. Akuntabilitas Kinerja
Kinerja yang dinilai terbagi dalam tiga kategori yaitu kinerja keuangan, kinerja operasional, dan kinerja mutu pelayanan dan manfaat bagi masyarakat. Indikator kinerja dari masing-masing kategori tersebut serta hasil penilaian untuk RSUP Fatmawati untuk tahun 2009 adalah sebagai berikut :
Table 2.1.
Indikator Kinerja Keuangan RSUP Fatmawati
NO
INDIKATOR
BOBOT NILAI
HAPER
NILAI
1.
Return On Investment (ROI)
3
8,91%
1,20
2.
Cash Ratio (CAR)
3
140,45%
3,00
3.
Current Ratio (CR)
3
425,38%
3,00
4.
Collection Period (CP)
3
39,63
3,00
5.
Perputaran Persediaan (PP)
2
21,46
2,00
6.
Perputaran Total Aset (TATO)
2
54,51%
1,00
7.
Rasio Modal Sendiri terhadap
Total Aktiva
4
96,79%
2,70

TOTAL
20,00

15,90

Tabel 2.2.
Indikator Kinerja Operasional RSUP Fatmawati
NO
INDIKATOR
BOBOT NILAI
HAPER
NILAI
A
Pertumbuhan Produktivitas



A.1
Pertumbuhan Kunjungan Rawat Jalan per hari
2,00
1,01
0,80
A.2
Pertumbuhan Kunjungan Rawat Darurat per hari
2,00
1,04
0,80
A.3
Pertumbuhan Hari Perawatan (HP) Pasien Rawat Inap
2,00
1,07
1,20
A.3
Pertumbuhan Hari Perawatan (HP) Pasien Rawat Inap
2,00
1,07
1,20
A.4
Pertumbuhan Pemeriksaan Radiologi per hari
1,50
1,02
0,80
A.5
Pertumbuhan Pemeriksaan Laboratorium per hari
1,50
1,32
1,50
A.6
Pertumbuhan Operasi per hari
1,00
0,97
0,80
A.7
Pertumbuhan Kegiatan Rehab Medik/hari
1,00
0,89
0,40
B
Efisiensi



B.1
Rasio Pasien Rawat Jalan dengan Dokter
1,00
15
0,50
B.2
Rasio Pasien Rawat Jalan dengan Perawat
1,00
15
0,50
B.3
Rasio Pasien Rawat Darurat dengan Dokter
1,00
11
1,00
B.4

Rasio Pasien Rawat Darurat dengan Perawat
1,00
5
1,00
B.5
Rasio Pasien Rawat Inap dengan Dokter
1,00
15
0,50
B.6
Rasio Pasien Rawat Inap dengan Perawat
1,00
5
1,00
B.7
Bed Occupancy Rate (BOR)
2,00
70
2,00
B.8
Average Length of Stay (AvLOS)
2,00
6,37
2,00
B.9
Bed Turn Over (BTO)
2,00
42
2,00
B.10
Turn Over Interval (TOI)
2,00
2,32
2,00
C
Pertumbuhan Daya Saing



C.1
Sales Growth (SALG)
2,00
1,08
1,20
D
Pengembangan SDM



D.1
Program Pendidikan dan Pelatihan
2,00
Ada program dilaksanakan sebagian
1,50
D.2
Penghargaan dan Sanksi

1,00
Ada program dilaksanakan sebagian
0,75
E
Penelitian dan Pengembangan



E.1
Pengembangan Produk Baru bidang Pelayanan
2,00

Melaksanakan
sepenuhnya
2,00
E.2
Pengembangan Sistem Manajemen
1,00
Program Terlaksana
1,00
E.3
Peningkatan Penguasaan Teknologi

1,00
Baru
melaksanakan
sebagian
0,50
F
Administrasi



F.1
Rancangan RBA
2,00
Tepat waktu
2,00
F.2
Laporan Triwulanan (Ketepatan)
2,00
Tepat waktu
2,00
F.3
Laporan Tahunan (Ketepatan)
2,00
Tepat waktu
2,00

TOTAL
40,00

31,75

Tabel 2.3.
Indikator Kinerja Mutu Pelayanan dan Manfaat bagi Masyarakat
RSUP Fatmawati
NO
INDIKATOR
BOBOT NILAI
HAPER
NILAI
A
Mutu Pelayanan



A.1
Emergency Response Time Rate 
3,00
5 menit
3,00
A.2
Angka Kematian di Gawat Darurat (IGD)
3,00
1,54%
3,00
A.3
Angka Kematian > 48 jam (NDR)
3,00
26%
2,00
A.4
Angka Pasien Rawat Inap yg dirujuk 
3,00
0,10%
3,00
A.5
Post Operative Death Rate
3,00
0,20%
3,00
A.6
Angka Infeksi Nosokomial
3,00
0,10%
3,00
A.7
Kecepatan pelayanan resep obat jadi
3,00
25 menit
2,00
A.8
Waktu tunggu sebelum operasi elektif
3,00
2 hari
2,00
B
Kepedulian Kepada Masyarakat



B.1
Pembinaan kepada Puskesmas dan sarana kesehatan lain
1,00
Ada Program dilaksanakan semua
1,00
B.3
Rasio tempat tidur kelas III
1,00
50%
1,00
B.4

Pemanfaatan tempat tidur (BOR) kelas III
1,00
81%
1,00
B.5
Prosentase pasien tidak mampu
1,00
3,29%
0,00
C
Kepuasan Pelanggan



C.1
Penanganan Komplain

2,00
Ada program
Dilaksanakan Semua
1,00
C.2
Lama waktu tunggu di poliklinik
2,00
30 menit
1,50
C.3
Kemudahan pelayanan

2,00
Ada petunjuk
lengkap
2,00
D
Kepedulian terhadap Lingkungan



D.1
Kebersihan Lingkungan
2,5
SOP
dilaksanakan
2,50
D.2
Hasil uji AMDAL

2,5
Ada tindak
lanjut sampai
selesai
2,50

TOTAL
40,00 

34,50

Maka tingkat kesehatan RSUP Fatmawati pada tahun 2009 adalah :
Indikator Kinerja Keuangan           : 15,90
Indikator Kinerja Operasional        : 31,75
Indikator Kinerja Mutu Pelayanan dan Manfaat Masyarakat : 34,50
Jumlah       : 82,15
Dengan demikian tingkat kesehatan RSUP Fatmawati masuk golongan AA (sehat).


BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.    Konsep Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) di Indonesia telah tercantum dalam Bab XII Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang terdiri dari pasal 68 dan pasal 69 Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dimana dalam pasal tersebut mewajibkan setiap BLU memiliki Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum yang disusun dan disajikan sebagai begian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/ Pemerintah Daerah.
2.    RSUP Fatmawati menjadi unit pelaksana teknis Departemen Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum berdasarkan Peraturan Pemerintah RI nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Perubahan menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum memberikan legalitas bagi RSUP Fatmawati untuk melaksanakan pelayanan kesehatan secara strategis dan komprehensif, pengelolaan keuangan yang mandiri dan masih mendapat bantuan atau subsidi untuk tenaga pegawai negeri dan subsidi modal, memberikan tantangan bagi manajemen untuk melakukan inovasi dan memperluas pangsa pasar serta image bagi rumah sakit yang tidak hanya melayani golongan menengah ke bawah, tetapi juga golongan menengah atas. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati telah mengikuti pola yang telah diatur dalam UU nomor 1 tahun 2004 yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum.



DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.02/2006 tentang Tatacara Penyusunan, Pengajuan, Penetapan dan Perubahan Rencana Bisnis dan Anggaran serta dokumen Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pmerintah untuk Menetapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-50/PB/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Bambang, Sancoko.2008. Modul Diklat Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum: Rencana Bisnis dan Anggaran.Bogor: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2007.Modul Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK BLU). Jakarta.
Data Website resmi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta http://www.fatmawatihospital.com/mode5.php?id=26&mode=6





[1] SKPD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah instansi pemerintah daerah yang merupakan bagian dari pemerintah daerah yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.
[2] PPKD adalah Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, yaitu kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang memiliki tugas melaksanakan pengelolaan keuangan daerah dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.